Bab 15: Mengenal Allah lebih jauh

1.8K 311 16
                                    

Sebelum baca part ini, sila follow yudiiipratama untuk mengetahui info novel ke-4 saya yang akan segera terbit:) Jazakumullah. Dan selamat membaca.

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
☔️☔️☔️

"Segala yang terjadi, semua atas kehendak yang Maha melepaskan nadi. Sebelum penyesalan datang, segeralah meminta ampunan. Mengadulah padaNya, mendekatlah padaNya. Niscaya ia adalah sebaik-baiknya penolong di dunia dan akhirat."
☔️☔️☔️

            ~Pov Yudis~

            Masih di sekitar tempat pemakaman, aku duduk termenung di salah satu kursi panjang setelah hampir sejam berusaha menahan tangis. Ayah telah pergi, benar-benar pergi untuk selamanya. Seseorang yang aku benci, kini tutup usia. Seperti doaku ketika sedang marah dikabulkan Tuhan. Namun Sebenci-bencinya aku padanya, aku masih bisa menangisi bahkan meraung-raung memeluk nisannya tadi. Hati ini sungguh rapuh atas kepergian Ayah.

            Sedari tadi Alan berdiri tidak jauh di belakangku. Aku menyadari kehadirannya di sana, hanya saja tak ada perbincangan antara kami berdua. Sepertinya Alan menyimpan banyak pertanyaan selepas apa yang telah ia saksikan hari ini. Rahasia yang aku sembunyikan darinya kini terkuak. Diamnya Alan membuat aku merasa bahwa tak ada yang perlu dijelaskan lagi jika ia melontarkan berbagai pertanyaan padaku.

            Aku mendengkus kasar, menyapu air mata yang menebal di pipi. Baru saja aku ingin berdiri, Alan sontak menghampiriku seraya berkata, "Aku turut berduka cita, Dis. Maaf, aku baru mengetahuinya pagi tadi." Ia kemudian duduk.

            Kutundukkan kepala ini, berusaha menyembunyikan kesedihanku di depan Alan. "It's okay."

Perlahan aku mengangkat kepala dan sedikit tersenyum pada Alan yang sedang memasang wajah penuh penyesalan.

"Aku benar-benar minta maaf karena tidak ada saat kamu butuh bantuan, Dis."

"Enggak apa-apa. Ini masalah pribadiku, dan sudah menjadi tanggung jawabku sebagai seorang anak. And you see, I can handle it."

Alan terdiam. Sebenarnya aku tidak membuatnya merasa jika ia tidak ada gunanya sebagai seorang teman dengan jawabanku yang sedikit ketus, karena segala yang berhubungan dengan keluargaku adalah bersifat individu. Toh kepergian Ayah hanya aku yang bisa rasakan kepedihannya, bukan Alan. Meskipun aku sedikit judes, aku tidak menyalahkan Alan sama sekali.

Sebelum Alan melontarkan pertanyaan yang aku tidak ingin dengar, aku langsung berdiri untuk mengakhiri pembicaraan.

"Kamu pulang dengan siapa?" kutanya Alan.

Ia ikut berdiri. "Aku bisa naik grab. Di sana juga ada pangkalan ojek, kok."

"Ya, udah. Aku duluan kalau gitu. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan."

"Iya, Dis. Sekali lagi, aku turut berduka cita, ya." Alan menepuk pundakku sebelum aku beranjak darinya. "Jika kamu butuh sesuatu, hubungi aku saja. Insya Allah, aku siap membantu."

Aku mengangguk.

"Terima kasih, Lan. Untuk sementara, aku bisa mengatasi semuanya. Nanti malam akan ada pengajian di rumah. Jika kamu mau datang, silakan. Tapi aku tidak akan ada di sana. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan setelah ayahku pergi."

"Oh, iya. Insya Allah. Kamu yang ikhlas, ya, Dis. Aku hanya ingin sekadar mengingatkan sebuah hadis dari riwayat muslim; apabila anak cucu adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: pertama amal jariyah, kedua ilmu yang bermanfaat, dan ketiga doa dari anak yang saleh. Jadi, perbanyaklah dzikir dan doakan ayahmu semoga husnulkhatimah," khotbah Alan.

Semusim di Bandung [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang