15. Akhir Cerita (end)

31.2K 2.3K 260
                                    

Btw aku udah pernah bahas nama bapak ibu dari Riana belum ya? Aku lupa je, kalau ada yg inget, ingatkan aku ya wkwkwk.

Rayga memijit-mijit kepalanya. Ibu dan bapaknya menginginkan resepsi pernikahan diadakan di gedung, sedang keluarga Diandra menginginkan di rumah orang tua Diandra. Halaman rumah mereka memang cukup luas, tapi tak akan sanggup menampung jumlah tamu undangan dari pihak keluarga Rayga.

Rayga menelepon Diandra untuk memastikan soal satu ini. Pasalnya tempat resepsi yang akan disepakati bersama harus disesuaikan dengan jumlah tamu undangan diinginkan kedua pihak. Ia ingin bersikap tegas, kalau perlu memaksa Diandra untuk mengikuti kemauan orang tuanya.

Assalamu’alaikum, Di.”

Wa’alaikumussalam. Ada apa, Ray?”

“Di, untuk tempat resepsi, kita sewa gedung ya. Semua tamu undangan dari pihak keluargaku sudah dicatat. Kalau resepsi diadakan di rumahmu, itu nggak akan muat. Lagipula akses ke rumahmu itu cukup sulit. Kalau di gedung di sekitar kampus, itu cukup strategis.”

“Tapi, Ray... Bagaimana aku menjelaskan ke orang tuaku? Artinya pernikahan kita akan diselenggarakan besar-besaran?”

“Masa iya kita mesti maksain tempat resepsi di rumahmu sementara kapasitasnya nggak muat? Aku capai berdebat dengan orang tuaku, Di. Bisa nggak kamu sedikit memahamiku dan mengalah?”

Senyap. Diandra hanya menghela napas tanpa mengucap sepatah katapun.

“Keputusan sudah bulat. Resepsi diadakan di gedung. Catering dan segala biaya, aku yang akan menanggung,” tegas Rayga.

Diandra masih terdiam.

“Kalau kamu memang mencintaiku dan menerima keluargaku, penuhi permintaan orang tuaku yang akan menjadi orang tuamu juga,” ucap Rayga lagi.

Diandra merasakan ketegasan Rayga kali ini begitu berbeda, seakan hanya memberinya satu pilihan untuk tetap melanjutkan penikahan mereka. Rasanya ia seperti dipaksa untuk mengiyakan.

“Di, kenapa dari tadi diam aja? Okay, terserah. Aku males ngurus beginian.” Rayga mematikan telepon. Ia tak lagi bisa mengontrol kesabarannya. Berdebat dan menyelaraskan keinginan itu sungguh melelahkan.

“Ray, gimana jawaban Diandra?” Endah mengernyitkan dahi. Ia mencium sesuatu yang tak beres.

Rayga menatap ibunya pias, “Entahlah, Bu. Pusing aku. Orang mau nikah aja serba puyeng dan ruwet kayak gini.”

Endah menggeleng, “Diandra dan keluarganya itu memang egois. Nggak mau ngalah. Baru mau nikah aja udah kayak gini, gimana nanti kalau udah nikah?” Endah ikut kesal dibuatnya.

Rayga terpekur. Yang membuatnya kecewa, Diandra tak menghubunginya lagi. Ia tak habis pikir, kenapa calon istrinya bisa begitu egois. Ia bosan terus dipaksa untuk menuruti semua keinginan Diandra dan keluarganya, sedang perasaannya dan orang tuanya diabaikan oleh Diandra dan keluarganya. Ia merasa diremehkan.

Suara ponsel berbunyi lagi, kali ini bukan ponsel miliknya tapi ponsel ibunya. Endah tergopoh-gopoh mengambil ponsel yang ia letakkan di meja.

Rayga mengernyitkan dahi kala sang ibu menampakkan keterkejutan dan mengelus dadanya.

“Ada apa, Bu?”

Endah menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan.
“Riana pergi dari rumah. Dia nggak ngasih tahu orang tuanya pergi kemana.”

Rayga melongo, “Riana pergi? Kenapa dia tiba-tiba pergi?”

“Ray, anterin ibu ke rumah orangtua Riana, ya. Mereka sahabat lama ibu. Ibu bisa ngrasain kesedihan mereka. Ibu ingin tahu lebih jelas masalahnya.”

Brondong, I'm in Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang