BAB 02: Bumi Pasundan

4.6K 645 43
                                    

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
☔️☔️☔️

"Katanya Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum. Dan aku sendiri terlahir ketika Umi sedang menangis menahan sakit."
- Alan -
☔️☔️☔️

Menuruni anak tangga, menuju tenpat pengambilan barang, hati ini seperti bermekaran. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota kembang dan perasaanku sungguh riang. Meski di luar sedang gerimis, tapi semangatku menyambut keramahan Bandung tidak goyah.

Setelah mengambil koper di tempat pengambilan barang, aku langsung menuju pintu kedatangan. Sebelum mengambil handphone untuk mengorder grab car, aku memilih duduk di serambi dekat pintu kedatangan.

Mataku sekarang tertuju pada layar HP tanpa memedulikan siapa yang duduk di sebelahku. Setelah alamat tujuan kuketik, lalu mengorder grab, aku merasa seseorang sedang menyentuh pundak bagian kiriku.

Perlahan aku menoleh ke kiri, terlihat tangan kecil menarik-narik bajuku. Alisku mengernyit ketika kudapati wajah dari tangan anak itu. Kecil, mungil, dengan rambut cepak menandakan ia laki-laki.

Anak itu berada di pangkuan seorang perempuan hijab yang wajahnya sedang berlawanan arah denganku. Lalu aku tertuju pada anak ini, ia sedang memainkan bajuku sambil berulangkali memandangku dari atas hingga ke bawah.

Sembari menunggu grab, aku mencoba mengajak anak itu bermain. Ya, aku memang tidak memiliki saudara kandung, tapi, menjadi anak tunggal bukan berarti tidak suka anak kecil. Dulu aku pernah beberapa kali meminta ke Umi dan Abi agar memberiku seorang adik. Mereka mengamininya, namun tidak dengan Allah. Kendati aku dan keluarga kecilku telah berencana, Allah justru berkehendak lain. That's life.

Melihat anak kecil ini aku jadi teringat Umi dulu, bagaimana ia berusaha keras agar mewujudkan keinginan terbesarku itu. Bolak balik rumah sakit, minum obat herbal, dan tetap saja nihil. Dan ternyata, rezeki Umi dan Abi ada padaku, anak semata wayang.

Aku terus mengacak-acak rambut anak itu, menunjukkan wajah konyol ini padanya hingga suara menyerupai bebek spontan keluar. Namun sayang, wajah anak itu tetap saja datar dan matanya tidak pernah berpapasan denganku. Beberapa kali aku berusaha melaraskan kedua bola matanya dengan bola mataku, tapi selalu saja ditolaknya. Anak ini tidak ada antusiasnya sama sekali terhadapku. Apa yang salah denganku?

Karena merasa tak diindahkan, aku mulai gemas. Baru saja aku ingin mencubit pipinya, perempuan yang menggendongnya sontak menoleh ke arahku. Aku pun langsung menghadap ke depan, berpura-pura bermain handphone.

Jelang beberapa detik, entah kenapa aku merasakan perempuan itu sedang menatapku. Karena penasaran, aku pun kembali menoleh ke kiri.

Dan yang kulihat adalah ...

Wajah menawan yang kutemui dua jam lalu di Bandara Sultan Hasanuddin.

Aku hampir terperanjat, aku tidak bisa berkutik selain mata yang membelalak. Sedangkan perempuan itu terus-terus saja menatapku dengan wajah berseri, senyumnya merekah seperti bahagia melihat kehadiranku.

Lantas, kenapa harus jantungku yang berdebar?

Ia, si perempuan yang menggendong anak itu pun berkata, "Adikku namanya Adit Prayoga. Dan ia menderita autism spectrum disorder."

Ini serius? Lagi-lagi ia yang memulai percakapan. Dan aku hanya bisa terdiam seperti orang kebingungan. Dari beberapa yang kutemui, mungkin dia salah satu dari dua, tiga perempuan cantik dan berjilbab syar'i yang berhasil membuatku menjadi lelaki kaku.

Semusim di Bandung [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang