Lorong Teduh

11.3K 726 22
                                    

Cattleya's POV

Harus kuakui, dia hebat. Dia berani membawaku, dia berani bertanggung jawab atasku, dan dia berani dengan lancang menyeretku ke dalam lubang kelam kehidupannya.

Dia hebat. Iya, kan?

Dan itu membuatku sangat-sangat membencinya. Tak ada lagi sosok Aldi yang kuingat sebagai malaikat dan kakak. Tak ada lagi sosoknya yang memberiku ketenangan di tiap nuansa. Yang ada, hanya ketegangan yang ada tiap aku bersamanya. Tegang? Ya, karena aku membencinya. 

"Yuk turun."

Suaranya menggema di telingaku. Mengajakku turun, dan masuk ke dalam istana kecilnya. Ewh, rumah kecil dan terlihat sempit. Namun harus kuakui, rumah ini sungguh asri dan sejuk dengan taman kecil yang kuyakin Aldi yang membuatnya, karena 'dulu', Aldi pernah bercerita jika ia mendekorasi taman di rumah kecilnya. 

Tanpa menoleh ke arahnya, aku segera turun dan berjalan mendahului Aldi yang masih menurunkan barang-barangku. 

Aku melamun lagi. 

Bukan karena aku tak terima tinggal di sini. Bukan karena aku tak mampu hidup tanpa kekayaan dan harta berlimpahku. Tapi... Lebih kepada, apa aku ikhlas hidup bersamanya? Apa aku bisa bertahan di sampingnya meski hanya untuk beberapa bulan saja?

Hingga kulihat, Aldi sudah menenteng koperku, dan tersenyum tulus ke arahku. Seketika, ia sibuk membuka kunci, sementara aku masih diam membisu tanpa suara.

*

*

"Cat, maaf sebelumnya, aku cuma ada satu kamar.. Kamu bisa pakai sendiri kalau gak mau sama aku."

Terus kamu tidur mana?

Ya, aku ingin bertanya seperti itu, tapi tertahan di tenggorokanku. Aku lebih memilih pura-pura tak peduli, sambil dengan prihatin memandangi kondisi kamar ini. 

Kuakui, rumahnya tidak kumuh. Justru kecil, asri, rapi, dan terkesan semilir. 

Tapi... Tetap saja. Rumah ini terlalu kecil. Bahkan semua ruangan di rumah ini, mungkin kalah dengan lebarnya kamar mama papa di rumah. 

"Aku biar tidur di ruang tamu aja," lanjutnya lagi, sambil menata barang-barangku ke dalam lemari. 

Aku mendekat ke arahnya, dan meraih koperku. "Biar aku aja yang beresin barang-barangku," ucapku datar.

"Oke. Selamat istirahat, ya?"

Dan sedetik setelah itu, Aldi keluar meninggalkanku. 

Aku menutup pintu kamar dan menghembuskan nafas. Bukan ini kehidupan yang kuinginkan. Bukan ini pernikahan yang kudambakan. 

Aku masih mendambakan pernikahan meriah, dengan bunga dan bahagia dimana-mana. Bukan pernikahan penuh duka, dengan air mata yang meraba.

Dan...

Aku masih mendambakan kehidupan-setelah-pernikahan. Dimana kutemukan kebahagiaan bersama keluarga kecilku. Bukan siksaan batin, karena tak bisa menerima keadaan dan terus diberi sendu.

*

*

Aku masih mengerjapkan mataku. Rupanya aku tertidur setelah merapikan barang-barangku. Tak kusangka, kasur ini sungguh nikmat. Meski kecil, namun aku sangat nyaman di kamar ini. Meski sejujurnya, aku rindu suasana kamarku di rumah. HAH. Aku kan sudah di usir, ya?

Ponselku bergetar.... Telfon dari sahabatku, Rica.

"Halo?"

"Heh, lo dimana?! Gue ke rumah lo kok lo gak ada sih? Malah kata pak satpam, lo pindah ya?!"

Between Marriage and PregnancyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang