PERTENGKARAN Ibu dan Kak Irul kian hari tambah parah. Ibu selalu mengomelinya, Kak Irul pun tidak mau dinasehati barang sekalipun. Sama-sama mempertahankan egonya masing-masing. Malam itu aku tidak bisa tidur nyenyak, memikirkan kenapa hidup keluarga kecilku seperti ini, tidak ada keharmonisan dalam ruang lingkup rumahku. Tiba-tiba aku mendengar pintu kamar Ibu ada yang membukanya, perasaanku was-was dan takut. Aku bangun dan mencoba mengintip siapa dan mau buat apa orang itu ke kamar Ibu. “jangan-jangan” pikiranku pun kalut, takut ada yang berniat jahat. Aku mengintip dari celah-celah pintu kamar Ibu yang tidak tertutup rapat. Aku kaget “Kenapa malam-malam begini Kak Irul dikamar Ibu?” benakku bertanya sendiri. Aku terus memerhatikan, aku terperangah ternyata dia mencium telapak kaki Ibu, dengan linangan air mata, Kak Irul mencium dan mengusap rambut Ibu yang sudah mulai memutih sepelan mungkin, sekiranya Ibu tidak terbangun.
“Ibu, maafkan aku, telah menyakiti mu, telah membuatmu menangis. Aku sudah dewasa, aku hanya ingin kasih sayang Ibu, tidak lebih, tapi Ibu dan Ayah telah menyakitiku, meninggalkanku sedari umur lima tahun, tidak memperdulikanku. Maafkan aku Ibu. Aku akan pergi, dan tidak ingin membebani Ibu lagi karena ulahku dan ketidak patuhanku. Maafkanlah anakmu ini. Assalamualaikum Ibu?”
Mataku berkaca-kaca mendengarnya, karena takut ketahuan aku bergegas kekamar memposisikan diri seperti sedia kala. Aku merasa rambutku ada yang membelai dengan lembut.
“Kau sudah dewasa Dek....., jaga dirimu baik-baik dan Kakak titip Ibu. Kak Irul pasti akan selalu merinduimu. Aku yakin kamu bisa merubah sikap kasar dan kerasnya Ibu, bukan Kakak tidak menyayangimu, Kakak peduli, jika dengan jalan ini bisa mengubah segalanya, Kakak akan melakukannya. Tunggu Kakak, suatu hari nanti aku akan kembali lagi dengan banyak perubahan dalam hidupku. Aku pergi karena demi untuk semuanya.”
Kak Irul berlalu pergi dari kamarku dan membawa sepeda motornya, pergi entah kemana aku pun tak tau. Ia pergi dan tidak melihat kebelakang lagi, meskipun aku terbangun dari tidur pura-puraku, ia tahu, tapi kenapa masih terus berjalan dan tidak sudi untuk melihat kebelakang. Sejak itu, hatiku yang terdalam berjanji untuk mengubah segalanya.
“Jika suatu hari nanti Kakak kembali, maka semuanya akan berubah. Ini janjiku Kak” aku mengatakannya penuh dengan keyakinan dan linangan air mata yang deras. Aku tidak ingin membangunkan Ibu, karena dari dulu Ibu berharap Kak Irul pergi dari rumah, karena ia tidak bisa dinasehati sedikitpun. Kini aku faham. Sekeras apapun seseorang masih memilki hati nurani, hanya saja keegoan yang telah lebih dulu menguasainya, sehingga ia tidak mengerti kebenarannya.
***
Kertas diatas TV itu mengagetkannya, dengan linangan air mata. Ibu termangu setelah membacanya.
Maaf, pergi tanpa pamit, mungkin ini yang terbaik,
hanya butuh keridloan dan doa serta maafmu untukku.
Suatu hari nanti aku akan kembali.
Salam untuk sekeluarga.
“Khoirul Anam”
“Ibu meridloimu Nak....., tapi kenapa harus pergi. Maafkan Ibu karena telah menyuruhmu pergi dulu dan sekarang kau benar-benar pergi.” Keluh Ibu.
Aku hanya menarik bafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan.
“Aku akan pergi juga Bu....., setelah ini. Ketika sudah UN aku akan bekerja.” Lirih dalam hatiku.
***
Memfokuskan belajar menghadapi UN, aku harus bisa “Bismillah” aku melangkah memantapkan hati dan yakin dalam UN ini tidak akan mengalami kesulitan, suasana sunyi, senyap, semua teman-teman sekelasku fokus mengerjakan kertas putih yang berisi soal-soal yang melelahkan pikiran. “Semangat......."
***
Semua siswa/i SMP 1 17 Mifu menunggu pengumuman kelulusan, mereka mengharapkan akan lulus dengan nilai yang bagus, tapi ada yang beranggapan dinyatakan sudah lulus itu alhamdulillah rasa syukurnya. Keinginan mereka pasti berbeda-beda, ada yang ingin nilai terbaik, dan ada yang hanya lulus saja sudah untung, tapi bagiku kelulusan itu diharuskan, mau tidak mau harus lulus, biar tidak ketinggalan. Aku berusaha belajar keras agar mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan baik tidak ceroboh.
Kepala sekolah sudah ada dihadapan kelas, Beliau membawa beberapa kertas ditangannya. Beliau memanggil nama siswa/i nya satu persatu. Beberapa menit kemudian selesai kini aku sudah bersama Ibu yang juga hadir menghadiri undangan dari sekolah.
“Khofif, bagaimana?” tanya temanku
“Alhamdulillah lulus” jawabku senang.
“Kamu sendiri bagaimana Al......?” tanyaku.
“Lu....lus” dengan menyunggingkan senyumannya. Ibu membaca surat yang ada didalam amplop itu, senyumannya mengembang menandakan aku lulus.
“Alhamdulillah.....kamu lulus Fif.....”
“Ia Bu.....”
“Setelah ini, kamu niatnya mau melanjutkan kemana?” tanya Ibu.
“Mondok” jawabku singkat, karena aku tau tidak mungkin bisa melanjutkan ke Pondok Pesantren. Mendengar itu, Ibu menganggukkan kepalanya.
Acara sudah selesai sepuluh menit yang lalu, semua para wali siswa/i beranjak pulang kerumahnya masing-masing, termasuk aku dan Ibu. Setelah sampai dirumah Ibu langsung duduk-duduk di ruang tamu, ia menghembuskan nafas perlahan-lahan setelah menghirupnya dalam-dalam. Aku lihat raut wajahnya ada yang ia pikirkan, apakah Kak Irul yang menjadi beban pikirannya, bagaimana tidak anak sulungnya pergi dan sampai sekarang tidak ada kabar sama sekali, empat bulan dari kepergian Kak Irul, Ibu jarang marah-marah meskipun terkadang ada kesalahan yang aku tak sengaja perbuat.
“Khofif, jika kamu ingin mondok niatnya mau mondok kemana?” tanyanya. Aku menoleh dan tidak percaya kenapa Ibu bertanya seperti itu.
“Biarlah Bu, saya mau kerja saja, kasian Ibu jika saya mondok, maka Ibu akan sendirian mencari biayaku”
‘Loh! Jangan, kamu harus tetap belajar, harus melanjutkan pendidikannya, mau putus sekolah, Ibu tidak rela jika anaknya harus putus sekolah. Ibu kuat membiayaimu.”
“Dengan cara apa Bu, Ibu tidak punya pekerjaan tetap, hasil kebun belum tentu bisa mencukupinya.” Sanggahku.
“Jangan khawatir, Ibu mampu, pasti bisa” katanya lagi, meyakinkan.
“Bu......, sudah berapa banyak biaya yang Ibu keluarkan untukku, aku tidak ingin Ibu ngutang kepada orang lain, hanya gara-gara aku.”
“Ya sudah, jika mau mondok, tetap harus mondok.” Katanya dengan tegas, membuatku sedikit kaget. Ibu langsung berdiri dan berlalu pergi kedapur.
“Kamu harus pergi ke Pesantren” katanya lagi. Aku diam, tidak bisa membantah lagi, karena memang mondok di Pondok Pesantren adalah keinginanku, tapi melihat kondisi Ibu yang sekarang aku tidak bisa.
Kak Irul tidak pernah memberi kabar, baik melalui sms atau surat. Ibu selalu menanyakannya padaku, apakah ada pesan masuk dari Kak Irul, ataukah ada orang lain yang mengabarinya.
“Khofif....apakah Kakakmu memberi kabar?” tanyanya suatu hari.
“Tidak Bu.....” jawabku, karena memang itulah keadaannya, aku tidak tau kabarnya sampai sekarang. Tidak ada pesan masuk di layar hp, fb, BBM, Instagram, bahkan WA tidak ada pesan muncul, semenjak Kakak pergi semua akun yang aku ketahui tidak aktif dan rasanya aku lihat tidak ada kabar pernah dibuka oleh orangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIBALIK SELENDANGMU
General FictionDiriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, "Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak mendapatkan perlakuan terbaik dariku?" Rasulullah bersabda, "Ibumu". Orang itu bertanya lagi, "...