[22] Jauh

71 9 5
                                    

Kakinya menendang kuat tembok yang ada di depannya.

"ARRGH KENAPA?! KENAPA HARUS BUK REA?! KENAPA?!" Teriaknya kalap.

Tangannya dengan brutal mengobrak-abrik isi markas. Ia membenturkan kepalanya di tembok. Mencari pelampiasan rasa sakit lainnya. Nyeri yang ada di kakinya tak dapat menawar sesak yang ada di hati terdalamnya.

"ARGH!" Ia berhenti membenturkan kepala. Kini ia terduduk di salah satu kursi yang masih berdiri. Tangannya menjambak rambut yang sudah kusut. Ia tidak peduli dengan darah yang keluar dari pelipis maupun kakinya.

Saat ia memejamkan mata, sekelebat bayangan tiba-tiba datang. Samar-samar, terputar secara acak dan cepat. Ia memegangi kepalanya. Es krim, buku, telur. Ia tidak paham dengan semuanya. Ia pun membenturkan lagi kepalanya. Berharap rekaman itu hilang. Dengan cepat Re mengambil ponsel yang ada di saku celana. Ia langsung memencet nomor teratas dan mengirimkan pesan.

Revina : Bolos nggak?
Revina : Bisa ke markas abis pulsek?

Keningnya bertautan selepas membaca pesan dari Re. Baru saja hendak membalas, pesan baru dari gadis itu muncul.

Revina : Gue lupa
Revina : Lo futsal ya?

"Nih cewek kenapa sih?" Gumamnya sendiri.

Ia menenggak minumnya. Keringat keluar dari pelipis Kevi. Jemarinya bergerak lihai di atas layar ponselnya.

Keviar : Ntar, tungguin aja

Re tetaplah penting. Namun, ia juga harus loyal terhadap tim futsalnya. Yang ia pikul bukan lagi nama sekolah, tapi nama provinsi. Meski pikirannya terbagi menjadi dua.

Ia pun berlari menuju lapangan untuk melanjutkan latihannya.

"Kev! Lo mainnya yang bener dong!" Teriak teman satu timnya.

Lagi-lagi ia gagal fokus setelah mendapat pesan dari Re.

"Gini kok jadi kapten," cibir cowok tadi.

"Maksud lo apa?" Tanya Kevi maju.

"Lo nggak becus goblok!" Tantangnya.

"Kalo gue nggak becus, nggak mungkin futsal kita bisa masuk nasional! Mikir! Sekarang yang goblok gue apa lo?!" Balas Kevi marah.

"Woy spesies goblok! Udah berhenti! Stop!" Teriak temannya yang lain. "Lo berdua satu tim napa riweh gini sih? Kompak man kompak!" Lanjutnya berdiri di tengah keduanya.

"Lo kenapa sih, Kev? Gue perhatiin dari tadi, main lo agak kacau. Kalo lo capek, mending pulang. Ada masalah? Mending selesaiin sekaragg. Loyal sih loyal. Tapi ngeselin. Masak dikasih umpan malah ditendang ke lawan? Mabok lo?" Tanya cowok itu memberondong.

"Udahlah, gue cabut," pamitnya kemudian mengambil tas dan jaketnya di bangku penonton.

Sesampainya di markas, ia dikejutkan dengan adanya motor yang terparkir di sana. Itu adalah motor Re.

Kevi pun berjalan masuk. Bercak darah bercceceran di lantai. Matanya membulat saat melihat bahwa darah tersebut berasal dari kaki Re.

Cewek itu terduduk lemas di kursi dengan kepala mendongak ke atas. Matanya memejam, wajahnya pucat pasi, rambutnya acak-acakkan, napasnya memburu. Dan yang paling parah adalah darah yang merembes mewarnai perban di kakinya. Juga yang ada di pelipis Re.

"Re?" Panggil Kevi sambil menggoyang-goyangkan tubuh cewek yang tubuhnya semakin kurus.

Re membuka matanya pelan. Pandangannya kosong. Kevi berjongkok di depannya.

MEMORETHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang