[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
"Ahh!!! Cobaan apa lagi ini?!"
Aku terus-terusan menggerutu di dalam mobil sembari merogoh isi dompet dan ransel. KTP-ku ketinggalan di rumah, dan ini semua salah Umi yang selalu saja mengurusi perlengkapan pribadiku. Padahal sudah kuingatkan untuk tidak mengurus anaknya yang sudah berumur dua puluh dua tahun ini.
"Astagfirullah ... kenapa, Lan? Ada yang ketinggalan?" tanya Umi yang menoleh ke aku.
"KTP Alan, Umiii ... semalam sudah Alan masukin ke dompet, terus di dalam tas juga nggak ada."
"Loh, kok, bisa?"
Aku mengangkat kepalaku yang tertunduk, dan mengerutkan dahi. "Ya, ini semua salah Umi yang terlalu ngurusin Alan. Terus ini juga," ucapku sembari menyodorkan barang yang tidak penting ke depan Umi. " barang-barang yang sudah Alan pisahin, kenapa Umi kemas juga?"
Lagi dan lagi, Umi hanya tersenyum menatapku—Ciri khas Umi ketika aku berceloteh.
"Kenapa nyalahin umimu, Lan? Masih mending kamu ada yang ngurusin ... di Bandung kamu bakalan sendiri, loh," sambar Abi yang sedang menyetir mobil.
"Bagus, dong? Jadi Umi nggak usah repot-repot urusin keperluan Alan lagi."
"Ust, Alan! Jangan ngomong gitu," tegur Abi. "Anak mana yang ngerepotin orang tua, nggak ada. Itu sudah menjadi tanggung jawab Abi dan Umi ngurusin Alan."
Aku pun terdiam. Apa aku salah bicara? Dari aku Sekolah Dasar hingga menyelesaikan Strata Satu di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Umi selalu memberikan perhatian lebih padaku, dan aku tidak perlu itu. Sungguh, Umi masih menganggapku sebagai anak kecil, dan segala keperluanku selalu dibawah koordinasinya. Wajar saja aku bersikap seperti ini, bukan?
Umi sudah tidak angkat bicara lagi setelah Abi yang menutup percakapan kami hingga mobil tengah melaju memasuki airport. Aku dan Umi saling diam, dan hal seperti ini sudah biasa terjadi. Jadi, bukan persoalan yang besar menurutku. Nanti juga akan baik dengan sendirinya.
Setelah mobil benar-benar terparkir sempurna di parkiran International Airport Sultan Hasanuddin, aku langsung bergegas turun dari mobil. Semua barang bawaanku diturunkan oleh Abi, dan aku sibuk membuka e-tiket pesawat di dalam smartphone.
Jadwal keberangkatanku menuju Bandung beberapa menit lagi. Sebenarnya aku sudah harus ada sejam sebelum keberangkatan, tapi kemacetan Makassar membuatku telat dan juga naik darah. Aku yakin, namaku sekarang sedang disebut-sebut oleh maskapai Garuda Indonesia di dalam sana.
Tanpa berlama-lama lagi, aku langsung menjinjing ransel dan mendorong satu buah koperku menuju pintu keberangkatan dengan cekat.
"Abi , Umi. Ayo ... Alan sudah telat."
Langkah mereka tidak bisa mengimbangi langkahku, Umi dan Abi tertinggal jauh di belakang. Aku menoleh dan menggelengkan kepala. "Cepat Abiii, Umiii." Setelah kuperingati, keduanya pun mempercepat lagi langkahnya.
Aku sungguh terburu-buru dan mereka begitu santai dengan hal ini. Dulu, Abi pernah bilang bahwa sesuatu yang terburu-buru itu tidak baik. Tapi situasi ini berbeda, ini perihal waktu yang tidak bisa diputar mundur,
Napasku kini terengah-engah dan tidak beraturan ketika aku sudah berada di depan pintu keberangkatan. Namun, sayangnya, Abi dan Umi masih berjalan dengan begitu pelan di belakangku.
Sembari menunggunya aku mengatur napasku sembari memejamkan mata. Aku tidak ingin perpisahan sementara ini meninggalkan amarah, ucapku dalam hati ketika mata ini kubuka.
Abi dan Umi akhirnya berdiri di hadapanku sekarang.
"Abi, Alan pamit dulu, yah," kataku menyalim tangan Abi. "Umi." Kemudian Umi yang kini sudah mulai berkaca-kaca.
"Jangan lupa salat lima waktumu, Lan." Sudah sekian kali Abi meningatkanku masalah ini. Alhamdulillah, lima waktuku masih selalu kujaga.
Aku menjawab Abi dengan mengangguk. Dan sekarang, seharusnya Umi memberi wejangan nasihat dan pelukan untukku. Tapi tidak ia lakukan.
Aku tahu, sampai sekarang hati Umi tidak mengizinkanku merantau ke Bandung. Katanya banyak godaan dan aku masih sulit membedakan mana yang haq dan bathil. Perdebatanku dengan beliau tidak menemukan solusi. Umi dengan egonya, dan aku dengan egoku.
Dua hari lagi, aku harus menghadiri wawancara langsung di kantor Kejaksaan Negeri Bandung. Tekatku sudah bulat, dan aku tidak akan membuang waktu untuk menolak peluang yang ada.
"Yakin, nggak ada ketinggalan, Lan?" tanya Abi lagi.
"Insya Allah, nggak ada, Bi. Cuman KTP doang. Nanti dikirim aja. Kalau sudah tiba di kos, Alan chat alamat lengkapnya," kujawab sembari beringsut menuju petugas bandara untuk menunjukkan foto copy KTP dan e-tiket pesawat. "Bentar, ya, Abi."
"KTP aslinya mana, Pak?" tanya petugas itu padaku.
"Ketinggalan di rumah, Pak."
"Ada identitas lainnya?"
"Oh, ada."
Aku langsung menarik dompetku dari dalam saku celana, dan mengambil SIM C. "Ini, Pak."
Setelah dicocokkan dengan e-tiket, aku pun dipersilakan masuk oleh petugasnya. Umi dan Abi berdiri tepat di belakangku. Aku menoleh dan kembali berpamitan ke mereka.
"Alan berangkat, ya." Aku memeluk keduanya. "Doain Alan semoga lancar urusannya."
"Amin ... doa Abi dan Umi menyertaimu. Semoga selalu dalam lindungan Allah." Abi menepuk pundakku dan kubalas senyum. "Abi sayang Alan," lirih Abi kemudian.
"Umi, Alan pamit dulu. Bahagia di sini, ya, Umi dengan Abi. Kan Alan nggak ngerepotin Umi lagi. He he," kekehku lalu kembali menyalami tangannya. "Sayang Umi."
Aku tidak melihat raut wajah bahagia Umi di sana. Tanpa kuhiraukan, aku langsung berbalik badan dan meneruskan kembali langkahku. Mereka berdua hanya bisa mengantarku sampai pintu keberangkatan.
Untuk pertama kalinya, aku merantau ke tempat yang begitu jauh dari orang tua. Jauh dari Umi dan Abi.
Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan mereka, aku kembali menoleh untuk terakhir kali seraya melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
Masih sangat jelas terlihat wanita berjilbab syar'i dan lelaki dengan jenggot yang cukup panjang bergandengan dan menatapku lirih. Dan wajah Umi kini sebagian dibanjiri air mata.
Sekali lagi, maaf, Umi.
Ini demi masa depan Alan.
☔️☔️☔️
Find me here:
IG: yudiiipratama
Wattpad: yudiiipratamaPublished: Saturday, 04th May, 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Semusim di Bandung [SELESAI]
SpiritualAllahummaghfir-lii wa tub' alayya, innaka antat tawwabur rahiim. "Ya Allah, ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha penerima taubat lagi Maha penyayang." [HR. Tirmidzi, no.619] Blurb: Keberangkatan Alan dari Kota Daeng menuju...