Sembilan | Awalnya

9 1 0
                                    

Dan kita mulai disini
Sebuah kisah penuh duri
Bahkan meski kita kalah nanti
Rasa perihnya abadi

Entah bagaimana semesta bekerja, yang jelas sejak satu kelompok saat sosiologi, Fia dan Aldi jadi lebih sering sekelompok lagi. Dan setiap kerja kelompok mereka pasti berangkat dan pulang bersama. Ya, meski tidak begitu dengan siang ini.

Fia berdiri sendiri di tepi jalan raya sedang menuju angkutan umum. Di tangannya benda pipih tidak lepas dari sana. Sesekali terlihat ia menahan tawa setelah melihat ke arah ponselnya.

Aldi
Masih belum pulang?

Fia
Belum nih, angkotnya ga muncul-muncul

Aldi
Tau gitu aku jemput ya tadi, trus aku culik, aku pulangin tengah malem, wkwk

Fia
Boleh, habis itu kamu dirajam sama ayahku, :)

Aldi
Ih sereemm

Fia
Bentar ya, ini udah ada angkotnya, aku matiin hpnya dulu.

Fia bergegas melambaikan tangan dan naik ketika angkot sudah berhenti sempurna di depannya.

Siang ini dia baru saja kerja kelompok tugas agama, membuat video ceramah. Itulah alasannya Aldi tidak ikut. Ya, kan mereka beda keyakinan. Fia tersenyum miris saat menyadari betapa sebenarnya mereka sangat berbeda. Keadaan inilah yang sering membuat Fia berpikir tentang bagaimana harus ke depannya bersama Aldi.

Juga saat ada beberapa momen perayaan hari besar Islam di sekolah. Itu membuat mereka sangat berbeda. Fia juga masih bimbang soal perasaannya pada Rifky. Yang Fia tahu dan sadari, Rifky masih sangat berarti baginya dan ia masih berdebar menatap Rifky. Tapi ia juga sadar, tak ada lagi getar cemburu dalam hatinya saat menatap Rifky dengan perempuan lain. Apa ia sudah melepaskan? Entahlah.

Dan Fia terluka karena pemikirannya sendiri. Dia merasa berkhianat sendiri padahal Rifky tak pernah meminta apapun. Fia merasa mau melepaskan Rifky pun sakit, dan jika memang benar setelah itu ia dengan Aldi pun hanya akan menambah rasa sakitnya.

Tiba-tiba kata-kata Nara kemarin siang terngiang di telinganya.

"Kamu yakin masih suka sama Rifky?" tanya Nara hati-hati.

"Ya, emangnya kenapa?" tanya Fia tak mengerti.

"Kamu kan udah terlalu dekat sama Aldi, aku pikir kalian berdua udah jadian."

"Ih, ngaco kamu!" elak Fia.

"Ya udah sih, terserah kamu, tapi yang jelas, Fi, jangan main-main. Ini tentang perasaan. Kalau mau sama Aldi, lepasin perasaanmu ke Rifky. Dan kalau masih mau bertahan, jangan terlalu dekat ama orang lain," ucap Nara serius.

Fia terdiam, kemudian mengangguk pelan.

"Huh! Kenapa jadi aku yang keliatan jahat?" gumam Fia dalam hati.

Lima belas menit kemudian, Fia turun dan membayar. Sesampainya di rumah setelah makan dan bersih-bersih, dia kembali membuka ponsel.

FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang