Aldi menatap lurus ke layar computer di ruangannya. Sudah dua minggu ini, ia bekerja di Sams Foundation cabang Jogjakarta. Dan itu tandanya, sudah seminggu ini ia pindah, meninggalkan rumahnya di Jakarta, dan meninggalkan segalanya di sana, termasuk isteri yang sampai sekarang dirindukannya.
Cattleya. Bagaimana kabarnya?
Bahkan sampai sekarang, ia belum membalas semua pesan yang Cat kirimkan secara rutin, nyaris tiap jam. Pesan mulai dari ‘selamat pagi’, ‘selamat makan siang’, ‘semangat kerja’, hingga ‘selamat tidur’, selalu rutin Cat kirimkan dengan sabar. Tapi kenapa Aldi tak mau membalas? Jawabannya masih sama. Aldi terlalu takut membiarkan rasa cintanya pada Cat tumbuh menjalar, sementara ujungnya tetap saja ia akan ditinggalkan. Lebih baik, ia berusaha melepas Cat pelan-pelan, kan?
Tadinya begitu. Hingga semalam, dering ponselnya berbunyi, menggetarkan hati dan jiwanya.
Ia ingat percakapannya semalam via suara, dengan seseorang.
“Halo?”
“Selamat malam, Aldi.. Maaf kalau saya mengganggu waktu kamu..”
“Malam. Maaf, ini siapa?”
“Ini saya, Dena.”
Deg.
Jelas Aldi tak pernah lupa dengan sosok wanita yang pernah menjadi tuan rumahnya, dan kini menjadi mertuanya yang belum merestui mereka karena sebuah hal yang sebenarnya bukan menjadi tolak ukur. Ya, harta. Selalu dan selalu harta yang mertuanya pikirkan, hingga beliau belum memberi restu utuh pada anaknya tuk menikah dan bahagia dengan Aldi. Padahal, materi bisa selalu berubah, kan? Yang kaya bisa jatuh, demikian pula yang awalnya di bawah bisa menjadi kaya raya suatu hari nanti. Itu semua tergantung niat, usaha, doa, dan keberuntungan, kan?
Tapi tetaplah saja. Mertuanya hanya ingin melihat hasil yang ada saat itu juga, tanpa peduli proses bagaimana seseorang bisa mencapai kondisi ‘cukup’.
“Iya, Bu? Ada apa?” Aldi menegarkan suaranya. Ia tak boleh terlihat lemah. Minimal, ia sudah siap bila harus dicaci maki lagi.
“Saya… saya minta maaf.”
Deg.
Jantung Aldi berdegup lagi, lebih dari saat Dena memasang wajah ketus atau kata pedas kepadanya. Kenapa? Karena seorang Dena, meminta maaf, itu adalah hal mengherankan dan mencengangkan.
“Buat apa, Bu?”
“Untuk semuanya. Untuk sikap saya selama kamu menjadi supir keluarga, hingga kamu menikah dengan Cattleya. Saya minta maaf, dan semoga kamu mau memaafkan saya..” Kalimat Dena terucap dengan nada penuh penyesalan, dan terdengar getar suara seperti orang menahan tangis atau habis terisak. Entah yang mana, intinya, penyesalan.
“Saya memaafkan Ibu.. Karena saya juga bersalah, seharusnya saya tidak pernah memulai hubungan apapun dengan Cat..”
“Tidak, Aldi. Kamu bahkan melakukan hal yang benar. Kamu bertanggung jawab dan mencintai anak saya. Saya hargai dan saya sangat bahagia. Tapi, ego saya terlalu tinggi. Hingga saat saya sadar sekarang, hubungan kamu dengan Cattleya bahkan sudah retak..”
Bukan retak. Aldi bahkan tak menginginkan keretakan. Hanya saja, menjaga jarak.
“Mungkin terlambat, tapi sekarang saya harus mengatakan, bahwa saya merestui kalian. Saya… tidak mau apa yang terjadi pada Aira, terulang pada Cat. Dulu, saya melarang hubungan Aira, hingga Aira depresi dan sempat linglung beberapa minggu. Tapi saya tetap memaksa Aira. Beruntung, Aira sekarang sudah sembuh dan menemukan pria kaya. Ya, saya senang. Tapi tetap saja saya bersalah, karena saya pernah merenggut kebahagiaan puteri saya, Aira.”
![](https://img.wattpad.com/cover/68386878-288-k951781.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Marriage and Pregnancy
Romance(20+) Tentang dua orang manusia, yang memiliki latar belakang berbeda, perilaku yang berbeda, hingga rasa yang berbeda. Aldi, yang sejak pertama kali bekerja sebagai supir di keluarga itu, sudah menyukai--bahkan menyayangi Cattleya. Aldi, yang juga...