28 - Fatih, maaf. Aku juga berusaha.

2.6K 87 6
                                    

“ Sama–sama berjuang ya, kita enggak pernah tau apa yang berhasil nantinya. Yang kita bisa lakukan adalah berdo’a dan terus berusaha. Kamu, kuat fa.”
Fatih-

***


RS Permata Hati

Sesampainya, aku dan ibu langsung memasuki area rumah sakit. Pandanganku beralih kepada lift yang akan membawaku ke lantai tujuh dimana Zulfa dirawat tepatnya di kamar 709.

Sebelum kesini aku dan ibu membeli buah-buahan yang ada di swalayan, buah yang ku pilih adalah apel dan jeruk. Katanya, Zulfa sangat menyukai kedua buah itu. Aku bersiap untuk bertemu dengan Zulfa, memasang wajah tak khawatir dan senyum yang terpasang apik.

Ketukan langkahku dan ibu memecah keheningan yang  berada di lantai tujuh ini, ruangannya berada  lorong sebelah kiri dekat lift. Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam sebelum masuk keruangannya. Tapi sebelum semua itu aku lakukan, aku melihat lewat kaca kecil yang berada di pintu Zulfa sedang berbicara dengan lelaki asing, ia tersenyum. Aku memegang tangan ibu. “Ada apa nak?” tanya ibu terheran padaku.


“ Bu, sepertinya Zulfa sedang ada tamu.”
“ Oh, kalau begitu kita tunggu sebentar di luar” jawab Ibu penuh pengertian, aku menunggu di depan ruangan Zulfa yang memang memiliki bangku untuk ruang tunggu. Suara knop pintu berbunyi. Menampakkan sosok lelaki yang asing, mungkin itu Reza? Aku mencoba menegurnya dengan salam.

“ Assalamu’alaikum, Reza?”
“ Wa’alaikumussalam, iya saya Reza. Kamu Fatih? Calon suami dari Syaqilla?” Aku mengangguk. Dia berkata Syaqilla di dalam dan mempersilakan aku dan ibu masuk. Aku menepuk pundaknya dan mengucapkan terima kasih. “Le, Ibu duluan ya. Ibu sudah kangen dan khawatir dengan Syaqilla” ujar ibu tiba-tiba yang disetujui oleh anggukanku.

“ Kenapa kamu berterima kasih?”
“ Terima kasih karena sudah membantu Zulfa.” Dia terseyum.
“ Seharusnya saya yang berterima kasih dengan Syaqilla. Karena dia saya sadar akan satu hal.”
“ Apa? “

Dia hanya tersenyum dan menepuk pundakku, lalu pergi menjauh menuju lift. Aku terheran dengan pernyataan dan sikapnya. Aku berbalik badan dan membuka knop pintu dan memberi salam. Syaqilla sedang berada di ranjangnya dan setengah berbaring. Ibu sedang menyuapi makanan rumah sakit kepada Syaqilla. Syaqilla tidak sadar kehadiranku karena fokus berbicara dengan ibu. Salam kedua ku ulangi kembali yang ditanggapi mereka berdua.

“ Wa’alaikumussalam” Ucap mereka bersamaan.
“ Fatih?” Ucapnya dengan wajah yang setengah tidak percaya dan bingung “ Kok kamu bisa disini bersama ibu? Siapa yang mengabari? Aku takut jadi merepokan kamu dan ibu.”
“ Enggak kok fa, aku dan ibu sama sekali enggak direpotkan untuk kesini.”
“ Tapi lumayan jauh loh tih jalan dari Bandung ke daerah sini.” Ibu memegang tang Zulfa dengan lembut, “ Gak papa toh le, kamu juga sudah Ibu anggap anak sendiri.” Mata Syaqilla terlihat berkaca-kaca.


***


Setelah berbicara sebentar dengan Reza, Reza pamit untuk keluar. Tak lama setelahnya, Sarah, Ibu Fatih datang. Aku tak percaya, apakah ini mungkin? Bu Sarah membawa dua buah kesukaanku. Dan menaruhnya di atas nakas. “ Bu Sarah” lirihku. Aku menyalami dan memeluknya.

“ Kamu apa kabar le? Kamu ko bisa sakit sih? Ibu khawatir loh sama kamu.”
Aku tersenyum sungkan, malu lebih tepatnya. Aku takut merepotkan saja. Ibu melihat makanan yang masih utuh tergeletak di atas meja.

“ Kamu belum makan toh le? Sini ibu suapinkan ya?” Aku menggeleng lemah. “Jangan bu, ibu kan cape pasti perjalanan kesini. Nanti biar Syaqilla makan.” Namun Bu Sarah tetap bersikeras membujuk untuk bisa menyuapiku makan. Oke, aku kalah dengan rayuan Bu Sarah.

Aku merasa tersentuh, disaat seperti ini Allah mengirimkan orang-orang baik di sekitarku. Bu Sarah menanyakan kabar tentang keluargaku. Di tengah obrolan ringan ku dan Bu Sarah, ternyata Fatih juga datang, Padahal baru saja aku ingin mananyakannya pada Bu Sarah dimana Fatih. Aku kaget dan langsung menjawab salamnya.

“ Fatih?, Kok kamu bisa disini bersama ibu? Siapa yang mengabari? Aku takut jadi merepokan kamu dan ibu.”
“ Enggak kok Fa, aku dan Ibu sama sekali enggak direpotkan untuk kesini.” Ucap Fatih.
“ Tapi lumayan jauh loh tih jalan dari Bandung ke daerah sini.” Gumamku. Ibu memegang tanganku dengan lembut, “ Gak papa toh le, kamu juga sudah Ibu anggap anak sendiri.”

Aku semakin tersentuh dan merasa bersalah. Aku merasa hanya merepotkan banyak orang termasuk pada Reza, orang yang baru ku kenal. Rasanya ingin menangis saja, aku langsung menghamburkan pelukkanku kepada Bu Sarah. “ Terima kasih ya, Bu.” Tak terasa air mataku sudah jatuh.

Kalau ditanya merasa bersalah kenapa, itu karena jujur sampai saat ini aku masih memiliki perasaan pada Fahriz. Maaf tih, aku benar-benar minta maaf, enggak seharusnya aku menyayangi orang lain disaat kamu berjuang, sendirian. Aku ingin, sangat ingin menjadi bagian dari kehidupan kamu dan Ibu. Tapi, hati ini berkata lain tih. Aku terus memaksa perasaan ini, namun dia terus mengelak memanggil nama lain.

Wajahku tersenyum pilu. Ibu mengusap air mata yang turun membasahi pipiku. “ Eh le, kok kamu malah nangis toh? Ibu kan enggak lagi sedih. Ibu kesini malah kamu buat sedih ya?” Ujar ibu.

Aku tesenyum menatap manik mata Bu Sarah. “ Enggak Bu, Syaqilla senengggg banget Bu Sarah dan Fatih ada di sini. Syaqilla merasa punya keluarga baru. Hehe.”
“ Ada yang dicuekin nih.” Ujar Fatih menginterupsi aku dan Bu Sarah.
“ Ambekan aja toh kamu tih, nak Syaqilla kan memang sedang butuh perhatian.”
“ Anak Ibu ini juga butuh perhatian juga bu.” Ujar Fatih.
“ Nak Syaqilla, Fatih itu ambekkan ya. Jangan mau sama anak Ibu ini.” Aku tertawa geli, ekspresi Fatih berubah manyun.
“ Aku tahu Bu, sebenarnya Fatih saat ini sedang mencari perhatian.” Wajah fatih terlihat malu yang di tahannya.
“ Enggak ko Fa, kamu tau dari mana?”
“ Kan kamu tadi bilang sendiri, kalo kamu juga butuh perhatian, kan?”

Aku tertawa geli lagi, tapi tak bisa lebih daripada itu. Kepala ku sakit nantinya. Aku mengunyah dengan lahap makanan yang sudah disuapi Bu Sarah kepada ku. Rasanya, sudah lama sekali tidak merasakan disuapi oleh seorang ibu, rasanya jauh berkali lipat enak. Entah apa keajaiban yang sederhana ini.

“ Ibu dan Fatih rencananya nanti gimana?”
“ Ibu besok harus pulang le, maaf ya enggak bisa temenin kamu terus disini.”
“ Syaqilla malah berterima kasih sekali Ibu dan Fatih sudah bisa menjenguk kesini.”
“ Terus kamu sudah kabari keluarga kamu le?” Bibirku kelu, belum bisa menjawab pertanyaan Bu Sarah.
“ Ibu, sepertinya Zulfa ingin istirahat. Ya kan Fa?” lagi-lagi Fatih meneyelamatkan ku atas pertanyaan Ibu. Aku hanya tersenyum. Ibu tidur di bed yang kosong sebelahku. Sementara Fatih dan Reza yang baru saja datang tidur di sofa yang lumayan luas. Ya Rabb, tolong lembutkan hatiku untuk menerima dia menyempurnakan agamaku.

***

Jujur, part yang paling tersedih yang saya tulis sejauh ini. Saya sampai benar-benar meneteskan air mata sewaktu menulisnya. Syaqilla yang masih mencintai Fahriz, sedangkan Fatih yang berjuang buat dia. Padahal mungkin Syaqilla akan mengetahui hal yang menyakitkan nantinya.

Syaqilla juga sekarang sedang berjuang mencintai Fatih kok, tenang aja. Wkwk. Tapi tuh ya yang saya rasakan, Fatih memang yang sedang berjuang sendirian.

Ini memang complicated untuk diceritakan. Semoga kalian enjoy ya. Semoga juga enggak bingung. Wkwkw

Happy Reading❤

𝐇𝐚𝐥𝐚𝐥 𝐁𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang