Bab 13: Shohibul Qalbi

2.3K 357 29
                                    

Sebelum baca part ini, sila follow yudiiipratama untuk mengetahui info novel ke-4 saya yang akan segera terbit:) Jazakumullah. Dan selamat membaca.

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
☔️☔️☔️

"Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam yang lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara (semuslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh, maka peganglah erat-erat."
-Umar bin Khattab-
☔️☔️☔️

Hujan kembali turun dengan derasnya mengguyur Kota Bandung sore itu. Aku dan Yudis masih di sini, restoran junk food McDonald's. Sani pamit lebih dulu setelah ia dijemput oleh keluarganya yang juga datang dari Jakarta.

Aku menghargai Sani hanya sebagai seorang teman, memuji kecantikannya dalam diam adalah sebuah kemunafikan, karen jujur di hadapannya akan membuat suasana hati semrawut-mungkin. Dari awal aku di Bandung, sebisa mungkin mata ini berusaha menghindar dari kecantikan perempan berdarah sunda yang membuat iman goyah. Tapi apa daya, aku hanya manusia biasa.

"Apa yang kamu cerita dengan Sani tadi? Pasti dia tertarik denganmu, kan?" tanya Yudis semringah.

"Maksudmu tertarik?"

"Sejak kalian pertama kali bertemu, Sani sudah penasaran sama kamu."

"Ah, serius?" Wajahku sedikit penasaran. "Terus?"

"Menurutmu dia bagaimana?"

"Ya, dia cantik," kujawab asal. "Tapi tak secantik Jihan. He he." Aku terkekeh.

"Ah, sudah kuduga. Sisakan Sani untukku."

Aku hampir terperanjat. Apa iya, Yudis menyukai Sani? Aku tidak ada masalah jika memang benar, tapi bukannya mereka adalah sahabatan sejak dulu? Pikirku dalam hati.

Oleh karena aku memasang wajah terkejut, Yudis mengatakan, "Kamu mau sama Sani juga? Wah, Gelo maneh, Kang Alan, euy," lanjutnya terpingkal-pingkal.

Aku mendengkus sebal sembari menggaru-garuk kepala. "Ah, kumaha anjeun weh, Dis." (Terserah kamu saja, Dis.)

Yudis masih tertawa sembari menikmati fruit tea miliknya yang belum juga habis, sedangkan aku kembali menatap kaca transparan yang mempertontonkan rintik hujan di luar sana. Ah, semakin deras saja. Terlihat kasihan beberapa pengendara motor itu serta pejalan kaki yang secara terpaksa harus berlarian masuk ke halaman restoran hanya untuk berteduh. Sedangkan pengendara mobil harus ikut menahan sabar di tengah-tengah badai lantaran macet.

Aku juga kasihan pada diriku, setengah jam lalu waktu salat asar sudah berlalu dan aku masih terjebak di sini. Resto ini tidak menyediakan musala, jadi bagaimana mau salat? Meski Yudis mengendarai mobil, tetap saja di luar sedang macet parah dan jarak masjid dari sini cukup jauh. Bandung benar-benar tidak bersahabat hari ini. Beberapa kali aku mendengkus, kemudian aku menyalakan handphone dan kembali menonton anime di youtube. Ada banyak episode baru. Untuk sesaat, waktuku tersita menonton anime. Lantas Yudis kusilakan mengoceh tanpa mengindahkannya-apalagi yang bisa ia lakukan selain menggangguku.

Namun, aku berhenti memutar anime saat Yudis melempariku sebuah pernyataan serius. "Aku minta maaf, ya, Lan. Aku seperti parasit saja yang terus-terusan menganggu hidupmu."

Aku mengernyit. "Apa yang kamu bicarakan?" Handphone­ secara tak sadar kuletakkan di atas meja, dan mataku tertuju pada Yudis. Kali ini, apa lagi yang ada di benak anak ini?

Semusim di Bandung [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang