[23] Lupakan dan Ingatam

87 8 11
                                    

Tangannya terus mengemasi barang-barang yang ada di kamar. Keputusannya sudah bulat. Bukannya lari dari kenyataan. Untuk apa kita berdiam diri jika tujuan yang ingin diraih semakin jauh? Bukankah kita harus mengejar? Seharusnya ia tak pernah hadir di sini. Di buana yang sangat sempit.

Ibunya mengalami depresi sedang. Dari pemeriksaan kemarin, dokter mengatakan bahwa ibunya juga seorang pengguna narkoba jenis stimulan. Dan hari ini ia akan terbang ke benua kangguru.

Tangannya menarik koper berukuran besar. Banyak alasan mengapa Re ikut ibunya pergi. Salah satunya, sudah tidak ada siapa-siapa yang bisa memulihkan hatinya. Teman-temannya sekalipun. Ia pandang rumah yang sempat memberi kehangatan. Ya, meski semua memang palsu. Tak ada yang nyata. Tapi setidaknya, semua akan menjadi sebuah kenangan.

Sekolah? Sudah sejak lama ia tidak peduli dengan pendidikannya. Mungkin ia memang sudah terlalu bodoh sampai ia tidak tahu sebenarnya ia ini ingin kemana. Ternyata, mengikuti Kevi bukanlah pilihan yang tepat. Justru sangat salah. Iq baru sadar bahwa ia lebih paham jika praktik. Bukan teori-teori yang terlalu rumit dan membosankan. Re akan melanjutkan sekolah di Australia. Akan memulai semua dari nol, bersama ibunya. Ia akan merawat ibunya. Tak peduli caci-makian yang terlontar.

Kevi tadinya membantu ia berkemas. Dan kini cowok itu sedang menyiapkan mobil untuk mengantarkannya ke bandara. Bi Nanik dengan kepayahan menarik koper milik Alvia. Re tersenyum dengan beliau.

"Bi, makasih ya. Maaf," ucap Re hendak mengambil koper ibunya.

"Eh, Non! Nggak usah atuh. Lagipula kaki Non masih sakit. Udah Non, biar Bibik saja ya," sergah Bi Nanik.

Layaknya drama, tiba-tiba pria itu datang bersama wanita cantik. Iya, cantik sekali. Sayangnya ia adalah jalang. Mata Re menatap kedatangan mereka dengan wajah datarnya. Ia beralih memandang tangan wanita yang melingkar manis di lengan kokoh prianya.

"Gue bakalan minggat selamanya. Tenang aja. Oh ya, makasih dan maaf," ucap Re tersenyum getir.

"Tapi Ayah akan memenangkan hak asuhmu," ucap Anto menatap dalam mata Re.

Re tertawa pelan, "Percuma. Gue pasti bakalan pergi."

"Oh ya, selamat buat lo. Lain kali nggak usah nutup diri pake kedok. Muak gue," lanjut Re menunjuk Rea.

"Revina!" Tegur Anto.

"Ups, sori," balas Re sambil menutup mulutnya. Pura-pura terkejut.

Re mulai berjalan melewati mereka dibantu Bi Nanik yang setia menuntunnya. Di pintu depan sudah ada Kevi yang memperhatikan gadis bertongkat penyangga.

"Re," panggil Rea, membuat gadis itu berhenti sejenak.

Rea menelan ludahnya sebentar, "Kalau kamu udah siap. Temuin dia ya," pintanya sebelum Re benar-benar tidak ingin mendengar apapun dari mereka.

"Makasih, Bi. Jaga diri Bibi baik-baik," pungkas Re sebelum masuk ke dalam mobil Kevi.

Bi Nanik pun mengangguk menyanggupi.

"Kenapa sih lo harus ke Australia? Di sini juga masih ada gue, Re," ucap Kevi sambil menancapkan gas. Beranjak pergi dari pelataran rumahnya.

Gadis di sampingnya diam. Menatap ke arah rumahnya yang semakin jauh dari kaca spion.

"Karena sebuah luka harus diobati," jawab Re.

"Tapi nggak masalah kan kalo gue sama temen-temen jenguk lo ke sana?" Tanya Kevi lagi.

"Asal jangan rusuh," balas Re.

Re menghela napas panjang. Ia masih bingung, sebenarnya apa akar permasalahannya. Namun, bukan sekarang waktu yang tepat untuk bertanya.

MEMORETHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang