[20] Cocok

74 11 5
                                    

Malam seakan menikam, enggan melepas mangsa. Kepalanya tertunduk tanpa berani mendongak. Seluruh mata memandanginya marah.

"Lo seneng ya Roy kalau gue celaka kayak gini?" Tanya Re pelan.

Intonasinya datar. Matanya tajam menatap cowok berjaket hitam di depannya.

"Kita semua di sini kurang apa? Kurang duit?" Tanya Re lagi.

"Kalian terlalu baik buat gue yang nggak ada apa-apanya," jawab Roy.

"Malah ngebucin nih bocah," ejek Wawa yang bersandar di dinding samping brankar Re. Tangannya bersedekap di depan dada.

"Jangan egois. Gimana kita bisa tau kalo lo butuh uang? Lo aja nggak pernah ngomong sama kita, Roy," lanjut Re. "Iya, gue tau. Biaya operasi adik lo itu nggak dikit. Banyak banget. Gimana gue bisa bayar coba? Tapi kalo kita semua sama-sama mau cari itu uang, gampang."

"Udah terlanjur. Nggak bisa diputer lagi," ucap Roy.

"Dengan kata lain lo nggak nyesel sama sekali? Ah good sumpah gue terhura asli," sahut Wawa.

"Kenapa harus Seno?" Tanya Kevi.

Roy memalingkan wajah. Menatap langit malam dari jendela kamar inap Re yang kordennya sengaja dibuka. "Dia yang dateng."

Semua kembali diam. Namun, itu tidak bertahan lama. Ketukan pintu membuyarkan keheningan yang tercipta. Tiga polisi masuk membuat raut kebingungan terpancar dari masing-masing wajah penghuni ruangan.

"Selamat pagi, apakah di sini ada yang namanya Roykhan Kurniawan?" Tanya polisi tersebut tanpa basa-basi.

"Saya sendiri, ada apa Pak?" Tanya Roy.

"Anda kami tangkap karena terduga sebagai pelaku penyebab kecelakaan yang menimpa saudara Revina Destha. Keterangan lebih lanjut akan kami jelaskan di kantor polisi," ucap polisi tersebut mengejutkan Roy.

"Tapi Pak! Saya tidak mengajukan tuntutan!" Teriak Re dari brankarnya.

"Lepaskan teman saya, Pak!" Teriak Kevi mencoba menarik paksa temannya dari cekalan polisi.

"Maksudnya gimana, Pak?! Korban saja tidak mengajukan tuntutan! Bagaimana bisa Bapak menangkap teman kami?!" Tambah Bima ikut menarik Roy yang akan dibawa keluar dari ruangan.

"Saya yang mengajukan tuntutan."

Suara itu, Re terbelalak melihat sosok ayahnya muncul dari balik pintu. "Tidak ada bantahan, Re," ucapnya menatap Re. "Silahkan bawa dia pergi," perintahnya pada tiga polisi yang menangkap Roy.

Sosok Roy pun tenggelam di balik pintu. Menghilang dengan wajah pucat pasi.

"Roy!"

"Jangan ada yang bergerak!" Peringat satu polisi yang menghadang jalan keluar. "Kalau begitu permisi, Pak. Selamat pagi," pamitnya ikut pergi menyusul yang lain.

Namun, Bima dan Wawa tetap mengejar mereka. Berbeda dengan Kevi yang menatap Anto marah. Dia memang marah terhadap Roy. Tetapi ia tidak benci dengan cowok itu, sedikitpun.

"Om!"

"Ayah!"

"Dia bersalah, lalu apa yang perlu dipermasalahkan? Teman? Sahabat? Teman macam apa dia? Rela mencelakai temannya sendiri?" Potong Anto sebelum keduanya berkata lebih lanjut.

Re meronta ingin turun. Namun, dicegah oleh Kevi. Gadis tersebut pun berteriak. "Dia teman Re, Ayah!"

"Om! Memberi pelajaran bukan hanya dengan sebuah hukuman!" Timpal Kevi.

"Saya sayang dengan anak saya. Apa ada orang tua yang terima jika anaknya dicelakai? Tidak ada," ujar Anto lantas pergi dari sana.

"AKU BENCI AYAH! ARRGH!"

MEMORETHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang