PULANG

26 3 0
                                    

Bagian Kesepuluh


Pulang


AKU pulang kerumah, karena liburan bulan Maulid. Sudah sepuluh tahun mondok di Pesantren membuat ku tak terasa sudah lumayan lama di Pesantren. Sesampainya dirumah aku sedikit terkejut, dirumah terasa ramai oleh suara anak kecil.


"Assalamualaikum"


"Waalaikumsalam" suara anak kecil yang menjawab salamku.


"Tante.....Opip......" anak kecil itu berhamburan memeluk lututku, ia mencium tanganku, aku terperangah dan bingung "Kenapa ada anak kecil dirumah" benakku bertanya-tanya sendiri. Mungkin anak paman ikirku waktu itu. Aku memeluknya dan mencubit ppipinya yang seperti kue Bak pau.


"Bu......." aku berjalan melewati ruang tamu dan ketika sampai diruang keluarga aku terdiam membisu, mataku berkaca-kaca mendapati sosok jangkung itu dengan kemeja silvernya dan celana hitamnya. Semua orang yang mengetahui kehadiranku menyambutnya dengan senyuman.


"Kak Irul.....!" aku berlari kedalam pelukannya. Seorang Kakak yang selalu aku rindukan, kini ada dihadapanku. Seorang Kakak yang selalu dinanti-nanti kabarnya, kini telah hadir. Seorang Kakak yang selalu ku sebut dalam rentetan doaku, kini telah Allah kabulkan. Air mataku mengalir deras sampai-sampai aku sesegukan dibuatnya. Kak Irul mencium keningku, ia juga merasakan rindu sama dengan yang aku dan Ibu rasakan, sesekali ia bilang "Kakak rindu kamu Dek...."


Aku tidak ingin melepaskan dekapannya, aku tidak ingin kehilangannya lagi cukup sekali. Kehilangan itu begitu sangat menyakitkan.


"Adikku sudah besar" kata itu membuatku mencubit lengannya.


"Terus kenapa Kakak pergi?" tanyaku dengan linangan air mata.


"Demi masa depan kita harus pindah" ucapnya enteng.


"Tapi tidak dengan meninggalkan hanya dengan secarik pesan kan"


Ia tak menjawab pertanyaanku, malah mengacak-acak jilbabku.


"Kakak selama ini kemana?" tanyaku lagi


"Kakak merantau cari pengalaman"


Disamping Ibu ada seorang Prempuan berkerudung tersenyum padaku.


"Dek Khofif bagaimana kabarnya?" ia bertanya padaku.


"Alhamdulillah sehat wal afiat" jawabku.


"Kak, Bu, Mbak ini....." aku tidak meneruskan kata-kataku, hanya menoleh kepada Kak Irul dan Ibu dengan penasaran.


"Kenalkan, namanya Husnul Khotimah, dia istrinya Kakak" mendengar penuturan Kakak aku jadi terkejut.


"Jadi saudara iparku dong" aku menjabat tangannya dan menciumnya, karena tidak membedakannya, sekarang ia menjadi Kakak ku juga. Aku langsung memeluk Ibu dan mencium kedua pipinya, aku sangat bisa berkumpul lagi dengan keluargaku. Keluarga yang sempat retak karena keegoannya yang dipertahankan. Aku sangat bersyukur Kak Irul sekarang berubah, ia sudah mempunyai keluarga sendiri dan akupun keponakan yang lagi nakal-nakalnya.


***


Kami semua berkumpul diruang tamu, sambil menikmati singkong rebus dan sambal atau buje taras kata orang maduranya, menu itu kesukaan Kak Irul.


"Wah! Ibu ini kok tahu kesukaanku yang spesial, berarti ini buatku ya...?"


"Walaupun Kak Irul pergi bertahun-tahun lamanya, Ibu tidak pernah melupakan apa-apa yang menjadi kesukaan Kakak" Jawabku seraya menikati singkong rebus.


"Terus makanan kesukaanmu kok gak dibuatin? Ibu dak ingat kali ya....."


"Bukannya dak ingat, mungkin karena Kakak baru datang" bela diriku.


"Ibu sayang apa tidak ya......sama Dek Khofif, kamu kan juga baru datang dari Pesantren?" aku terdiam, tidak bisa buat apa-apa.


"em......Ibu kan sudah lama tidak ketemu sama Kak Irul, jadi sekarang buatnya khusus Kakak" jawabku lagi.


"kata siapa Ibu tidak buat kesukaan Khofif, ini sudah jadi" suara Ibu menghentikan percakapan kami, seraya membawa satu mangkok besar kesukaanku kolek singkong. Mendapati itu membuatku riang gembira, langsung aku ambil sendok dan mangkok kecil, ingin serta-merta melahapnya. Kolek singkong kesukaanku, apa-apa yang berbau kolek, baik singkong, pisang, labu manis, atau ketela. Semuanya pasti aku suka, apalagi kacang ijo sama mutiara ditambah roti.


Ibu punya satu hati, tapi direlung hatinya ditempati oleh dua insan yang sekarang sudah besar, sudah mandiri. Setelah Allah dan Rasulullah ada aku dan Kak Irul dalam relung hatinya. Ada kami berdua dalam rentetan doanya, dalam hembusan nafasnya pikirannya tidak akan terlepas dari anak-anaknya. Memang kami adalah mutiaranya.


"Ibu sayang kalian, tanpa ada perbedaan, kalian kan anak-anaknya Ibu" tandas Ibu sambil berlalu kedapur.


"Tuh kan, apa aku bilang, Ibu tuh juga sayang sama aku"


"sayang apa sayang ya......" Kak Irul masih bergurau.


"Sudah Mas, jangan godain Dek Khofif" kata Mbak Imah.


"Biasa yang.....aku kangen adek ku yang lugu ini" seraya mengacak-acak jilbabku hingga miring.


"Kakak....!" aku cemberut.


"Ante.....mayah Pa......." kata Amir kepada ayahnya, ia sambil menunjuk kepadaku yang lagi cemberut.


"ia, ante kalau marah nanti mencubit Amir"


"Ih.......Ante jahat, Amir akut.....Pa......." aku mendelik ke Amir, ia tambah mempererat genggamannya kepada Kak Irul.


"Nanti kalau Amir nakal-nakal pasti sama Tante di cubit, Mau?" seraya mencondongkan badanku kearahnya.


"Dak mau" ia berteriak dan berhamburan ke pangkuan Ibunya.


"ma....Ante mau cubit Amir"


"Tidak sayang, tante hanya bergurau kok"


"Tadi Ante bilang mau mencubit"


"Kalau Amir jadi anak nakal, ya pasti di cubit, jangankan Tante, Mama saja mau mencubit Amir, kalau jadi anak nakal"


"Mau jadi anak nakal?" tanyaku ke Amir, ia menggeleng takut.


"Bagus, sekarang nasinya dimakan" aku menyuapinya dengan memakai sendok. Ia mengikuti apa intruksiku.


Aku senang dengan sikap Amir yang lucu. Ia tidak begitu dekat denganku, tapi terkadang dengan malu-malu ia menghampiriku sambil menggigit jarinya, layaknya anak yang mencari perhatian.


"Ante" sapanya sambil menatap wajahku. Aku menoleh kearahnya.


"Iya. Apa Nak. Mau ikut Tante?" tanyaku.


Ia menggeleng


"Kenapa?" tanyaku penasaran


"Takut Ante cubit Amir" mendengar alasannya aku tersenyum.


"Tante akan cubit Amir jika Amir nakal"


"Amir dak nakal" seraya mengerutkan kedua alisnya.


"Kalau tidak nakal mau ikut Tante?"


"Dak. Amir mau kenenek" ia berlalu pergi ke dapur dimana Ibu dan Ibunya Amir meembuat kolek singkong dan gula merah.


***


KEMBALI PULANG


Melangkah pergi


Tapi inilah sang Abdi


Tak kuasa melangkah pergi tanpa sang mentari


Jalan terakhir kan terlewati ialah kembali pulang,


Petang kan datang dengan seribu satu malam


Ada yang hilang masa lalu,


Pergi namun terkadang menghampiri memori.


Aku akan datang kembali pulang


Dengan masa depan yang tak pernah malang.


Janjiku untukmu sang petang





DIBALIK SELENDANGMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang