dua

100 29 32
                                    

Hal yang paling aku takuti adalah mencintaimu, dan itu benar terjadi, jika saja aku lebih pintar mengutarakan perasaan ketimbang memendamnya, setidaknya ia mengetahui lukaku saat ini, ya saat kau bersama dengannya.

Sengaja sekali aku merapikan perasaan baru tanpa ada bekas goresan sedikitpun, tapi kenyataan lain aku memang pandai menyempunyikan luka bahkan memasang topeng kebahagiaan saat melihat kau dengan dirinya. Apalagi ketika kau membagi kebahagiaan bersamanya di hadapanku, sungguh miris hidupku ini. Bukankah saat mata kita berpandangan untuk pertama kali kau melirikku? Setelah aku lirik kau malah membuang muka.

"Antar aku yuk!" bujuk dia.

"Kemana?" jawabku.

"Beli sesuatu buat kejutan pacarku!"

Bagai ditusuk samurai panjang, kau terus menekan samurai itu walau kau tahu ujung tajamnya tengah menembus hati, jantung, jiwa bahkan tulang rusuk. Kini yang tersisa hanyalah napas. Aku memang tetap hidup, walau bingung bagamana cara memperbaiki tulang rusuk yang tengah patah untuk seseorang yang mampu menerimaku kelak, kecuali jika kau yang menikahinya. Bukankah kau juga yang menghancurkan?

Hingga aku terbiasa baik-baik saja dengan kenyataan aku tidak lah sebaik itu. Aku rapuh tertelan ombak nestapa luka yang terus tumbuh mengakar. Namun kau tak melirik. Oh ya, berarti aku cukup pandai untuk menyembunyikan luka. Itu terbukti saat kita sama-sama jalan berdampingan namun hati tertinggal begitu jauh, dan kau tak menyadarinya.

Setiap harinya aku selalu membungkus kepingan hati yang patah, aku kira kau hadir sebagai pendamping hidup, ternyata hanya sebagai sahabat. Ya, sahabat.

Entah sahabat macam apa dirimu itu, berani merangkulku, mengusap kepala, hingga berkata sayang kepadaku. Kau ciptakan sebuah kenyamanan, ketika aku akan berkeliling di sekitar zona nyaman itu, kau usir aku demi cinta yang baru. Lebih tepatnya, wanita yang kau cinta. Tentu saja bukan diriku, dasar bodoh.

"Kamu suka apa?" tanya Dia.

"Kenapa emang?"

"Siapa tahu seleranya sama kaya pacar aku!" ucapnya sambil tersenyum.

Demi apapun itu, aku benci untuk dibandingkan dengan siapapun, apalagi dengan wanita yang telah mengisi tempatku, berusaha aku bersihkan hatimu, malah ia yang berpenghuni, dasar pasangan tidak peka!

"Setiap orang mempunyai kesenangan masing-masing."

Ucapku singkat sambil perlahan melangkah jauh dari pandangannya, menyembunyikan wajah merah dengan amarah yang terpendam dalam hati, jika saja aku berani mengambil resiko perpisahan atau kebencian yang akan kau lakukan ketika berkata jujur bahwa aku sangat menyayanginya. Mungkin aku telah berteriak sekencang mungkin bahwa wanita yang akan mendapingimu adalah aku.

"Kalau boneka ini?" tanya sambil memeluk boneka stitch besar.

Untuk yang kesekian kalinya aku merasakan getaran hati yang mulai terbiasa, lelaki yang sangat aku cintai sekarang miliknya, dan jangan sampai tokoh kartun yang aku suka menjadi miliknya juga.

Banyak wanita berkeliaran di muka bumi ini, lalu mengapa harus ia yang kau pilih, ia teman baikku, sahabatku dan aku tak ingin menyakitinya. Tapi ini adalah soal hati, yang mana jika kau singgah lalu pergi, kembali dan pergi lagi akan membuat hati semakin hancur dan hancur.

Tolong, ini soal perasaan bukan toilet yang kau datangi ketika butuh dan menjauh ketika senang. Sekali lagi ini adalah hati. Walau aku tahu, hatiku sangatlah keras seperti batu, terbukti ketika kau bersamanya aku tetap mencintaimu.

"Terserah saja!"

"Ya udah, yang ini aja ya, lucu!" ucapnya.

Begitu polosnya kau membolak-balik hati yang tak berdaya, aku kembali memungut serpihan jiwa yang telah pecah lalu terinjak.

"Makasih untuk hari ini," ucap Azhi.

"Makasih?" tanyaku. "Tentu saja!"

Terimakasih sahabatku, kau gantikan posisi itu untuk kebahagiaan seseorang yang sangat aku cintai. Biarkan bayangku menjadi bayangmu, sosokku menjadi sosokmu, biarkan aku mengukur hatiku, biarkan aku membuang semua tentangmu, bukankan jika begitu tak ada yang tersakiti lagi?

Mengulang WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang