pt.2

10.1K 1.4K 390
                                    

[TO GET HER]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


[TO GET HER]

Jika dua orang di takdirkan bersama, maka dari sudut bumi manapun mereka berasal—mereka pasti akan tetap bertemu. Pun sama, jika tidak ditakdirkan bersama, mau setinggi gunung atau sedalam lautan pun usahanya, tetap saja dua orang itu tidak akan bisa bersama. Kalimat itu berputar-putar di dalam kepala ku. Itu adalah kalimat milik ibuku, saat dia menceritakan kisah cinta remaja nya bersama ayahku dulu.

Sekarang ketika aku memikirkan nya, rasanya semua itu tidak benar. Ibu tetap melukai ayah, ibu tetap berbuat curang terhadap ayah. Usaha, rintangan, kejadian yang dia bangga-banggakan kepadaku tidak lagi ada artinya.

Dulu, aku akan marah ketika Kimberly; teman satu bangku ku tidak percaya tentang adanya cinta pertama. Dia mengatakan cinta pertama tidak akan pernah bisa berhasil, dan akan menjadi cinta paling sakit dalam kehidupan seorang manusia sampai manusia itu mati. Tapi aku tidak pernah percaya omongan nya, karena apa? Karena aku hadir diantara cinta pertama yang tumbuh diantara ayah dan ibuku. Aku adalah buah dari cinta pertama milik mereka, yang kini sudah hancur-luluh lantak oleh ketidak setiaan ibu kepada ayah.

Apa mungkin benar? Cinta itu tidak ada?

"Jane?"

Suara ayah membuatku kaget. Buru-buru aku menghapus air mata ku, menyembunyikan selembar potret kenangan ku bersama mereka yang ku curi dari dompet milik ayah.

"Tidak Jane kunci."

Presensi pria paruh baya terlihat di depan pintu. Aku tersenyum kepadanya dengan hidung merah, ayah menghela napas ketika melihatku. Dia mengambil tempat duduk di bibir ranjang, meraih selembar tissue dan menghapus sisa air mata di pipiku.

"Bibi Nam bilang Jane jatuh di sekolah?" aku mengangguk, saat ayah menyentuh dahi ku yang terbalut kain kassa. "Apakah perlu ke rumah sakit? Jane merasa pusing?"

"Tidak ayah. Ini hanya luka kecil." Jawabku padanya, "Bibi Nam sudah mengobati nya."

Ayah ku diam menatapku sembari membelai kening ku yang terluka. Aku benci melihat ekspresi sedih nya. Dia selalu menyalahkan diri sendiri pada apapun hal yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Termasuk perselingkuhan ibu, dengan paman Richard yang tak lain adalah sahabatan ayah sendiri.

"Apa Jane rindu pada ibu?" tanya nya, suaranya terdengar pedih. "Kalau iya, Jane bisa—"

"Bukan itu." jawabku padanya, kemudian aku menunjuk kamera hancur yang ku letakkan di atas meja belajarku. "Aku melakukan kesalahan, ayah."

"Kesalahan?"

Aku mengangguk. "Aku menghancurkan kamera milik kakak kelas ku. Dan..dan uang tabunganku tidak cukup."

Itu alasan yang menggelikan sebenarnya. Ayah ku tertawa ketika mendengarnya. Tapi tidak apa-apa, aku lebih suka mendengar suara tawa nya daripada suara helaan napas yang membuatku tercekik. Tidak salah kan, jika aku berbohong demi kebaikan nya?

to get her ; together. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang