Mungkin takdir kita memang seperti ini adanya.
~Raymon Aditama~***
"BUNDA!" Pekik Re berlari menghampiri Alvia yang kacau balau. Rambutnya kusut, ada kantung mata hitam di bawah matanya.
"Re," balas Alvia merentangkan tangannya. Mereka pun berpelukan saling melepas kelegaan.
Alvia mencium hangat kening putrinya. Re semakin mendekap erat tubuh ibunua yang kian kurus.
"Apa yang Ayah lakukan?" Tanya Re menilik tubuh Alvia. Gadis itu takut jika Anto melakukan sesuatu yang buruk pada mantan istrinya.
"Kamu sendiri?" Alvia balik bertanya sambil menyelipkan anak rambut Re ke belakang telinga.
"Ayah nggak sakitin Bunda kan?" Tanya Re lagi tanpa berniat menjawab pertanyaan Alvia.
Anto benar-benar memberi kebebasan untuknya berbicara lama dengan Alvia tanpa dijaga bodyguard.
Alvia menggeleng. "Jawab pertanyaan Bunda," perintah Alvia rendah.
Re menghela napas panjang. Ia lantas menceritakan semua yang telah ia alami.
"Bunda dan Ayahmu adalah hubungan hasil paksaan, Re. Tak pernah ada cinta di antara kami berdua. Tapi, akibat kecelakaan kecil, hadirlah kamu di antara kami. Bunda minta maaf sama kamu. Bunda memang gila sampai tega ingin memusnahkan kamu. Bunda minta maaf," ucap Alvia tertunduk dalam dengan tangan masih setia menggenggam tangan Re.
"Kalau bukan karena Ayahmu, mungkin kamu nggak ada di sini," lanjutnya parau.
"Maka dari itu Bunda membenci Re?" Tanya Re menarik pelan tangannya.
Alvia menggeleng kuat, "Bukan. Bukan kamu penyebabnya, Re. Bunda-"
"Terus? Apa Bunda masih ingat perkataan Bunda bahwa aku bukan anak Bunda. Maksudnya bagaimana?" Tanya Re sarkas.
"Bunda menyesal, Re," ucap Alvia penuh rasa bersalah. "Bunda nggak mau kamu mengalami hal yang sama seperti Bunda."
"Siapa yang peduli dengan Re? Nggak ada," pungkas Re lalu beranjak pergi dari sana. Mengabaikan teriakan Alvia.
"Mau kemana?" Tanya Anto menghadang putrinya.
"Mau ke apartemen, ngemas barang. Bukannya bentar lagi gue bakal jadi istri orang?" Tanya Re dingin.
Anak hasil paksaan. Anak hasil kecelakaan. Anak yang tidak diinginkan. Apalagi yang pantas untuk Re? Gadis itu mengemasi barangnya serampangan. Mengakibatkan surat dari Ram terjatuh kemana-mana. Bahkan yang peduli dengannya justru bukanlah orang tuanya. Melainkan orang lain, bukan sedarah dengannya.
Ada satu surat yang membuatnya sedikit tertarik. Warna amplopnya kuning, berbeda dengan lainnya yang berwarna putih. Re membuka pelan-pelan lipatan surat tersebut.
Isinya lumayan banyak, tidak seperti surat yang ia terima pertama kali.
Jakarta, 23 Juni 2018
Untuk Re,
Banyak sekali pertanyaan yang tak pernah kamu jawab. Apakah kamu membuang surat dariku? Jika benar, aku tidak marah. Itu hakmu meski aku tidak pernah tau alasannya mengapa.
Aku tak pernah jengah, sungguh. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu lewat suratku ini. Aku mencintaimu. Itu alasanku selalu mengirim surat padamu. Kamu pernah bilang padaku bukan? Kalau kamu adalah anak yang tak pernah diinginkan. Tapi, aku lebih dari itu. Aku sangat menginginkanmu, Re. Kamu menerimaku apa adanya. Ya, mungkin karena kamu kasian? Tapi aku tidak peduli. Aku sangat menyayangimu. Maaf jika aku memaksa. Masalah kamu menerima atau tidak, itu tidak masalah. Aku cukup sadar diri. Namun, beri aku kesempatan untuk berusaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMORETHA ✔
أدب المراهقينIbunya yang selalu memikirkan karier dan ayahnya yang mendua menjadikannya gadis urakan tak terurus karena kurang kasih sayang. Bersama empat temannya, Revina Destha lalui masa remajanya yang tak punya aturan. Sampai suatu hari, ia bertemu dengan la...