[8] Brosur

95 12 2
                                    

Masa skorsing Re telah usai. Ia mengambil sepatu warna abu-abunya dan segera memakainya. Re berdiri dan keluar dari kamarnya dengan tas dan jaket yang tersampir di bahunya. Baru saja ia selesai menutup pintu kamarnya, benda yang selama seminggu ini disita tiba-tiba melayang di hadapannya. Ia langsung cekatan menangkapnya dan menatap orang yang telah melempar kunci motor kesayangannya itu.

Re hanya mengendikkan bahu. Langsung saja ia menuruni anak tangga dan menghampiri si hitam. Re memanaskan motor itu yang telah istirahat total selama satu minggu. Langsung saja ia memakai helm dan meninggalkan pelataran rumahnya tanpa bicara sepatah kata pun.

Mentari pagi masih malu-malu menampakkan sinarnya. Laju motor memelan saat sudah sampai di sekolah.

"Loh tumben nggak telat, Neng!" Teriak Pak Giok.

Re hanya diam dan terus melajukan motornya sampai di parkiran sekolah. Ia turun kemudian berlari ke toilet untuk mengganti celananya. Sesudah itu, Re berjalan gontai menuju kelas XI MIPA 3. Di sepanjang koridor, ia selalu ditatap aneh oleh banyak siswa. Menjadi bahan bicaraan itu sudah hal biasa. Berbagai olokan bak makanan sehari-hari.

"Dih! Sekolah kok pake sepatu abu-abu!"

"Dih cabe dah, lihat tuh roknya ngepres banget!"

"Pamer bodi kok di sekolah!"

"Gatel deh, maunya gaul sama cowok doang!"

"Halah, paling dia cuma ikutan nongkrong doang! Mana bisa dia balapan!"

Semacam itulah kalimat-kalimat yang tertuju padanya.  Re tidak mengindahkan sama sekali. Ini hidupnya, mengapa mereka yang repot?

Langkahnya berhenti ketika melihat ramai-ramai di depan mading sekolah. Tidak biasanya anak-anak SMAnya berkerumun di depan papan itu. Ia menghampirinya, ikut berdesak-desakkan. Tanpa membuka mulut, ia terus menerobos ke depan. Tertempel brosur balapan motor di sana. Re membacanya dengan seksama.

Ia menghela napas panjang dan keluar dari kerumunan itu. Ia kembali menoleh ke sana sampai ada tangan yang menepuk pundaknya pelan.

"Ikutan kagak?" Tanyanya

Re menoleh dan mendapati Kevi sedang berdiri di sana dengan menalikan dasi di kepalanya. Re lalu menggeleng pelan, "Nggak ah, uang daftarnya rada gede tuh. Mau ngepet di mana?" Ucap Re pelan.

"Woy!" Pekik Wawa mengagetkan.

"Lo paan dah! Teriak-teriak kayak di hutan aja!" Omel Re memukul lengan cowok unyu itu.

"Ikutanlah Re! Orang uang Bapak sama Emak lo banyak juga," bujuk Wawa.

"Uang sekolah gue udah tinggal dikit bego!" Umpat Re.

"Ya masak lo kalah sama Seban sih? Malu dah Re," kompor Wawa.

Kevi menyenggol lengan Re dan mengedipkan mata. "Lo mungkin emang lagi kere duit, tapi nggak kere temen," ucap Kevi.

"Ya bukan gitu, Kev. Bayar daftarnya aja udah dua juta. Kalo nggak menang kan rugi," ucap Re penuh perhitungan.

"Heh Rempeyek! Menang kalah itu biasa! Dalam perlombaan yang penting itu ada usaha! Lah lo? Belum apa-apa udah mikir kalah! Lagian kalo kalah juga nggak ada ruginya. Lo malah punya banyak pengalaman. Inget, uang bisa dicari tapi kesempatan kagak!" tutur Wawa.

"Lah kenapa nggak lo berdua aja?" Tanya Re heran.

"Cewek kita yang cakep sendiri, listen ai good-good. Gue balapan sama curut kek lo aja kalah, apalagi sama pembalap pro-pro gitu? Mempermalukan diri?" Tanya Wawa.

Re kembali diam memikirkan perkataan temannya. "Ya udahlah, ntar gue pikirin lagi. Balapannya juga masih satu bulan," ucap Re lalu menarik lengan kedua cowok itu untuk pergi ke kelas.

MEMORETHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang