MENUNGGU

69 3 2
                                        

AKU tidak bisa menceritakan tentang dirinya, karena bagiku dia seseorang yang terlalu sempurna, dan bahkan sangat sempurna. Kasih sayangnya tidak ada yang menandingi, meskipun sepasang kekasih yang lagi kasmaran, hingga akhirnya aku pun selalu merindui, bahkan begitu sangat mencintainya.

Ya, aku merasakan itu, karena dialah seseorang yang ku sebut dalam doaku setelah Allah dan Rasulku. Ya, hanya dirinya yang bisa membuat aku terharu, membuat aku tersimpuh mengharap keridloannya. Sebagaimana yang telah sering aku dengar. "Ridlo Allah tergantung ridlo orang tua".

Aku senang melihat keadaannya baik-baik saja, ia baru saja pulang dari Negri Jiran, aku selalu memandangnya, itulah yang ku lakukan ketika bersamanya, dialah yang selalu ku tunggu kadatangannya, dan akhirnyapun penantian itu kesampaian juga.

Tengah malam sekitar jam 12:50 ada seseorang mengucap salam dari luar rumah. Bibikku membukanya, tiba-tiba Bibik berhambur memeluk, dari tidur nyenyak, aku mendengar ada isak tangis, entahlah dengan siapa Bibik menangis.

"Dek remmah Kabereh be'en le'........?" tanya Bibik dalam isaknya sambil mengusap air mata yang jatuh.

"Sehat Yu...." itulah jawaban yang ku dengar, suara yang tidak asing ditelingaku, suara yang sangat ku rindukan disetiap waktu.

"Dimana Khofif Mbak?" ia menanyakan aku.

"Dia tidur dikamar belakang." Jawab Bibik. Mengetahui keberadaanku ia cepat-cepat menghampiri dan memanggil namaku dengan lembut.

"Nik...... Khofif." Ia menyentuh bahuku penuh dengan kasih sayang, membuatku terbangun dari nyenyak tidurku. Mendapati sosok itu aku terbelalak, seseorang yang tidak pernah ku lupakan sampai akhir masa. Dimana wantu dan tempat telah memisahkannya.

"Ibu.....!" aku langsung bangun dan berhambur memeluknya, air mataku tumpah ingin rasanya aku tumpahkan semua hasratku padanya, ia memelukku begitu erat, rasa rinduku begitu besar, aku tidak ingin ditinggal lagi walaupun hanya satu hari.

"Ibu" kata itu yang ku sebut dan keluar dari kedua bibirku, air mata deras keluar tak bisa ditahan, ia menggendongku dan membawanya keruang tamu, disana sudah banyak sanak keluarga menanyakan kabar Ibu. "Bagaimana kabarnya, bagaimana kabarnya" itu yang ku dengar.

Ibu........bagaimana kabarmu?

Kau pulang Ibu, apakah Ibu tahu?

Aku sangat merindukanmu Ibu, sangat!

Tidak ada yang bisa menghilangkan rasa yang selama ini aku simpan

Tentangmu Ibu,

Bahwa aku rindu, begitu sangat merindukan dikau Ibu

Sekarang aku senang, senang.

###

Dia meninggalkanku dan saudara-saudaraku disebabkan ekonomi dan rasa sakit hati.

Perceraian itulah membuat hidup keluarga kecilku berantakan, penceraian yang membuat seorang kakak frustasi, ia menjadi anak yang tidak bisa ditegur, semua orang-orang dirumah tidak ada yang ditakutinya, hanya ada sesosok guru yang ia takuti, seorang guru yang telah mengajarinya bisa mengaji. Guruh tolang , ia begitu sangat menaruh rasa hormat.

Khoirul Anam nama yang disandangnya. Aku biasa memanggilnya Kak Irul dan itu menjadi sapaan akrabnya. Kak Irul putus sekolah tidak ada niatan untuk meneruskan sampai lulus padahal ia sudah kelas dua SMP. Ia selalu keluyuran tidak mengubris kata saran dan teguran, menjadi keras kepala jika ingat pertengkaran Ibu dan Ayah, wataknya menjadi keras.

Malam-malam, waktu itu pintu ada yang menggendor-gendor dengan keras, ibu yang lagi menidurkan ku dalam timangannya terkejut. Dengan ketakutan ia membuka pintunya.

"Tak dengar kalau saya mau masuk?!" katanya dengan keras. Ibu diam tidak menanggapinya, ia berlalu dari hadapannya pergi kedapur mengambil air putih dan memberikannya, tidak disangka-sangka gelas itu pecah, karena Ayah membantingnya dihadapan Ibu, bunyi pecahan gelas membangunkan Kak Irul yang lagi tidur nyenyak. Ia duduk diam menahan rasa takut melihat ayahnya marah-marah.

"Saya tidak butuh air putih, saya mau kau lamar dia secepatnya!" bentaknya lagi.

"Lamar dia atau aku akan membunuhmu!" kata-kata yang membuat Ibu merasa terjungkir balik dalam jurang rumah tangga yang dibangun, bukannya kesakinahan tapi kekerasan dalam rumah tangga sudah ia alami. "Ah......Ibu........" pekikku mendengar cerita ini.

Ibu menelan salivanya, walaupun kerongkongannya kering kala mendengar kata "lamar dia" Ayah membanting barang-barang yang ada ditempat tamu, tempat itu berantakan, melihat itu air mata Ibu menetes.

"Ya Allah......." kalimat itu yang menenangkannya, sehingga Ibu bisa menahan amarah dalam dirinya.

Aku berkaca-kaca mendengar cerita itu dari Paman dan Bibik rasa benci terhadap Ayah bertambah seiringnya waktu, yang ku tahu sekarang aku membencinya "Membencimu Ayah" rasa benciku tidak bisa terobati oleh apapun. Terlampau benci menyelimuti, tapi sebuah saran dan motivasi dari seorang teman telah meluluhkan sedikit demi sedikit rasa benci dalam hatiku memudar, ada rasa menerima bahwa aku punya seorang ayah.




DIBALIK SELENDANGMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang