[18] I See You

69 9 4
                                    

Jantungnya mencelos lagi untuk yang kedua kalinya. Napasnya memburu tak karuan. Ia berlari tergopoh-gopoh di koridor rumah sakit. Hatinya merasa gagal untuk yang kesekian kalinya. Gagal mendidik juga menjaga anak semata wayangnya.

Anto harus membatalkan janji bertemu dengan investor siang ini di luar kota karena sekertarisnya memberi kabar yang tidak ingin ia dengarkan lagi. Mencari pesawat yang balik ke pusat kota saat itu juga bukanlah hal yang mudah. Khawatir dan panik membuatnya tidak bisa berpikir dengan jernih. Yang menancap hanyalah bagaimana keadaan putri tersayangnya yang terbaring di rumah sakit karena kelalaiannya. Jika ia tahu bahwa Re hendak ikut balapan, maka ia akan melarangnya. Setidaknya kejadian ini tidak menimpa gadis tersebut.

Anto memaki dirinya sendiri di sepanjang koridor. Tak lupa ia berusaha menghubungi Alvia. Wanita itu harus tahu keadaan putrinya. Namun, nihil. Tak satupun panggilan yang terjawab.

Dari kejauhan, matanya menangkap sosok Kevi dan juga teman-temannya. Mereka pasti sangat mencemaskan Re, sama halnya seperti dirinya. Bukan semakin melambat, langkahnya justru semakin cepat. Ia tak peduli bagaimana penampilannya kali ini.

Langsung saja tangannya membalikkan tubuh Kevi. Satu pukulan telak mendarat di ujung bibir Kevi. Tubuhnya terjengkang.

"Kenapa kamu tidak melarangnya! Dasar bajingan!" Teriak Anto membuat kegaduhan.

Wawa langsung saja bangkit dari duduknya dan membantu Kevi berdiri. Kevi mengelap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Bima yang tadinya duduk di lantai pun bangkit dan menahan pukulan Anto. "Hentikan Om! Cukup! Tenangkan pikiran Om! Semuanya khawatir! Nggak cuma Om aja!" Bima mencoba menyadarkan Anto.

Laki-laki paruh baya tersebut menyentak tangan Bima yang bertengger di bahunya. Ia lalu menjambak rambutnya, memukul tembok rumah sakit. Tak peduli betapa sakitnya. Itu tak sebanding dengan apa yang anaknya rasakan di dalam sana.

"Mohon maaf, Pak. Jaga sikap Bapak. Ini di rumah sakit. Terima kasih," tegur seorang perawat yang lewat.

"Iya maaf, Suster," balas Kevi.

Perawat tersebut tersenyum lantas berlalu pergi.

Kini mata Anto menatap nanar keadaan Re yang masih terpejam.

"Katakan! Apa yang terjadi dengan Re?" Tanya Anto mendesak.

Bima menghela napas panjang. "Penyebabnya bukan hanya rem motor Re yang dol. Tapi peserta balap yang lain bermain curang, Om. Mereka menendang bagian belakang motor Re sehingga dia kehilangan keseimbangan," jelasnya.

"Dan tulang kering Re patah karena benturan dengan aspal. Ditambah beban berat motor yang menindih kakinya," kini Wawa yang menjelaskan dengan ragu.

Kevi di sampingnya memejamkan mata. Entah mengapa ia juga merasakan sakit di dalam sana.

Anto mengerang lelah. Ia kembali menatap anaknya dari kaca luar. Matanya tertuju ke kaki tuan putrinya yang terselimuti.

"Re tadi udah sadar, Om. Tapi tidur lagi. Kata dokter, dia harus istirahat. Jangan diganggu dulu," Wawa masih setia menjelaskan.

Setengah jam Anto menunggu. Akhirnya, kini ia sudah berada di kursi dekat brankar. Mengelus rambut anaknya. Re hanya terdiam menatap langit-langit ruangan. Tak berniat menoleh ke arah ayahnya.

Pikirannya berkelana jauh ke laki-laki bermata teduh itu. Mengapa ia tidak kemari menjenguknya? Re berharap Ram ke sini.

"Temen-temen di mana, Yah?" Tanya Re kemudian.

"Mereka tadi izin keluar bentar. Mau beli makan, lapar katanya," jawab Anto. "Kamu mau makan? Ayah suapin?" Tawarnya.

"Nggak usah, Yah," tolak Re lemah. "Hm, Bunda nggak ke sini?" Tanyanya menoleh.

MEMORETHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang