Bagian Kedelapan
Pesantren
SEPTEMBER 2009 aku berangkat ke Pondok Pesantren. Ibu benar-benar mewujudkan keinginanku. Mengenali Pondok Pesantren apakah suatu kesulitan, ternyata tidak, tapi inilah tangga untuk menggapai masa depan. Aku telah berdiri di tanah Pesantren al-Miftah Lumajang untuk menuntut ilmu, yang mana kata sebagian orang Pesantren dalam kesehariannya hidup dengan seambrek kegiatan, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, tapi Pesantren juga mengajari arti kehidupan yang sesungguhnya. Kita tidak bisa berdikari sendiri, tanpa orang lain pun kita tidak bisa hidup bersolidaritas dan berintraksi, masih membutuhkan orang lain sebagai kancah dalam mengarungi kehidupan ini.
Lambat laun aku mengerti kehidupan di Pondok Pesantren, dan memang benar adanya. Pesantren adalah miniatur masyarakat. Pesantren adalah gambaran kecil dalam bermasyarakat, dari berbagai daerah dan kalangan, karakter, latar belakang bertemu jadi satu di dalam Pondok Pesantren. Kebersamaan dalam menggapai tujuan, rasa saling membagi antara sesama, saling tolong menolong, tidak ada kata inilah aku, semuanya inilah kita maju bersama dalam bingkai Ukhwah Islamiyah.
Asrama yang ku tempati hanya ada dua puluh anak, bersama merekalah aku akan saling membagi dan berbagi. Mereka akan hidup dalam satu kamar bagaikan saudara seayah-seibu. Awal masuk tidak yang perlu dikhawatirkan, hanya ada beberapa tes bagi santri baru guna bisa dikatakan santri di Pondok Pesantren al-Miftah. Menyetorkan bacaan-bacaan dalam sholat. Apabila betul dan lancar bacaannya, maka akan naik tidak usah menyetor lagi, tinggal meneruskan hafalan Asmaul Husna yang disetor ke Mbak-mbak pengurus Pondok. Asmaul Husna sudah selesai dilanjutkan mengaji yang langsung dihadapan pengasuh Pesantren. Apabila Beliau bilang kamu naik, berarti tidak usah belajar al-Fatihah lagi, tapi kalau Beliau menuturkan ”Belajar dulu” ya...., itu tandanya belajar dari awal lebih-lebih dalam ilmu tajwidnya.
Ibu mengirimku setelah aku sudah dapat satu bulan di Pesantren. Ia membawa makanan nasi dan lauk pauknya, sayur manisa, serta makanan ringan buat camilanku, ketika suntuk.
Aku mencium tangan dan kedua pipinya, rasanya bahagia ketika dikunjungi oleh sanak saudara, lebih-lebih sesosok yang selalu dirindukannya.
“Bagaimana keadaannya?”
“Alhamdulillah sehat Bu”
“Bagaimana dengan tesannya” tanyanya lagi.
“Sudah semua” jawabku. Ibu menyuruh teman-temanku untuk menikmati makanan yang telah dibawanya.
“Ayo dimakan”
“Enggeh Bulek ” jawab Mila yang berasal dari kalangan jawa. Ketika teman-teman menikmati masakan Ibu sambil bercanda ria, aku menyempatkan bertanya apa yang telah menghantui benakku dari tadi sejak kedatangan Ibu.
“Ibu uang untuk mengunjungiku dapat dari mana?” Tanyaku sepelan mungkin.
“Itu urusan Ibu” jawabnya tanpa memandang kearahku.
“Saya harus tau Bu.....” mendengar desakanku, Ibu menoleh dan tersenyum.
“Jangan khawatir Fif, uang yang kamu pegang itu hasil dari Ibu menjual hasil kebun kita, kelapa yang sudah tua Ibu jual dan uangnya Ibu kumpulkan” mendengar itu aku merasa telah menyusahkan dirinya.
“Bu.....jika Ibu tidak bisa, aku bisa berhenti”
“Kamu ngomong apa Fif, belajarlah yang giat, ini sudah tugas Ibu untuk menyekolahkanmu”
“Tapi Bu.....”
“Sudah! Jika kamu tanya itu terus, Ibu mau pulang saja” ia berdiri hendak mau pergi setelah membereskan barang-barangnya. Ibu benar-benar pergi, ia tidak banyak bicara jika ditanyakan masalah biaya, yang ia tanyakan dari tadi bagaimana belajarku. “Ah....Ibu, maafkan aku telah menyusahkanmu”
Aku berusaha belajar dengan giat dan kerja keras, kegiatan aku lakukan sesuai dengan prosedur, dan alhamdulillah lambat-laun aku termasuk dari anak-anak yang berprestasi. Setelah ujian umum kelas VI aku terpanggil menjadi murid terbaik dalam mengikuti pelajaran-pelajaran sekolah. Aku menyambet piala itu dengan tidak percaya, karena aku bukanlah anak yang pintar atau cerdas, hanya saja aku selalu mengistiqomahkan belajar setiap hari. Setelah sholat dhuhur aku belajar beberapa menit dan memahaminya, setelah selesai baru berangkat ke Musholla dan mengaji khataman yang sudah biasa dilakukan di Pondok Pesantren al-Miftah. Mungkin ini balasan dari keistiqomahan itu yang sudah berjalan selama empat tahun, meskipun sakit aku menyempatkan belajar dan membaca materi-materi sekolah Ibtidaiyyah setelah Sholat dhuhur.
Tapi sayang, ketika piala itu aku raih, Ibu tidak ada di tempat. Ia sudah pulang setengah jam yang lalu. Aku tidak bisa berbuat apa. “Ibu, aku meraih juara Umum. Kenapa Ibu pulang dulu, tidak menyaksikan aku disini?” kataku waktu itu. Air mataku menetes, karena bahagia dan rasa terharu dalam diriku.
***
Dipesantren yang menjadi motivasi dalam diriku adalah Ibu, ya, jika aku tidak belajar satu hari, aku merasa telah mencekiknya secara hidup-hidup. Ibu dirumah bekerja dibawah teriknya matahari, peluh yang bercucuran dibadannya, dengan menahan kelelahan yang terasa hanya demi anaknya yang sekarang belajar di Pesantren. Ia rela melakukan apa saja, asalkan anaknya bisa belajar dengan tenang dan baik, lalu kenapa aku disini tidak belajar dengan baik, jika aku hanya mengisi waktu lowongku dengan tidur. Ibu yang telah mengajakku untuk selalu bersemangat dan berusah semaksimal mungkin. Ia tidak mungkin tidur dengan nyaman sebelum pekerjaannya belum kelar, baru ketika pekerjaannya selesai, ia beranjak pergi melakukan yang alin atau istirahat sejenak, itu yang selalu mngenang dalam benakku, sehingga aku ingin mencoba seperti dirinya, tapi rasa malas terkadang lebih menguasai diriku.
“Ibu, aku akan pulang, setelah aku bisa membahagiakanmu dengan apa yang aku dapatkan di Pesantren”
***
Lima tahun tidak terasa, rasanya aku betah-betah saja di Pondok Pesantren.
“Khofif.....tolong jaga mila, saya mau buatkan bubur untuknya.” Pinta Asila, teman seasramaku. Aku mengangguk dan menghampiri Mila yang terbaring lemas. Badannya panas dan dingin ia mengalami demam yang tinggi dan sejak pagi tidak mau makan, karena seleranya terasa pahit. Untuk menurunkan demamnya aku kompres ia dengan air hangat supaya demamnya turun. Melihat Mila yang mengeluh pusing dan sedikit-sedikit muntah mengingatkanku pada Ibu yang merawatku ketika sakit.
Badanku terasa panas dan dingin, muntah-muntah, kepala pusing. Ibu yang menungguku tidak rela beranjak dari tempat duduknya disampingku, sampai larut malam ia masih dalam posisinya, apa yang ku butuhkan Ibu pasti memenuhinya.
“Sudah malam Bu.....lebih baik Ibu tidur” kataku.
“saya tidak ngantuk” jawabnya, padahal dari matanya sudah kelihatan kalau ada kantuk yang ditahan. Tangannya menyentuh rambutku membelainya dengan lembut, hingga tanpa terasa aku terlelap dalam belaiannya.
Pagi-pagi aku menemukan meja yang ada disamping ranjangku penuh dengan makanan, bubur, susu, dan buahpun tidak luput, jamu kunyit.
“kapan Ibu membuatkan ini untukku?” gumam batinku. Aku melangkah kedapur dan mendapati dirinya sibuk masak dan bersih-bersih, cuci piring, dan pekerjaan lainnya yang wajib dikerjakan.
“Sudah bangun Fif....?” tanya Ibu, ketika ia mendapatiku melangkah kearahnya. Aku tersenyum.
“bangun jam berapa Bu....? kenapa sudah selesai” tanyaku dengan suara serak.
Ia hanya tersenyum. Aku pergi kekamar mandi mencuci mukaku. Setelah sholat shubuh dan tidur lagi membuat badan terasa tidak enak.
“Fif, melamun ya?” tanya Asila.
“Hah, tidak” jawabku mengelak tebakan Asila, ia tersenyum mendapatiku salah tingkah.
“Kenapa mangnya Fif? saya nyampek sini lihat samean diam, tidak menyadari kehadiranku” tanya Asila.
“Tidak papa Sil...., biar aku saja yang nyuapin, kasian samean capek” pintaku seraya mengambil bubur yang ada ditangannya. Asila mengiakan saja pintaku.
“Aku ke kantor dulu ya Fif.....nanti kesini lagi”
“Ia, sana”
Aku menyuapi Mila secara perlahan, ia berusaha menelan buburnya meskipun lidahnya terasa pahit.
“Seperti ini Ibuku dulu menyuapiku” gumamku dalam hati.
***
Hidup di Pesantren menanggung rasa rindu terhadap keluarga, bagiku walaupun Ibu keras dan kasar ternyata aku masih menyimpan rasa rindu kepadanya.
“Asila, sebentar lagi kamu mau pulang?” tanyaku
“Ia Fif, untuk itu aku titip adek-adekku kepadamu, jaga mereka dari kesemua kegiatannya, lebih-lebih sholatnya, mereka sangat membutuhkan kasih sayang dan pengertian.”
“jadi selama kamu pulang, tugasku lebih banyak nih” candaku.
“Kamu dak mau?” tanya Asila tiba-tiba.
“Siapa bilang, itu juga tanggung jawabku kan sebagai Kakak seniornya mereka”
“Terima kasih kalau begitu.”
Diasramaku tidak ada ketua dan wakil asrama, tapi yang telah lama mondok itu mempunyai kewajiban yang sudah diatur bersama. Asila diposisikan memantau semua kegiatan anak-anak asrama yang berhubungan dengan kepesantrenan. Aku dalam bidang kebersihan asrama baik luar maupun dalam, lemari yang berantakan akan kena sanksi dariku, baju yang tidak rapi, barang yang membuat tidak enak dipandang itu semua ada dalam pengawasanku, jadi akunya sendiri harus ekstra bersih. Sedangkan mila memantau kesehatan anak-anak. Anak-anak yang sakit ada dalam pengawasannya, membawanya ke puskesmas Pesantren, merawat serta memberi obat dan sebagai mana macamnya tidak kalah seperti seorang perawat dirumah sakit, hanya saja tidak nyuntik gitu.
Kami tidak bertiga meskipun punya tugas masing-masing masih sama-sama saling koreksi diri, saling menegur, terkadang aku, Asila, Mila tidak membagi tugas yang terpenting asrama enak, damai, bersih, dan nyaman bagi kami semua dan adek-adek santri. Pekerjaan di kerjakan bersama-sama, jadi enteng deh.
***
“Kak Khofif......” panggil santi, adek asramaku sambil berteriak.
“Ada apa Santi.....kenapa berteriak?” tanyaku sambil menyelidik.
“Kakak tau nggak?”
“Tau apa” balik bertanya.
“Itu Kak.....itu.....” sambil menunjuk ke arah tangga sekolah yang kelihatan dari luar asrama, aku ikuti arah tangan Santi. Seulas senyum tergambar diwajahku.
“Cie........Kak Khofif lagi bahagia nih” ledek Santi. Aku terperangah mendengar kata-katanya.
“Aduh!” sambil menepuk jidadku.
“Kak, itu Ustad Fais kan?” tanya Santi lagi.
“Ia” jawabku singkat. Aku kembali memerhatikan Ustad Fais yang lagi bersenda gurau dengan Ustad lainnya di tangga sekolah. Beliau tidak menyadari kalau ada yang memerhatikannya secara diam-diam, dialah aku.
“Kak Khofif suka sama Ustad Fais kan? Jadi aku panggil Kakak biar lihat itu.....pujaan hati, apa kabarmu, ku harap kau baik-baik saja, pujaan hati” Santi bersenandung sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“San.....dak boleh bilang gitu” kata Asila yang baru keluar dari asrama.
“Maaf kak.....” aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya.
“Fif Ustadnya dak ada sudah, masih bengong?” senggol Asila. Aku terperangan ketika Asila mensenggolku.
“Makanya jangan bengong, jadi ditinggal lagi sama pujaannya.” Ia berlalu sambil terkekeh-kekeh.
“Asila.....!” teriakku sambil mengejarnya. Jika ingat Ustad Fais, maka aku jadi teringat ucapan Ibu.
“Ibu tidak butuh anak orang kaya, pejabat, tampan, buka itu yang diinginkan Ibu. Orang yang bertanggung jawab dalam hidup keluarganya adalah harapan semua prempuan nak, terhadap agama tidak mengentengkannya, ia bisa menjadi contoh dan teladan terhadap keluarganya.”
“Apakah Ustad Fais sesuai dengan harapan Ibu.” Aku bertanya pada diriku sendiri.
“Ibu, aku ingin jujur, kalau sekarang anakmu mengagumi seseorang, tapi kenapa ketika ingin menyurahkan semuanya aku merasakan kegugupan dan menjadi kaku.” Hatiku berkata sendiri.
“Tapi Ibu tidak pernah menanyakan itu padaku?” suaraku tiba-tiba keluar dengan sendirinya.
“Fif, kamu bicara sama siapa?” tanya Mila disampingku.
“Oh, endak.....dak bicara ma siapa-siapa” jawabku gugup.
“Tadi kamu bilang “Tapi Ibu tidak pernah menanyakan itu padaku” ya....aku penasaran saja, bicara sama siapa sih?” aku tersenyum menanggapi Mila.
***
Belajar seng pateng, Ibu masih belum bisa ngirim kamu.
Bersabarlah, semoga ini cukup sampai Ibu bisa ngirim kamu.
“Ibu”
Surat itu membuatku meneteskan air mata. “Terima kasih Ibu.....” Lirih dalam hatiku.
***
Sekian tahun aku tidak pernah mendenga kabar Kak Irul, akun-akunnya pun tidak aktif, mungkin ia membuat akun baru, tapi aku punya keyakinan kalau Kakak pasti akan pulang, kasihan Ibu. Ia selalu menanyakan kabarnya padaku. Hanya dengan doa aku titipkan dirinya kepada sang Robby.
“Selamatkanlah dia Ya Allah......kabulkanlah harapnnya yang baik, pertemukanlah keluargaku dengan membawa kebahagian masing-masing. Keridloanmu yang sangat kami harapkan dalam meniti dijalanmu bimbimlah hamba-Mu ini. Amin......” ucapku dalam setiap lantunan doaku.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
DIBALIK SELENDANGMU
Ficção GeralDiriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, "Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak mendapatkan perlakuan terbaik dariku?" Rasulullah bersabda, "Ibumu". Orang itu bertanya lagi, "...