Bab 17: Menjaga Hati

1.8K 200 0
                                    

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]

☔️☔️☔️

"Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah qalbu (hati)."

☔️Hadis Riwayat Buhari☔️

Sudah hampir sebulan aku dan Yudis rutin mengikuti kajian dan tahsin di Pesantren Daarut Tauhiid. Perlahan-lahan pikirannya mulai terbuka, bahkan di setiap kali kami menyelesaikan kajian, Yudis mengajukan banyak pertanyaan perihal proses hijrah.

Melihat Yudis banyak perubahan, membuat hatiku semakin tergerak untuk menemaninya berproses ke arah yang lebih baik. Tak bisa kukatakan aku juga menjalani proses tersebut, intinya kami berdua sama-sama belajar cara memantaskan diri.

Oleh karenanya, beberapa minggu aku fokus membangun kebersamaan dengan Yudis. Tidak meninggalkannya sendiri dengan kondisinya yang baru-baru saja kehilangan sosok ayah, orang yang ia cinta. Komunikasiku juga dengan Jihan tak lagi seintens kemarin, tapi sudah kujelaskan semua padanya melalui percakapan whatsapp; dari awal Yudis merasakan patah hingga sekarang berusaha menambal kembali hatinya yang tengah rapuh itu dengan mendekatkan diri pada Allah.

Oh, ya. Kerjaku tetap kujalankan sebagaimana mestinya di kantor, hanya saja aku sering pulang cepat untuk menemani Yudis. Bahkan tak jarang kami membantu Kiai Ali merawat tanaman di sore hari setelah selesai menimba ilmu di halaqahnya.

Fokusku teralihkan ke Yudis. Hitung-hitung, ini salah satu caraku membalas kebaikan-kebaikan Yudis selama aku di Bandung. Kemana pun pergi, ia selalu memintaku untuk menemaninya. Termasuk pada hari ini, Yudis ingin bertemu dengan Sani, sahabatnya sejak masa kuliah dulu.

"Lan, Sani hari ini mau ketemuan. Kamu ikut, ya. Biar nggak mengundang fitnah." Yudis menutup layar ponselnya, kemudian merebahkan diri di atas spring bed.

Aku tersenyum. "Maasya Allah. Ana nggak salah dengar apa yang antum katakan barusan?"

"Iyaaa," dengkusnya. "Lagian Sani itu perempuan yang siapa saja melihatnya pasti akan terpukau. Sudah cerdas, pekerja keras, cantik, —"

"Astagfirullah, ussstt ... jaga ucapanmu, Dis! Perkataanmu saja sudah mengundang fitnah wanita," kupotong Yudis yang terlentang menghayalkan sosok Sani.

Aku menggelengkan kepala.

"Coba saja Sani masuk islam, ya, Lan," pikir Yudis sambil memperbaiki posisi tidurnya menghadap padaku.

Aku mengernyit. "Kamu ini bicara apa, sih?" tanyaku. "Dia saja tidak begitu percaya dengan agama yang dianutnya."

"Hah, kamu tahu dari mana?"

Sontak mataku menoleh ke Yudis, terlihat alisnya mengernyit. Sepertinya aku salah sebut, dan sepertinya aku harus jelaskan pada Yudis perihal percakapanku kala itu.

"Iya. Sani pernah cerita masalah dosenmu dulu yang dibunuh sama salah satu mahasiswi di kampusmu ke aku."

Terlihat Yudis berpikir sejenak. "Oh, kasusnya si Jessy? Kapan? Pas kita di McD itu, ya?"

Aku mengangguk.

"Dia cerita apa aja ke kamu, Lan?" Yudis memperbaiki posisi duduknya.

"Ah, nggak banyak," dengkusku. "Hanya tentang itu saja seingatku."

Baru saja Yudis ingin kembali menggubris, handphone-ku langsung berdering. Aku langsung mengangkatnya. Syukurlah, percakapan aku dengannya bisa teralihkan, lagian Yudis tidak perlu tahu karena percakapanku dengan Sani waktu itu tidak begitu penting. Sepertinya.

Semusim di Bandung [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang