13. Pelik

16.4K 2K 241
                                    

Pembaca kayaknya masih pada penasaran ya sama nasib Riana. Part ini masih bahas kelanjutan kasus Riana. Habis ini baru deh kembali ke Rayga Diandra yg akan menghadapi konflik. Oya dari awal menulis cerita ini, emang nggak akan aku bikin panjang ya. MBMS udah tamat, moga cerita ini juga cepet kelar, cuma Dear Pak Dosen yg lumayan panjang dibanding cerita lain.


Riana mengerjap. Ia mengamati sekeliling ruangan dengan reaksi yang begitu kaget karena ruangan ini begitu asing. Terlebih saat mendapati diri tak mengenakan sehelai pun benang. Hanya selimut agak tebal yang menutupi tubuh polosnya. Ia melirik sosok pria yang tertidur di sebelahnya. Matanya meradang melihat sosok itu bertelanjang dada. Lebih jauh lagi, hatinya seketika bergerimis dan ingin menjerit sekuatnya. Ia sadar, ia telah kehilangan segalanya.

Riana menangis saat itu juga. Bagaimana bisa ini terjadi padanya? Bagaimana bisa dengan mudahnya ia pergi berdua dengan laki-laki non mahram? Ia mempercayai laki-laki itu dan menganggapnya sebagai sahabat. Aldebaran telah meruntuhkan keangkuhannya yang semula berpikir tak akan pernah memberi kesempatan padanya untuk menjadi temannya. Laki-laki itu datang di saat yang tepat, ketika hatinya patah dan retak berserakan. Pria itu memberi sejuta perhatian dengan segala kebaikan yang ia tunjukkan. Bagaimana bisa ia menolak tawaran pertemanan darinya? Dan sebelumnya mereka sering hang out bersama, selalu baik-baik saja dan tak pernah berakhir seperti ini. Tak pernah terpikirkan olehnya, malam ini berujung begitu mengenaskan. Bahkan ia tak ingin lagi bercermin jika pantulan bayangan dirinya di cermin hanya akan mengingatkannya, bahwa sosok itu sudah tak lagi sama.

Air mata terus menetes. Ia tak bisa menghentikan tangisnya, lebih sulit menenangkan diri sendiri dibanding membuat muridnya berhenti menangis. Penyesalan, rasa berdosa, takut, cemas, bahkan rasa ingin mati berbaur jadi satu. Sesak... Sakit... Segenap rasa itu begitu melumpuhkan hingga ia berpikir hidupnya sudah hancur.

Tentu ia masih ingat bagaimana semalam laki-laki itu mencicipi setiap inci tubuhnya. Ia masih teringat bagaimana ia sulit meredam gairah yang tak tertahan dan hanya bisa pasrah membiarkan laki-laki itu meninggalkan banyak tanda di kulit mulusnya. Ia gelap mata dan tersiksa menahan gairah, antara berpikir bahwa apa yang ia lakukan salah, tapi di sisi lain keinginan untuk disentuh dan dipuaskan secara seksual itu begitu menguat, melebihi nalar hingga ia tak bisa lagi mengendalikan diri.

Fokusnya kacau, yang ada di kepala hanya ada hasrat seksual yang harus terpuaskan. Ia bingung kenapa dia bisa seliar itu, seperti jalang yang haus belaian. Sementara ia belum berpengalaman sebelumnya. Bisa dipastikan Aldebaran adalah laki-laki pertama yang menyentuhnya. Pertama dalam hidupnya ia merasakan seperti apa yang disebut orgasme dan ia tak peduli bagaimana cara Aldebaran mengenalkannya pada rasa itu. Yang ia tahu, ia begitu lemas setelah aktivitas panasnya. Dan kala terbangun, kondisinya yang polos tanpa busana membuatnya bergidik membayangkan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Aldebaran.

Lagi-lagi ia hanya terisak, menyalahkan diri sendiri dan merutuki kebodohannya. Apa lagi yang bisa dibanggakan dari dirinya? Jika mahkota yang seharusnya ia berikan pada seseorang yang sudah halal telah direnggut seseorang yang tidak berhak atasnya. Ia merasa, bukan hanya kehormatannya yang hilang, tapi juga separuh nyawanya.

Aldebaran mengerjap dan mengucek matanya. Ia melirik Riana yang menangis sesenggukan. Laki-laki itu bangun dari posisinya, tanpa beban, seakan tidak terjadi apa-apa diantara mereka.

Riana menatap kesal laki-laki yang telah menghancurkannya. Ia pukulkan bantal pada pria itu dengan hujan deras yang membanjiri wajahnya.

“Laki-laki brengsek, kurang ajar. Kenapa kamu tega banget nglakuin ini ke aku?” Riana menangis histeris.

Aldebaran kewalahan bagaimana menenangkan perempuan yang semalam membuatnya kembali merasakan sensasi yang seolah menjadi candu untuknya. Menyentuh perempuan dan mencicipi kemolekan tubuh perempuan itu seolah menjadi sesuatu yang tak bisa lepas dari otak mesum Aldebaran. Ia tak ingin melakukan dengan sembarang perempuan apalagi perempuan yang bisa dibayar. Gadis polos seperti Riana lebih memikat untuknya, kendati ada setitik rasa bersalah kala tiba-tiba wajah putri kecilnya menyelinap di benak. Namun ia tak akan membiarkan gadis itu lepas. Ia butuh bantuan Riana untuk mewujudkan obsesinya.

Riana masih terus memukul Aldebaran dengan bantal. Pukulan itu kian menjadi hingga membuat Aldebaran kehilangan kesabaran. Ia cengkram kedua tangan Riana dan ia hempaskan tubuh itu di ranjang. Aldebaran menindih tubuh yang sudah ia jajaki semalam dan menatap Riana dengan tajam.

“Diam..! Atau aku perlu mengingatkanmu kembali akan kejadian semalam?”

Riana memelankan isak tangisnya. Ketakutan mendominasi. Ia takut Aldebaran akan kembali melakukan sesuatu padanya.

“Jangan menangis lagi. Semalam kita melakukannya suka sama suka. Aku sama sekali tidak memaksamu dan seharusnya kamu berterima kasih karena semalam aku membantumu menuntaskan hasratmu yang menggebu-gebu.”

“Bagaimana bisa aku berterima kasih? Kamu udah mengambil semuanya, menghancurkan hidupku. Bagaimana aku berterima kasih? Kamu memanfaatkanku, Al. Kamu bejat! Pantas saja Diandra tidak mau kembali padamu.” Isak tangis itu kembali menggema. Riana seolah tak punya kekuatan lagi untuk bangkit.

“Lebih baik kamu diam dulu dan biarkan aku bicara. Aku punya foto-fotomu dengan tubuh polosmu yang begitu menggairahkan. Aku bisa saja menyebarkan foto-foto itu jika kamu menolak bekerja sama denganku.”

Riana semakin kalut. Satu fakta getir lain terungkap. Aldebaran tak hanya menghancurkannya dengan berbuat asusila terhadapnya, tapi juga menjadikan apa yang terjadi semalam sebagai senjata untuk memperalatnya.

“Kamu harus membantuku menghancurkan Rayga. Bersikaplah seperti semalam saat nanti kamu menghadapi Rayga. Aku akan menjebak pria itu hingga dia tak sadarkan diri. Kamu hanya perlu berakting di depan kamera dan mengelayut manja di dada polosnya. Jangan gunakan pakaian atasan. Beraktinglah seolah kalian habis bercinta. Aku yakin saat Diandra melihat foto kalian, dia tak akan mau menerima Rayga kembali.”

Riana berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Aldebaran.

“Aku tidak mau!” pekik gadis itu.

Aldebaran menekan kedua pipi Riana dengan ibu jari dan jari telunjuknya. Tatapan pria itu begitu menghunus, menerobos ke ujung terdalam mata Riana yang sudah diselimuti rasa takut.

“Kamu harus ingat, aku punya foto-fotomu. Apa kamu ingin dipecat dari pekerjaanmu dan orang tuamu tak lagi percaya padamu karena ternyata anak gadisnya sudah tahu bagaimana cara memuaskan seorang pria...”

Plakkk...

Riana mendaratkan satu tamparan keras di pipi laki-laki yang sekarang menjadi laki-laki yang paling dia benci.

Aldebaran menyeringai, “Tamparanmu tak akan bisa mengembalikan Riana yang lama. Ikuti saja perintahku maka semuanya akan baik-baik aja.”

“Dasar brengsek... Aku nggak pernah menyangka kamu bisa begitu bejat seperti ini, Al. Kamu memanfaatkan kepolosanku untuk memenuhi ambisimu.”

Lagi-lagi Aldebaran menyeringai, “Aku memang brengsek, Ri. Dan aku masih ingin mewujudkan ambisiku. Maaf kalau aku harus melakukan hal ini padamu.”

“Maaf! Kamu bilang maaf? Semudah itu kamu bilang maaf setelah apa yang kamu lakukan?” Riana meninggikan suaranya.

Aldebaran menelisik wajah gadis yang berada di bawah kungkumannya. Lagi-lagi tangis berderai membanjiri wajahnya. Berada di atas tubuh gadis itu saat udara dingin menyapa pagi buta ini membuat gairah laki-laki itu kembali berkobar. Celananya kembali sesak dan ia merutuki diri sendiri, betapa gadis ini mampu mengoyak-oyak pertahanannya. Ia tak akan melakukanya di saat gadis itu tidak lagi berada di bawah pengaruh obat perangsang. Ia masih punya rasa iba.

Aldebaran kembali mencengkeram kedua tangan itu ketika Riana memukul-mukul dadanya seraya menangis sesenggukan.

“Aku tidak meminta banyak, Ri. Aku hanya memintamu berfoto bersama Rayga. Itu saja. Kamu nggak perlu melakukan sesuatu yang lebih dengan Rayga. Karena sejak semalam, kamu sudah menjadi milikku, Ri. Dan aku nggak akan membiarkan laki-laki manapun bisa memilikimu.”

Riana tak habis pikir dengan pria yang telah berbuat kejam padanya. Dia ingin kembali pada mantan istrinya, tapi di sisi lain Aldebaran juga ingin memilikinya. Semua terasa gelap dan buntu. Ia tak tahu jalan nama yang harus dilewati. Ia tak tahu bagaimana nasibnya selepas ini. Ia masih bisa berpikir jernih bahwa mati dan bunuh diri bukan jalan untuk mengakhiri semua ini meski ia berpikir, mungkin mati lebih baik dibanding harus menyerahkan diri menjadi boneka Aldebaran.

Menangis, hanya itu yang bisa ia lakukan. Tangis itu semakin mencekat. Aldebaran bangun dari posisinya dan duduk sejenak di tepi ranjang. Ia melirik Riana sekali lagi. Ada rasa iba melihat air mata itu terus bercucuran. Namun ia harus mengenyahkan rasa iba itu demi meraih tujuannya.

******

Seminggu berlalu, Riana tak berangkat mengajar karena tak enak badan. Memang ia sempat demam dan dirawat di rumah sakit karena kondisinya terus menurun. Sakit fisik tak begitu ia rasa, sakit batin jauh lebih menyiksa dan membuatnya tertekan. Ia stres, takut berlebih, cemas, tak nafsu makan, bahkan sering kali sulit tidur karena cemas memikirkan nasibnya.

Ia merasa kotor, penuh dosa, tidak berharga, tidak pantas hidup...

Ketakutan terus  mendera.. Bagaimana jika foto-foto sensual dirinya tersebar? Bagaimana jika sekolah tahu tentang skandalnya bersama Aldebaran di malam naas itu? Bagaimana jika orang tuanya tahu bahwa anak gadisnya sudah dinodai oleh seorang pria? Bagaimana jika skandal itu terkuak dan semua orang tahu bahwa gadis berhijab itu tidak seshalihah pakaian yang ia kenakan? Bagaimana jika orang menghakiminya dengan serangkaian tuduhan negatif? Bagaimana dengan masa depannya? Bagaimana jika ada laki-laki datang dan ingin menikahinya? Bagaimana ia harus membawa aib itu seumur hidup? Adakah pria baik-baik yang mau menerima calon istri yang sudah tak lagi suci? Hingga akhirnya Riana menyerah pada satu keputusan, ia tak akan menikah.

Aldebaran sudah mengingatkannya bahwa dalam waktu seminggu lagi, ia harus melaksanakan perintahnya untuk menjebak Rayga. Aldebaran berjanji bahwa foto-fotonya dan Rayga nanti hanya akan ia kirimkan pada Diandra, dan akan menjaganya agar tidak sampai tersebar pada orang lain.

Tetap saja, gadis itu ketakutan. Sepanjang hari seperti mimpi buruk untuknya. Setelah memendam semua ketakutan itu seorang diri, Riana memutuskan untuk membagi kisahnya pada sahabat terbaiknya. Ia tak sanggup lagi mengemban semua beban itu sendiri.

Wanita berhijab itu mengatur deru napasnya yang mendesak tak teratur. Shock, sedih, kecewa, sakit, semua mengaduk-aduk perasaannya hingga ia tak tahu kata apa yang tepat untuk mendefinisikan. Sahabat terbaiknya sejak masa kanak-kanak kini mengalami permasalahan yang begitu pelik. Ingin rasanya ia marah atas kecerobohannya yang tak bisa menjaga diri dan bermudah-mudahan pergi berdua dengan laki-laki non mahram hingga akhirnya berujung pada kejadian naas yang menghancurkan masa depannya. Namun ia tahu, tak ada gunanya marah-marah sementara sahabatnya baru saja pulang dari rumah sakit dan kondisinya kini begitu mengenaskan dengan gejala depresi yang terlihat begitu kentara. Wanita cantik itu seolah kehilangan semangat hidup, seperti mayat hidup yang tampak jauh lebih kurus, tatapan kosong, mata sembab karena terlalu banyak menangis, serta gurat-gurat frustrasi yang mendominasi wajahnya.

“Coba kamu cerita hal ini padaku setelah kejadian. Aku akan menemanimu untuk periksa. Jejak sperma itu bisa menjadi bukti untuk menyeret laki-laki itu agar mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ini sudah seminggu berlalu, apa lagi yang bisa kita lakukan?”

“Kalaupun aku periksa, namaku akan tetap hancur, Din. Semua orang jadi tahu apa yang terjadi padaku. Lebih-lebih kalau kita melapor dan dia diberhentikan dari pekerjaannya, kasus yang menimpaku akan jadi viral di mana-mana. Lagipula aku sadar, ini bukan pemerkosaan, Din...” Riana kembali terisak.

“Dia melecehkanmu, Ri.” Gadis bernama Dinda itu membulatkan matanya.

“Masalahnya aku membiarkan dia melakukannya. Aku juga tak habis pikir, saat itu aku merasakan gairah seksual yang begitu besar dan harus dipenuhi. Sungguh, aku nggak tahu apa yang terjadi sama aku. Pikiranku hanya tertuju pada seks dan bahkan aku nggak bisa mengingat semua dengan detail. Aku bingung... Dia menyimpan foto-foto panas itu. Sekarang aku nggak hanya memikirkan masa depanku, yang aku takutkan bagaimana jika aku hamil..” Riana mengusap wajahnya dan air mata yang terus membanjir.

Dinda bersyukur, orang tua Riana sedang tidak ada di rumah, hingga ia punya kesempatan lebih banyak untuk bicara dengan Riana.

“Aku yakin benar, dia mengerjaimu dengan obat perangsang. Laki-laki itu sudah berpengalaman. Kamu sudah masuk dalam perangkapnya. Ini benar-benar teguran buat kamu, Ri. Kalau kamu menjaga dirimu untuk tak pergi berdua dengan non mahram, malam-malam pula, semua ini tak akan terjadi. Sekalipun kamu bilang awalnya dia baik, tapi yang namanya laki-laki itu bisa aja khilaf. Dia pasti sudah merencanakan ini sebelumnya.”

“Iya, aku tahu ini salahku, Din. Sekarang aku harus bagaimana? Apa aku harus kabur dari kota ini? Resign dari pekerjaanku? Untuk mengantisipasi jika nanti foto-foto itu tersebar, aku tak akan mencemarkan nama baik sekolah tempat aku mengajar.” Riana tertunduk lesu.

Ia kembali menitikkan air mata, “Kalau bunuh diri itu tidak berdosa, lebih baik aku mati saja.”

Dinda membungkuk di hadapan sahabatnya dan meraih tangan kurus itu lalu menggenggamnya erat.

“Jangan bicara seperti itu, Ri. Jangan biarkan laki-laki itu melenggang bebas. Minta pertanggungjawabannya. Meski aku juga nggak rela kamu menikah dengan laki-laki bejat kayak dia.. Tapi bagaimana lagi...Dia sudah merampas kehormatanmu. Entah kamu hamil atau tidak, dia harus bertanggung jawab.”

Riana merenung. Bagaimana bisa ia meminta laki-laki yang sejak malam itu begitu ia benci menikahinya? Ini hanya akan membuatnya semakin terlihat lemah di mata Aldebaran. Dia tak mau ditindas. Namun ia juga tak sanggup membawa aib itu seumur hidupnya.

******

Aldebaran mengetik materi presentasi untuk dua hari ke depan. Ia duduk di salah satu sudut coffee shop yang baru saja buka. Coffee shop ini milik salah satu teman terbaiknya.

Satria, sosok laki-laki yang masih betah melajang di usia 32 tahun ini menyajikan secangkir espresso pesanan sahabatnya.

“Gimana urusanmu dengan rival terberatmu, Al?” Satria duduk di hadapan laki-laki itu dan mengamati mimik muka Aldebaran yang begitu serius.

“Sebentar lagi aku akan menjebaknya.” Aldebaran tersenyum miring. Dalam benaknya sudah terbayang kemenangan yang sebentar lagi akan ia genggam.

“Dengan bantuan Riana? Cewek yang kamu kerjain pakai obat perangsang?” Satria merendahkan volume suaranya.

Aldebaran mengangguk pelan, “Dia nggak bisa menolak karena dia sudah ada dalam genggamanku.”

Satria menggeleng, “Kamu kejam juga, ya. Aku yakin, cewek itu pasti frustrasi berat. Yang aku takutin, kalau dia sampai nekat menyakiti dirinya atau bahkan bunuh diri...”

Aldebaran mengalihkan tatapannya dari layar. Ia menatap temannya tajam.

“Dia tak akan melakukannya. Toh aku tak sebrengsek itu untuk benar-benar mengambil keuntungan dari perempuan yang sebenarnya tidak menginginkan untuk berhubungan. Tiba-tiba saja wajah Alea terbayang di kepala. Aku nggak mau anakku kelak mendapat perlakuan yang sama.”

Satria mengernyit, “Maksudmu malam itu tidak terjadi apa-apa?”

“Terjadi sesuatu... Cuma sebatas... Icip-icip.... Itu sudah cukup buat makanan pembuka. Kalau aku balik sama Diandra, dia bakal kujadikan istri kedua.”

Satria melongo sekali lagi, “Yakin kamu nggak sampai...? Emang kamu bisa menahan diri? Aku rada nggak percaya. Lagipula kalau seseorang ada di bawah pengaruh obat perangsang, dia bakal terus bereaksi minta dipuaskan sebelum pengaruh obat itu habis.”

“Aku memuaskannya dengan cara lain. Yang jelas keperawanannya masih utuh. Tapi aku senang dia mengira dirinya sudah aku obrak-abrik luar dalam, itu yang membuatnya nggak bisa lepas dari kendaliku. Gadis polos kayak dia mana tahu gimana rasanya habis digituin. Bangun tidur nggak pakai baju aja udah panik setengah mati.”

Satria hanya bisa menggeleng dan tersenyum mengejek.

“Ckckck...sekalipun kamu nggak ambil keperawanannya, tapi bagi gadis yang selama ini menjaga diri, apa yang kamu lakuin udah fatal banget buat dia. Aku takutnya dia jadi trauma. Dari awal aku udah ngingetin kamu, Al. Hati-hati dengan permainan yang kamu ciptakan. Kamu bakal menerima konsekuensinya. Kalau kamu balik ke Diandra, lepaskan gadis itu. Bilang ke dia kalau malam itu tidak terjadi sesuatu yang lebih. Jangan serakah ingin mendapat dua perempuan sekaligus.”

Aldebaran tersenyum sinis.

“Aku harus mendapatkan Diandra karena aku juga ingin menunjukkan bahwa aku bisa mengalahkan Rayga. Dan aku nggak akan melepas Riana...karena... Karena mungkin aku sudah tertarik padanya.”

Satria kehabisan kata untuk menanggapi ucapan sahabatnya. Ia tak pernah bisa memahami jalan pikiran Aldebaran. Mereka kerap berseberangan pendapat. Kadang Aldebaran mengabaikan peringatannya.

Aldebaran sudah menyusun satu rencana untuk menjebak Rayga. Ia yakin, misinya akan berhasil.

******

Brondong, I'm in Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang