BAB 11: Hujan di Bulan Desember

2.1K 328 27
                                    

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
☔️☔️☔️

"Mengeluh pada dunia, tidak akan menyelesaikan masalah.
Namun mengeluh pada Allah melalui lantunan doa-doa, adalah obat yang mustajab untuk mendapatkan jalan yang terarah."
☔️☔️☔️

            "Gimana AC barunya di ruanganmu? Sudah lebih dingin?" tanya Yudis ketika aku menghampirinya di lobby utama.

Sekarang sudah sore, sebentar lagi jam kantor selesai. Aku duduk di atas sofa sebelah Yudis. "Oh, jadi karena AC, ya? Aku pikir karena pintu ruangan yang selalu saja terbuka."

"Maklumlah. AC-nya sudah tua. Setua gedung ini."

"Kenapa kamu bisa tahu AC itu sudah tua? Terus dari mana kamu tahu AC di ruanganku sudah diganti?" ketusku ke Yudis.

Aku menatap Yudis yang seketika mulutnya berderam seperti mengeram. Sontak aku mengedutkan dahi. "Kenapa lagi?"

"Ahhh, aku sakit perut," keluhnya mengusap-usap perutnya sembari menunduk. "Aku ke toilet dulu." Ia  langsung berdiri, dan berlari menuju toilet dengan cepat.

Dasar Yudis! Selalu saja mengelak ketika kuajukan pertanyaan yang berhubungan dengan gedung atau pun siapa sebenarnya keluarganya. Awas saja kalau dia menyembunyikan sesuatu dariku.

Ya walaupun ia sudah cerita kalau dirinya berasal dari keluarga broken home. Tepatnya dua minggu yang lalu saat kami berdua makan siang bersama di Mcdelivery. Ia menceritakan kondisi keluarganya yang retak itu. Sedari kecil, orang tua Yudis cerai, bahkan sekarang ia tinggal bersama Ayah dan ibu tirinya. Meski kebutuhan finansialnya sangat terpenuhi, tapi tidak dengan kebutuhan pokok; cinta, kasih, keluarga yang sakinah. Tak salah jika Yudis jauh dari teologi agamanya sendiri.

Namun tidak dapat dipungkiri, Yudis begitu kuat menjalani kehidupannya yang tak mudah. Setiap harinya, ia menyembunyikan wajah aslinya dari orang-orang. Bahkan dari aku sekalipun. Sepertinya, topeng Yudis terbuat dari baja. Selalu saja terlihat bahagia.

Yudis belum juga kembali dari toilet, apa benar ia sakit perut? Tidak mungkin. Ini pasti hanya akalan-akalannya saja untuk menghindar dari pertanyaanku. Aku curiga, Pendingin di ruangan administrasi diganti oleh karena permintaan Yudis. Aku harus mencari Pak Dadang untuk menanyakannya. Pasti ia tahu.

Aku kembali menjinjing tas dan berdiri hendak menuju ruang Pak Dadang, sekalian aku ingin mencari tahu siapa Yudis sebenarnya. Aku curiga ia dari anak orang kaya yang orang tuanya mungkin kerja di sini. Kenapa sejak awal aku tidak berpikiran ke sana, yah? Tapi apa untungnya juga mencari tahu siapa Yudis?

Astagfirullah.

Aku kembali duduk di sofa, merebahkan diri dan juga tasku di sana. Aku terlalu suuzan terhadap saudaraku sendiri. Apa untung dan ruginya mencari tahu privasi Yudis? Toh, kalau ia mau cerita, ia pasti akan menceritakannya padaku. Aku rasa, mengetahui kondisi keluarganya sudah lebih dari cukup. Aku tidak boleh menambah perkara lagi.

Setelah mengurungkan niatku itu, hampir lima belas menit aku menunggu Yudis yang tak juga kembali dari toilet. Para pekerja kantoran sudah tidak ramai lagi memenuhi lobby. Beberapa kali aku menoleh ke belakang, tanda-tanda Yudis belum juga ada. Kemudian aku menengadah ke atas, gedung tinggi ini mulai sepi.

Ini sudah sangat lama, Yudis tahu kalau aku tidak suka menunggu. Dan akhirnya, kuputuskan untuk menyusul Yudis ke dalam toilet. Baru saja aku ingin beranjak, aku dikejutkan langsung dengan kahadiran Kepala Kejaksaan Negeri Bandung yang berada di tengah-tengah lobby. Sepertinya, beliau baru keluar dari ruang sidang.

Semusim di Bandung [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang