Merah nan Menyayat

10.3K 686 68
                                    

Aldi's POV

Aku selalu berusaha membuatnya tersenyum--minimal, membuatnya mau berbicara lagi kepadaku. Dan kurasa, aku mulai berhasil. Dia sedikit demi sedikit mulai berbicara denganku. Tapi sejujurnya, aku ingin membuatnya tertawa karenaku. Hu, itu terlalu berlebihan ya? Karena sepertinya, tak mungkin ia tertawa karenaku--ya, dia membenciku dan tak pernah menyukaiku sejak hari kejadian itu dimulai. 

Aku menyayanginya sejak lama. Sejak aku menjadi supir keluarganya. Sejak aku dianggap kakak olehnya. 

Dan jika kalian bertanya, apakah aku senang dengan kondisi sekarang? Jawabannya... Aku bahagia, aku bahagia bisa bersamanya, bisa memilikinya meski kuyakin hanya sejengkal waktu. Dan aku akan berusaha sekeras mungkin tuk bisa menghidupinya, tuk bisa membahagiakannya di waktu yang singkat ini. Tapi.. Di sisi lain aku merasakan kehampaan. Cerianya padaku hilang musnah. Dan keluarganya juga tak menginginkannya lagi--karena kejadian yang terjadi diantara kami. 

Aku berjalan menuju kamarnya yang sedikit terbuka pintunya, kemudian kuintip dia yang tengah bersiap untuk kuliah. 

"Sial. Lipstik gue hampir habis. Mana gue punya duit buat beli?" umpatnya sebal. Kulihat memang lipstik merah merona di genggamannya, sudah sangat kecil dan tak layak dipakai lagi. 

Dan di saat seperti inilah, aku merasa harus bertanggung jawab. Meski hanya sekedar lipstik, aku harus bisa memberikannya. 

Nanti sepulang bekerja--ya, kalian tak perlu tau apa pekerjaanku, yang penting halal--aku akan membelikannya benda yang sedang ia butuhkan. Lipstik.

Ya, aku akan memenuhi kebutuhannya. Sekecil apapun itu. 

*

*

Cat's POV

"Kamu dimana baby? Jadi ke kampus bareng?"

"Jadi, jadi. Aku tunggu di gang kemaren ya?"

"Oke. Sepuluh menit lagi aja ke gangnya, soalnya aku baru mau jalan."

"Sip, sayang."

"See you soon, baby. I love you."

"Yes, I love you too, sayang."

Seperti itulah kiranya perbincanganku di telepon dengan Adrian, kekasihku. Aku harus kuat bersembunyi. Aku harus kuat berjalan ke depan gang dan menutupi tempat tinggalku sekarang. Aku harus kuat bersembunyi di balik kelamnya hidupku.

Kenapa?

Karena tak lebih dari sembilan bulan lagi, hidupku yang sempurna akan kembali ke genggamanku. Tanpa Aldi. Tanpa anak di perutku ini. 

*

*

Menyesap jus alpukat serta semangkuk bakso di kantin fakultasku memang sangat nikmat dan lezat. Ditambah dengan semilirnya pepohonan--membuatku makan setengah mengantuk. Dan itu adalah kenikmatan dunia. 

Ya, nikmat. Tapi, ocehan dari Rika membuatku gerah dan tak menikmati makananku lagi.

"Gue salahnya dimana sih, Rik? Gue udah hormat kok ke dia, udah gak marah-marah, udah mau jawab kalau dia tanya. Ya terus kenapa lo ceramahin gue?" tanyaku sebal.

Rika, dengan posisi yang sama denganku--semangkuk bakso serta es teh di depannya. Ia menatapku tajam. "Tapi lo seharusnya hormatin dia lebih dari itu. Dia masih suami lo, dan gak sepantasnya lo pergi sama cowok lain, Cat!"

"Nah... Mungkin gue bisa hormatin dia, sesuai yang lo bilang, sesuai permintaan lo. Tapi kalau untuk sayang sama dia, ya gue gak bisa, Rik."

"Siapa yang suruh lo sayang sama dia?"

Between Marriage and PregnancyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang