MAAFKAN IBU

38 1 0
                                    

RASA SYUKUR Alhamdulillah, hidup lebih dari cukup, entahlah bagaimana perjuangannya menghidupi sang buah hati.

Ia tidak pernah mengenal rasa lelah, tidak menampakkan sedikit pun rasa kecewa kepada anak-anaknya. Itulah seorang Ibu yang selalu ada untuk anaknya. Aku melihatnya, mungkin sekarang hatinya pilu terasa tersayat-sayat melihat sang buah hatinya tidak sesuai dengan harapan.

Apakah seorang Ibu menuntut kesempurnaan anaknya, ternyata tidak,  yang ia harapkan  akan kebahagiaan sang anak dan masa depan yang cerah dihari kelak. Ibu akan selalu mendukung seorang anak sampai nafas penghabisan.

Apakah seorang Ibu menuntut kita harus wow dimata orang, ternyata tidak, yang ia harap ialah pengakuannya sebagai seorang Ibu. Ia tidak mengharapkan secuil balasan dari sang buah hati, hanya sebuah kata yang ia lontarkan.

“Berjuanglah anak-anakku, Ibu membantu dengan do’a,  jangan patah semangat, kejarlah apa yang kamu inginkan. Selama ada di jalan yang benar ridlo Ibu selalu menyertaimu nak......”

Aku sangat ingat pesan yang sangat singkat itu, tapi itu sangat berpengaruh dalam hidupku. Ya, karena ridlonya kita pasti menemukan jalannya.

Sekarang aku melihat Ibu mengelus dada, ternyata ini semua perbuatan Kak Irul. Tambah hari tambah menjadi-jadi, botol minuman keras berserakan di dapur.

Ibu membuang semua botol itu tanpa tersisa satu pun, meskipun yang masih belum dibuka tutupnya.

“Sampai kapan kau akan berubah Rul.....” Ibu tidak kenal kompromi dengan yang namanya minuman keras.

“Rul.....Irul...!” Ibu menggendor-gendor daun pintu kamar Kak Irul.

“Apa sih Bu....?!” tidak kalah keras suaranya.

“Sudah jam berapa sekarang, dak sholat shubuh?”

“Sudahlah Bu....., jangan urus saya lagi, lagian dulu Ibu itu kemana?” seraya melewatinya menuju kamar mandi dan menutup pintunya dengan keras.

Ibu melangkah kedapur dan meminum seteguk air, hatinya mungkin terasa pilu atas sikap Kak Irul yang sudah kelewatan membantah kata-katanya.

Ia mengambil clurit  dan kampelan  diikatkan ke pinggangnya, setelah selesai, tanpa memerhatikan disekeliling, ia pergi keluar lewat pintu belakang menuju kebun kopi yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari rumah.

“Maafkan Ibu nak, mungkin kamu kesal dan benci sama Ibu, tapi itu tidak pernah mengurangi rasa kasih sayang Ibu. Ibu telah menelantarkanmu selama bertahun-tahun tanpa memberi kasih sayang, tapi Ibu lakukan hanya untuk membiayai dirimu dan adikmu. Sekarang kau memang pantas untuk marah, tidak apa-apa. Ibu yakin kau tidak akan selamanya bersifat seperti itu.” Lirih dalam hatinya. 

Air matanya mengalir, tapi ia cepat-cepat menghapusnya.

Ibu terus melangkah ke kebun kopi membersihkan rumput-rumput yang tumbuh liar disana, membersihkan sarang-sarang semut yang membuat kopi tidak tumbuh baik.

Ibu tidak meneladeni kata-kata Kak Irul, Ibu merasa bahwa dirinya yang salah, tapi keadaanlah yang telah membuat hidup Ibu, aku dan Kak Irul seperti ini. Aku tidak menyalahkan Ibu ataupun keadaan, tapi rasa sesal dan kecewa selalu tertuju pada ayahku.

Ibu melakukan appa yang dia bisa, untuk mencukupi semua kebutuhan sehari-hari.

Pekerjaannya begitu berat, menanggung anaknya seorang diri berperan menjadi seorang  Ayah dan Ibu dalam satu genggaman tangan. Sanggupkah ini ia lakukan seorang diri, tapi aku tak pernah mendengarnya ia mengeluh, merintih atau menangis dihadapan kedua buah hatinya.

DIBALIK SELENDANGMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang