Tiga Belas | Pengakuan (2)

11 1 0
                                    

Permainan semesta kali ini memilih kita
Sebagai peran utamanya
Entah apa nanti akhirnya
Kita harus tetap siap
Bahkan meski jika remuk redam karenanya

Istirahat kedua ini, kantin tidak terlalu ramai. Jam istirahat yang berbarengan dengan jam salat membuat kantin sedikit lengang. Fia masih bisa mendapat tempat duduk.

Saat sedang makan sendirian, tiba-tiba bangku depannya berderit. Membuat Fia mendongak. Ternyata Aldi dengan senyumnya. Kembali Fia berdebar dibuatnya.

"Boleh duduk?" tanya Aldi.

Fia hanya mengangguk lalu kembali makan. Berusaha abai pada seluruh getar aneh dalam dirinya. Berusaha abai pada seluruh tatapan yang menghujam padanya. Dan berusaha abai pada tatapan Aldi yang jelas mengarah kearahnya.

"Ngeliatin aku ga bikin kenyang," tegur Fia lirih.

"Tapi bikin senang," sahut Aldi membuat Fia tersipu.

"Apa, sih!"

"Aku ga pernah bercanda soal ini, Fi," ucap Aldi tiba-tiba.

"Apa?"

"Kamu emang pinter bikin aku cemburu. Kamu hobi bikin aku kangen dan yah, aku harap kamu bisa ngambil kesimpulan sendiri apa maksudku," ucap Aldi lirih.

Dan di tempatnya, Fia sempurna mematung.

"Aku ... aku ga tau harus gimana. Aku masih ...," ucapan Fia terpotong oleh Aldi.

"Aku tau, Fi. Bayangan masa lalu itu. Aku tahu."

Dan Fia tersentak.

"Kamu tau? Dari mana?" desak Fia.

"Ga penting." Aldi yang menjawab kelewat santai justru membuat Fia jengkel.

"Aldi, setiap orang yang tau urusan pribadiku itu penting. Dan aku ga menerima jawabanmu barusan," tegas Fia.

"Segitu pentingnya dia?" Aldi justru bertanya balik.

"Ga ada hubungannya sama itu! Aku cuma ga mau aja orang lain tau tentang dia."

"Ya, dia penting banget buat kamu ternyata," lirih Aldi sambil menatap Fia sendu.

Demi Tuhan! Fia berusaha keras untuk tidak jatuh pada tatapan sendu itu. Berusaha untuk tidak tenggelam dalam iris hitam jernih itu.

"Tolong, jawab pertanyaanku, itu penting!" kata Fia dengan penekanan di akhir kata.

"Aku tau Fia, aku tau, setiap aku memperhatikan kamu di luar kelas, tatapanmu hanya mengarah pada satu tujuan, satu objek saja. Bagaimana matamu bersinar menatapnya dan bagaimana tatapan itu sangat memuja si objek. Itu terlalu jelas," ucap Aldi berusaha tidak menaikkan nada bicaranya.

Fia mengumpat untuk dua hal. Satu untuk sekelebat luka yang hadir dalam mata Aldi sebelum akhirnya disamarkan oleh pemiliknya dan juga untuk dirinya yang tidak bisa menahan diri saat melihat Rifky. Fia menunduk di tempatnya.

"Maaf," ucap Fia akhirnya. "Dia berharga, aku juga ga ngerti kenapa, awalnya aku yakin aku cuma kagum sama dia, tapi ternyata dia mempengaruhi semuanya."

FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang