Tahun kedua dimusim gugur, aku masih disibukkan oleh sang penguasa mimpi. Lukaku tidak separah dulu, hatiku sedikit demi sedikit mengering, walau masih jauh dari sempurna.
Kini, selain aku sulit melupakan dirimu, aku pun sulit untuk menggantikan dirimu di hati ini. Aku takut seseorang mengetuk hati lalu pergi berlalu tanpa pamit. Aku pun masih sulit menerima siapa pun yang datang walau itu lebih, lebih dan lebih sempurna dibandingkan dirimu. Tapi entah mengapa untuk saat ini aku enggan memikirkan soal percintaanku. Bukan karena aku tetap mengemis cintamu, tapi aku tidak ingin memberi hati yang patah kepada siapapun.
Oh iya, Apa kabar dengan dirimu Azhi? Mungkin saat ini tanganmu tengah diberi cincin yang sama persis seperti sahabatku. Selamat ya.
Kabarku kini baik-baik saja, aku berkata walau sebenarnya kau sudah tidak memperdulikanku lagi. Ini tahun kedua aku pergi di negeri penuh cerita. Namun tak kunjung aku melupakan cerita demi cerita yang telah bersarang dalam hati.
Tapi kau jangan khawatir, aku tidak memintamu untuk balas menyayangiku, aku hanya butuh waktu dan ijinkan aku untuk mengulang kenangan demi kenangan bersamamu. Sekian lama aku merindukan suasana dimana kita dulu bercanda ria.
Azhi, saat ini aku tengah berkunjung ke tempat dimana kita menghabiskan waktu bersama, sebuah puncuk dengan udara yang amat menusuk tulang rusuk. Saat itu, dimana kita bernyanyi ria di depan tenda kecil, ditemani api unggun sebagai penghangat tubuh.
Kita bernyanyi ria diiringi petikan gitar, aku mendalami kata demi kata untukmu, aku kira kau pun sama. Ternyata aku salah.
Kita berbaring di atas rumput hijau sisa hujan, aku dan kamu menatap bintang yang terlihat lebih dekat, andai hati yang lebih dekat.
Tangan kita berpegangan seakan tak ingin saling kehilangan, tergambar raut kesenyuman dalam wajahmu, aku pikir ini adalah bahagiamu, ternyata aku keliru.
Kita terlelap dengan hati yang saling mengikat, hingga angin subuh membangunkanku untuk melihat satu lagi keindahan setelah dirimu. Matahari menyapa kita seakan memberi tahu bahwa inilah awal hari kebahagiaan.
Kini, aku duduk sendiri di tepi bebatuan yang menjulang tinggi, batu ini adalah saksi buta ketika aku sangat bahagia terlelap di pangkuan sang idaman.
Angin malam kali ini tidak lebih dingin dibanding dirimu. Ia amat mengerti dengan kesedihanku. Angin itu menyapu air mata dengan beberapa helai rambutku seakan ingin menghapus kesedihan.
Aku menangis bukan karena mengharapkan kau kembali, tapi aku cukup menyesal karena mempunyai cerita yang amat indah bersamamu. Andai waktu bisa berputar, aku tidak akan kehabisan alasan untuk menolak ajakkanmu.
Sumpah demi apapun aku bukan membenci kenangan indah, namun aku bingung dengan cara apa lagi aku menghapus semua rasa ini, semua begitu sulit untuk aku jalani, jika memang harus dengan cara menangis aku mengenangmu, biarkan aku tumpahkan seluruh rindu, benci, kesal, sayang, iri, ego dan rasa lainnya.
Kau belum tentu mengingatku seperti aku mengenangmu, sesungguhnya memendam rasa itu amatlah sulit. Tidak semudah kau datang dan pergi.
Selamat malam wahai rembulan, bisakah kau ganti kesedihan ini menjadi tawa yang pernah terukir indah ketika masih bersamanya, aku ingin senyum itu kembali tanpa seseorang, bukan mengapa, namun aku takut seseorang itu kembali pergi dan dan tak kembali.
Aku ingin bahagia dengan caraku sendiri, sehingga ketika aku benar-benar sendiri, aku takkan kehilangan bahagia.
Hidup ini bagaikan air yang mengalir entah kemana arahnya, mengikuti jejak walau tahu akan terperangkap.
Azhi, sepertinya hanya dengan cara ini aku mengunjungimu, megenangmu tanpa satu orang pun tahu perasaanku yang sebenarnya. Jika saat kau membaca semua kisah ini dengan rautan emosi, kau boleh memaki sepuasmu. Namun inilah kenyataan, bahwa rasa tak bisa selamanya terpendam. Kau pun tak usah menemuiku untuk marah, aku bisa memarahi diriku sendiri lebih kejam dibanding dirimu. Jangan khawatir, ini hanya sebuah rasa bukan paksaan agar kau kembali, ini soal waktu yang terus aku ulang agar benar-benar bisa aku lupakan dengan tenang.
Terima kasih, kau selalu genggam kebahagiaan walau sekejap. Aku tuliskan harapan dan kau ciptakan sebuah kenangan. Tanpa kau sadari separuh jiwaku hinggap bersamamu, namun aku tak tahu kau buang dimana hatiku itu.
Malam ini, malam dimana aku terakhir kali menginjak puncak terindah sekaligus tersakit dalam hidupku. Aku titip semua bendungan air mata di tempat ini. Biarkan dia hilang bersama rasa. Selamat tinggal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mengulang Waktu
RomansaPernahkah merasakan ketika sebuah kecewa datang, lalu kau menutup pintu hati begitu rapat agar kau bisa menyembuhkan luka itu dengan caramu sendiri? Setelah itu dirinya mengetuk pintu dengan halus, membersihkan sirpihan luka yang berserakan tak tent...