[11] Versi Gue

84 16 2
                                    

Re menatap langit kamar yang tersinari pancaran mentari sore. Ia berbaring di atas kasur dan sebelahnya ada cowok yang duduk serius menekuri laptop yang berada di pangkuannya. Ia pandang cowok itu dari samping.

"Lo emang mau nerusin perusahaan almarhum Om sama Tante?" Tanya Re.

"Kalo gue nggak mau, mana mungkin gue ngecek semua data perusahaan?" Tanya Kevi balik.

Re berpindah posisi duduk menghadap cowok bermata tajam tersebut.

"Kalo gue sih males banget," komentar Re menopang dagu.

Kevi mengalihkan pandangan dari laptop ke arah Re. "Terus perusahaan onderdil motor Om Anto gimana kabarnya kalo lo nggak mau nerusin?" Tanya Kevi.

"Ayolah, Kev. Setiap orang punya keputusan masing-masing. Mungkin lo emang memutuskan untuk nerusin peninggalan Boyok. Tapi gue punya keputusan lain, Kev. Gue pengen jadi pembalap, bukan pemilik perusahaan," jelas Re panjang.

"Ya kasian Bokap lo, Re," ucap Kevi.

Re mengendikkan bahunya tidak peduli. Ia kembali berbaring. Bedanya, sekarang ia memaksa Kevi memberi ruang di paha cowok itu untuk kepalanya. Awalnya, Kevi menolak tapi pasrah sesaat karena melihat Re yang mendapat kenyamanan di sana.

"Lo kok nggak ada niat buat nyari pacar sih? Lagian wajah lo kan lumayan juga. Deketin satu dari yang sering ngejar-ngejar lo kek," saran Re memejamkan mata.

"Lo sendiri?" Tanya Kevi kembali fokus pada kerjaannya.

"Keviar Abraham terhormat, mana ada cowok yang sudi deketin gue, hm? Pinter kagak, suka bikin onar iya," jawab Re terkekeh.

"Gue sama lo nggak beda jauh kan?" Tanya cowok itu lagi.

"Eh, kata anak kelas nih ya. Cewek tuh suka sama yang badboy-badboy gitu. Yang cool kek kulkas. Yang wajahnya tripleklah," tutur Re masih memejamkan mata.

Sekarang gantian Kevi yang tertawa, "Udah berapa kali gue bilang? Kalo punya otak itu buat mikir. Jangan dibuat ngegas mulu." Ia menyentil pelan jidat Re.

"Ck, gimana?" Tanya Re.

Kevi memandang wajah Re, "Jodoh itu nggak bakalan kemana. Nggak usah kita cari-cari. Nanti juga bakalan pulang ke rumahnya yang asli."

"Kalo nyasar gimana? Kan kudu kita jemput?" Balas Re.

"Punya otak kan? Apa gunanya google map kalo bukan buat nyari lokasi?" Kevi balik menanya.

"Sa ae lo lah. Kalah gue, daripada bacotan nggak jelas mulu," Re akhirnya menyerah dan diam. Membiarkan Kevi kembali menatap laptopnya.

Hening menguar di antara kedua manusia tersebut. Desis AC terdengar jelas. Kicauan burung saling menyaut kembali ke sarang masing-masing. Semburat jingga terlihat jelas di balik jendela kaca lantai 10 apartemen milik Kevi.

"Seno tadi abis nemuin gue di kantin," ucap Re.

"Dia ngomong apaan sama lo?" Tanya Kevi serius.

Di kantin sekolah yang ramai hanya menyisakan satu meja yang diduduki Re sendirian. Perutnya sangat lapar dan tidak tega memaksa Wawa yang pusing memikirkan OSN yang akan ja ikuti. Semangkok bakso kosong hanya diam menatap Re yang ada di depannya. Wajah gadis itu mengedar ke seluruh kantin.

"Ah tumben sendirian. Mana pawang lo? Bahaya kalo dibiarin. Ngamuk, bisa ancur nih sekolah," suara itu membuat Re langsung menoleh ke belakang.

Hembusan napas keras keluar dari hidungnya. Ia memutar bola mata malas. Seno pun langsung menarik kursi kosong di depannya dan duduk tanpa meminta persetujuan.

MEMORETHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang