05. Pahlawan Kesiangan

99 14 0
                                    

"Kalian ini bukannya belajar malah teriak-teriak kaya Tarzan!" Suara tinggi bu Ina membuat anak-anak XA2 merapatkan bibir takut.

Bu Siska wali kelas mereka hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak muridnya.

"Tau tidak? Gara-gara kalian, kegiatan belajar mengajar jadi terganggu. Banyak murid-murid yang lebih penasaran dengan teriakan kalian daripada penjelasan dari bapak ibu guru."

"Itu mah salahin muridnya bu, jangan kita," ujar Bara dengan suara semut yang langsung mendapat cubitan dari Hesya. 

"Ibu tanya, siapa yang akan bertanggung jawab atas semua kekacauan ini? Kalian itu baru kelas sepuluh tapi sudah bikin masalah!" Tanya bu Ina masih dengan suara tinggi.

Semua saling pandang tapi tak ada yang memberikan komentar.

"Siapa yang bertanggung jawab? saya? wali kelas kalian?!" Sindir bu Ina pedas.

Fiona sedari tadi sudah ingin membalas ucapan bu Ina, tapi nyalinya tidak cukup besar untuk sekedar menyanggah kata-kata guru BK yang terkenal galak itu. Dia hanya bisa mengumpatinya di dalam hati.

"Kalian ini anak IPA lho. IPA 2 lagi, yang katanya kelas unggulan, isinya murid-murid berprestasi. Tapi kog seperti ini."

Choki dan Bima sudah mengepalkan tangan serasa ingin melayangkan tinjuan pada wajah Bu Ina. Vana yang dibelakangnya menyentuh bahu mereka yang menegang.

Hatinya ikut sakit mendengar setiap patah kata yang keluar dari mulut bu Ina. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa mereka juga salah. Seharusnya mereka tidak melakukan hal-hal yang membuat nama kelas mereka menjadi buruk.

Vana juga dapat melihat bagaimana bu Siska memandang mereka kecewa. Kelas yang dia bimbing untuk menjadi kelas yang bersinar kini redup karena satu kesalahan.

"Siapa ketua kelas disini?"

Tubuh Rocky menegang, dia memandang bu Ina yang langsung mendelik kaget.
"Haduh kamu ini kan calon peserta OSN Kimia, kenapa mengatasi murid-murid seperti mereka aja nggak bisa."

"Ma—maaf bu," Rocky kembali menundukkan wajah melemas.

"Ck, bilang maaf memang mudah. Saya tanya kamu sekali lagi. Siapa yang akan bertanggung jawab?"

Semuanya hanya diam, sampai tiba-tiba Ayana mengangkat tangannya keatas. Semua terlonjak kaget, tak terkecuali bu Siska yang memang tau Ayana ini anak yang jarang atau hampir tidak pernah membuat masalah. Rocky langsung membalikkan badan mengkode Ayana untuk segera menurunkan tangannya. Ayana hanya mengabaikannya meskipun Rocky sudah menatapnya geram.

"Ayana? Calon peserta OSN Fisika? Bagaimana bisa anak OSN malah seperti ini semua." Bu Ina menghembuskan nafas frustasi, melirik sinis pada bu Siska yang memasang wajah pasrah.

Bu Ina kemudian menatap Ayana tajam, membuat Ayana tanpa sadar meneguk ludah.
"Coba jelaskan bagaimana semua kekacauan ini bisa terjadi." ujar bu Ina tegas.

Ayana berpikir sebentar, mencoba merangkai kata-kata dengan gugup agar tidak menambah kesalahpahaman.
"Ehmm.. be—begini bu, tadi pak Yaya berpesan kepada saya bahwa beliau tidak bisa mengajar karena ada kepentingan mendadak. Saya kemudian bilang ke Rocky. Rocky sebenarnya ingin menyampaikan langsung ke anak-anak X IPA 2, tapi dia tadi harus pergi mencari Angga yang...ehm lagi di perpus cari referensi tugas bu," ucap Ayana berbohong.

"Berhubung saya wakil ketua kelas, Rocky memberi saya amanah yang harus disampaikan ke anak-anak lain, bahwa materi olahraganya basket. Tapi setelah sampai lapangan saya malah lupa bilang ke mereka. Jadi ini semua memang salah saya bu,"

Rocky menghembuskan nafas berat, ucapan Ayana memang benar meskipun tak semuanya. Dia selaku ketua kelas jadi malu karena merasa tidak berguna dan tidak bertanggungjawab. Malahan, seolah dialah yang membuat Ayana dalam masalah.

Dia benci dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk teman-teman sekelasnya. Padahal mereka mempercayainya untuk memimpin kelas mereka.

"Ck dasar. Nanti kamu ke ruangan saya." Ketus bu Ina melangkah pergi begitu saja diikuti bu Siska yang sempat melirik Ayana dengan raut wajah kecewa.

"Lo ngapain sih Ay, ini semua bukan salah lo. Ini salah kita semua," Bianca buka suara begitu bu Ina dan Bu Siska menjauh dari lapangan basket.

"Lo nggak perlu kaya gini. Harusnya kita yang nanggung bareng-bareng." Uma memajukan diri menatap Ayana sedih.

Ayana malah tersenyum dengan bodohnya, meskipun terlihat jelas dia juga tak seberani itu. Ada ketakutan dalam matanya.
"Gue emang nggak salah kali. Gue cuma merasa bertanggung jawab atas ini semua. Udah deh tenang aja, palingan juga cuma dapet ceramah. Santuy aja elah,"

Rocky mendecak lalu melangkah pergi. Ayana menatap punggung Rocky yang berjalan menjauh sambil tersenyum hampa.

"Tapi kan—"suara Choki bergetar. Matanya memerah menahan tangis.

"Elah udah ah, cengeng lo Chok nangisin gue,"

Ayana menoyor kepala Choki keras membuat cowok itu memekik tertahan.
"Siapa yang nangisin lo bambang, najis. Ini kepala gue sakit kena sengat," katanya sambil memperlihatkan benjolan cukup besar di belakang kepalanya.

Ayana mendadak panik.
"Eh, gede banget. Sakit nggak?"

Choki mengangguk ragu.

"Kenapa nggak ke UKS sih Chok. Udah tau sakit, masih aja nekat berdiri disini sampe omelan bu Ina selesai." cerocos Hesya.

"Iya iya gue ke UKS,"

Choki bersama anak lain yang terkena sengatan berjalan menuju UKS di ujung sekolah. Menyisakan Hesya, Salama, dan Fiona yang kemudian pamit ke kamar mandi. Ayana juga bergegas ke kelas untuk menemui seseorang.

Ayana berlari menyusuri koridor menuju kelasnya yang mulai ramai karena jam istirahat.

Seorang laki-laki yang dia cari sudah duduk menyendiri di dekat jendela yang terbuka. Ayana berdeham lalu berjalan menghampiri.

"Lo nggak papa? Nggak kena sengat kan?" Tanya Ayana pada laki-laki yang belum mengalihkan pandangannya dari luar jendela.

"Sorry ya gara-gara gue semuanya jadi kacau—"

"Lo nggak usah berlagak jadi pahlawan kesiangan. Lo tau kan ini bukan salah lo."

Ayana menipiskan bibir. Matanya tepat menatap Rocky yang juga menatapnya tajam.
"Gue nggak bermaksud gitu. Gue cuma merasa—"

"Dengan lo begitu, lo buat gue keliatan nggak berguna di depan semua orang. Anak-anak pasti mikir gue ketua kelas yang nggak bertanggung jawab ck."

Ayana membeku. Mencoba untuk tidak memperlihatkan suaranya yang bergetar meski matanya yang memerah terlihat jelas dia sedang menahan tangisnya.
"Gue nggak bermaksud, maaf."

Hanya desahan samar yang keluar dari mulut Rocky, selanjutnya dia sudah berjalan keluar kelas tanpa sepatah kata apapun.

Bahu Ayana melemas. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang Rocky pikirkan. Padahal dia hanya ingin membuat semuanya menjadi mudah. Namun dia tidak tau jika ada orang lain yang menganggapnya malah memperkeruh suasana.

ZER0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang