[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
☔️☔️☔️"Sebab hati akan selalu merindu pada kekasih yang paling mulia di dunia, penyelamat di akhirat kelak. Juga pemberi semangat jiwa kala hati tak tahu arah; Umi."
☔️☔️☔️Pagi-pagi sekali handphone berdering, kira-kira pukul tujuh pagi setelah aku muroja beberapa lembar bacaan al-qur'an. Dering telepon yang masuk datang dari Umi. Untuk pertama kalinya, Umi meneleponku. Demi Allah, hampir semusim aku di Bandung, ini yang pertama kalinya Umi nelepon. Biasanya lewat persambungan Abi.
Aku mulai terharu. Mataku berkaca-kaca, aku begitu merindukan Umi hingga hati ini sampai bergetar tak sanggup menahannya. Ditambah lagi masalah yang aku hadapi saat ini, Umi hadir di saat waktu yang tepat. Di saat aku sangat lagi membutuhkannya.
"Assalamualaikum Warahmatullah, Nak." Sapa Umi dari ujung telepon dengan suara lembutnya.
Air mataku menetes di pipi, ini sungguh suara Umi? Wanita yang paling aku cintai dunia dan akhirat? Aku menarik napas sebelum menjawab sapaan teleponnya, kubiarkan air mataku menetes membasahi pipi, membasahi bumi Allah. Umi, syurganya Alan. Aku sedang ingin melepas rindu dengannya.
"Wa—waalaikumsalam warahmatullah, Umi," kujawab sedikit tersedu dengan suara yang cukup sumbang oleh karena berusaha menahan tangis.
Umi diam sejenak. Seperti berusaha membaca kondisi anaknya dari kejauhan. Tarikan napasku mulai terdengar parau. Umi pasti akan segera tahu bahwa anaknya sedang tidak baik-baik saja.
"Alan, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Umi.
Aku tak menjawab. Aku hanya ingin mendengar suara Umi rasanya sampai air mata ini puas untuk mengalir.
Alan rindu Umi.
Begitu sulit kata-kata tersebut kulontarkan. Aku yang tak biasa menunjukkan kasih sayang melalui kata-kata kali ini seperti sebuah keharusan karena jarak dan juga karena ujian yang sedang Allah berikan padaku sangat membutuhkan dukungan penuh dari orang tua.
"Apa kabar, Umi? Sehat, Umiii?"
Melontarkan kata-kata tersebut sambil menahan isak tangis, tak tega rasanya. Karena setelah ini, Umi juga akan ikut nangis bersamaku. Orang tua mana yang tak merindukan anaknya, orang tua mana yang tak mengkhawatirkan anaknya. Sehari saja tidak berjumpa, tak mendengar kabar dari seorang anak pasti akan menyisakan rindu dan kekhawatiran lebih, dan itu akan selalu timbul dalam setiap helaan napas Umi yang telah melahirkan dan membesarkan anak semata wayangnya dengan penuh perjuangan sejak sembilan bulan di dalam kandungan.
Hanya saja seorang anak yang selalu lupa dengan orang tuanya, dan hanya mengingatnya saat tertimpa masalah saja. Bukan begitu? Dan itu terjadi pada diriku sekarang.
"Alhamdulillah, Abi dan Umi di Makassar baik-baik saja, Nak. Alan bagaimana? Baik-baik saja? Gimana dengan kerjaan? Nggak ada masalah, kan?" Umi mulai bertanya dengan suara yang terdengar menahan tangisnya. "Maafin Umi ya, Nak. Umi baru sempat nelepon Alan."
"Harusnya Alan yang meminta maaf, Umi. Alan sangat jarang menelepon Umi dan Abi akhir-akhir ini," kujawab tersedu-sedu.
"Nak, kenapa kamu menangis? Tidak seperti biasanya. Ada masalah apa, Nak? Coba cerita ke Umi."
Tidak mungkin aku mengatakan, Iya, Umi, Alan ada masalah. Lalu setelah itu aku menceritakan apa yang terjadi kemarin. Tidak mungkin! Sama saja aku mempermalukan diriku di depan keluarga, aku tidak mau. Ini adalah Aib.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terkejutnya Umi dan Abi ketika ia tahu masalah yang sedang aku hadapi di tanah rantau, di Bumi Pasunda yang seketika merubah paradigmaku bahwa tak semua hal-hal baik akan menyambutku.
Apa yang harus aku katakan ke Umi. Apa aku harus menutupi masalah ini darinya? Ya Allah, aku mohon petunjuk darimu.
Setelah beberapa saat menimbang sejenak, dari seberang telepon Umi terus saja memanggil-manggil namaku. Bismillah, ini yang terbaik, Insya Allah.
"Umi ... teruslah bersuara Umi," jawabku yang kali ini berusaha tegar dan tak lagi menye ke Umi.
"Alan hanya rindu dengan suara Umi. Insya Allah, Alan di sini akan baik-baik saja Umi. Saat ini Alan hanya sedikit terharu karena sudah begitu lama tidak bertemu dengan Umi, dan suara Umi sekiranya cukup mewakilkan rasa rindu Alan ke Umi. Umi rindu Alan, nda?"
Kudengar suara Umi semakin tersedu-sedu, ia tak menjawab pertanyaanku. Tanpa ia menjawabnya pun, aku sudah tahu jawabannya; Umi akan selalu merindukan Aku. Setiap detik, setiap waktu.
Hari ini, aku ingin di kos saja, tak ingin ke mana-mana. Aku ingin melepas rindu dengan Umi melalui komunikasi via telepon. Aku ingin berbagi kisah yang manis-manis saja selama di Bandung.
Akan aku ceritakan tentang sahabatku Yudis dan tentang perempuan yang selalu kusebut dalam doa, Jihan Astrid Savira. Umi pasti akan bahagia mendengar anaknya yang pada akhirnya bisa merasakan jatuh hati kembali.
Aku tahu perasaan Umi saat ini seperti apa, aku harus menghiburnya. Melihat Umi bahagia, insya Allah menjadi obat penawar rindu sekaligus penawar untuk amnesia sejenak dari masalah yang ada.
Rindu ini hanya kutujukan untuk Umi yang jauh dari tanah rantau, Kota Bandung yang lagi sedang mendung menanti hujan turun.
Selamat melepas rindu; Kerinduan hanya untuk Umi seorang.
☔
Gimana part ini? Jangan lupa vote & komen-nya, yaaa.
Oh iya, nggak bosan-bosannya saya mau ngingetin alaners sekalian untuk baca juga karya terbaru saya judulnya "Single-Lillah" di akun wattpad pribadi saya, yaaa. Add ke reading list kalian agar selalu dapat informasi terupdate.Happy reading !!!
Find me here:
IG: yudiiipratama
Wattpad: yudiiipratama
KAMU SEDANG MEMBACA
Semusim di Bandung [SELESAI]
SpiritualAllahummaghfir-lii wa tub' alayya, innaka antat tawwabur rahiim. "Ya Allah, ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha penerima taubat lagi Maha penyayang." [HR. Tirmidzi, no.619] Blurb: Keberangkatan Alan dari Kota Daeng menuju...