Tetes hujan menerpa cakrawala siang ini. Kelas sunyi memberi kesan damai bagi gadis yang sedang termenung menatap papan tulis di depan sana. Kakinya bergerak maju mundur sejak tadi. Pikirannya melayang kemana-mana tanpa niat fokus. Berkali-kali ia menatap jam yang seakan menetap tanpa mau berputar.
"Kebelet?" Tanya Kevi yang berada di sampingnya.
"Heeh, kebelet keluar. Nggak betah gue," bisik Re.
Pak Domo masih terus mengawasi siswa-siswanya yang sedang mengerjakan ulangan. Sesekali matanya meneliti Re yang anteng namun buyar di dalam. Bagi siswa pintar, ulangan seakan hiburan semata untuk mengasah kemampuan. Namun, berbeda dengan Re yang menyentuh buku saja anti.
Mata Re melirik sekilas Wawa yang mengerjakan dengan tenang. Ia beralih ke Kevi yang berada di sampingnya.
"Sumpah lo nggak mau bantu gue?" Tanya Re mendesis.
"Ini udah gue kasih celah goblok! Udah cepetan salin! Wawa udah ngasih yang pilgan," balas Kevi tidak kalah pelan.
Re makin ambyar di dalam saat Pak Domo berjalan mengelilingi kelas. Guru itu berhenti di samping Re yang sedang mengerjakan. Tentunya melirik jawaban Kevi.
"Kenapa masih pake sepatu abu-abu?" Tanya Pak Domo dengan suara beratnya.
Lama Re terdiam sampai satu nomor selesai. "Masih tahap ngumpulin uang, Pak," balasnya tanpa menatap guru bertubuh gempal dan pendek itu.
"Bukannya orang tua kamu kalangan atas?" Tanyanya lagi.
"Maaf, Pak. Tapi ngemis bukan sifat saya," jawab Re lantas berdiri.
Ia membawa serta tasnya. Lantas berjalan menuju meja depan dan mengumpulkan kertas ulangannya. Kakinya melangkah ke pintu tanpa berniat menyalami guru yang sering dibuatnya naik pitam. Langkahnya terus menapak di koridor sekolah yang lengang.
"Heh tungguin!" Teriak Wawa membuat keributan.
Cowok itu tidak sendirian, di belakangnya ada Kevi juga Bima. Re menunggu ketiganya dengan menyandarkan punggung ke salah satu pilar koridor.
"Roy mana? Semenjak ada pacar baru jarang nongol tuh anak," tanya Re setelah ketiga cowok itu berhenti di depannya.
"Ya yang pasti pacaran lah, gimana sih," jawab Wawa.
"Udah nggak solid tuh bocah emang. Ntar aja kalo udah putus, lari ke kita-kita. Taulah, banyak orang yang ngedatengin kita pas butuh doang," tutur Bima menambah.
"Ya udah, tanpa dia juga jalan kan?" Sahut Kevi.
"Ya rasanya itu kayak masakan nggak dikasih Masako. Kurang asoy," ceplos Re.
"Ini ujan awet bener dah perasaan. Kayak pekoknya doi, kagak ilang-ilang. Orang udah dikasih kode juga," gerutu Wawa menatap awan hitam yang masih setia membelenggu cakrawala.
"Halah bucin aja terus lo," cibir Bima sambil mengunyah permen karet.
"Eh, Bim. Lo nggak ada tambahan? Kan Pak Domo gencarin jam tambahan buat pendalaman materi UN anak kelas 12," tanya Kevi.
"Ada tapi ntar malem," jawab Bima.
Re mengernyit, "Malem? Di sekolah?" Tanya gadis itu kaget.
"Iya, tau dah. Kayaknya akhir-akhir ini gue kagak bjsa kumpul-kumpul sama lo pada." Bima menjawab dengan suara lesu.
Mereka bertiga mengangguk dan kembali menatap tetesan air. Setelah dirasa hujan sudah reda, mereka menghampiri motor masing-masing dan mulai pergi meninggalkan sekolahan..
Sampai di tempat pendaftaran, Re langsung mengisi formulir dan melakukan transaksi. Tentunya dengan uang Bima. Hanya butuh waktu setengah jam.
"Nggak ngumpul dulu Bim?" Tanya Re menahan lengan cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMORETHA ✔
Teen FictionIbunya yang selalu memikirkan karier dan ayahnya yang mendua menjadikannya gadis urakan tak terurus karena kurang kasih sayang. Bersama empat temannya, Revina Destha lalui masa remajanya yang tak punya aturan. Sampai suatu hari, ia bertemu dengan la...