Lima

21 4 1
                                    

Hari tanpa dirimu ....

Kegelisahan ini hadir saat aku benar-benar menyadari bahwa mengagumi bukan satu-satunya jalan agar saling memiliki. Terkadang cinta tak selucu apa yang kita harapkan.

Aku duduk di sela jendela yang terbuka lebar. Hujan dimalam hari membuat aku rindu akan malam sebelumnya bersamamu.

Sejujurnya diri ini lelah mendengarkan isi hati yang hanya tertuju pada seseorang, semakin aku berlari menyeimbangkan hatiku, semakin kau cepat berlalu meninggalkan.

Ingin sekali kaki melangkah pergi, namun apa daya hati ini mengikat erat namamu, walau siapakah diriku di hidupmu?

Masih teringat jelas di benakku, saat kau merayu untuk sekedar bertemu disela kesibukkan. Aku menolak kesempatan bahagia itu, bukan karena aku tak ingin bertemu denganmu lagi, namun aku takut hati ini semakin jatuh ke hati yang lebih dalam. Dan itu terbukti ketika aku menolak moment indah itu. Lalu apa jadinya jika waktu itu kita bertemu dan menghabiskan waktu bersama?
Mungkin hati ini lebih remuk lagi.

Aku tak bisa memaksa darimu masuk ke dalam hidupku, akupun tak bisa melarang jika akhirnya kau akan pergi dariku. Biar aku bunuh semua rasa ini, walau aku paham itu sangatlah sulit.

Luka kini seakan teman terbaikku, tak ada rasa sakit karena terbiasa, air mata yang biasa membanjiri pipi kini mulai mengering, bukan mengering karena sembuh, tapi mengering karena air mataku rasanya telah habis. Aku bingung caranya mengeluarkan air mata lagi, rasanya mati.

Jika saja kau mengucap tanda perpisahan, mungkin aku takan pernah hadir lagi dalam hidupmu, bahkan menunggu sebuah kabar. Entah kabar buruk tentangmu atau kabar bahagia dirimu bersamanya, yang jelas nafsuku hanya mengharapkan dirimu kembali.

Detik demi detik aku lewati dengan sunyi, malam berganti malam kembali, hingga lembaran kalender berganti, bahkan sejauh ini aku masih menunggu pesanmu muncul di layar ponsel, entah apapun pesannya.

Hingga suatu saat kesabaranku membendung menjadi emosi, memaksakan waktu untuk kembali adalah hal yang mustahil, takkan pernah bisa terulang.

Semenjak aku mengenalmu, aku tak bisa membandingkan wanita bodoh dan wanita setia. Entah wanita macam apakah aku ini? hingga detik ini aku belum bisa menghapus namamu dalam hatiku.

Berganti waktu dan musim aku masih berada dalam genggaman samar, kau yang mengajak kita berlari bersama ke arah depan, namun kau seenaknya berbelok dengan genggaman lain.

Harusnya aku sadar akan kekuranganku, apa yang aku punya dibandingkan dirinya tidaklah sebanding. Apakah cinta harus sejajar kelas bahkan tahta? Apa kata cinta hanya sebuah rasa ingin selalu bersama tanpa berakhir walau siapapun dan bagaimanapun keadaannya. Namun sekarang aku sadar, cinta tak hanya itu, butuh uang untuk mempercantik diri, butuh uang untuk mengejar pendidikan, butuh uang untuk makan yang layak agar terus sehat dan dapat mencintaimu dengan sempurna. Sungguh luar biasa.

Bolehkan aku melihatmu dari dekat? Jika kau tidak melihat luka dalam hatiku, setidaknya aku mengetahui kau mempunyai hati atau tidak.

Kau menjemputku, aku mengikutimu, lalu kau tinggalkan aku sendiri, apakah pantas aku mengikutimu tanpa diajak? Sebesar apapun cintaku, aku masih menjaga harga diri, bahkan menjaga air mata di balik topeng kesedihanku.

Musik klasik terus terdengar jelas, kata perkata berperang dengan hati hingga air mata perlahan menunjukkan jati dirinya.

Aku menggenggam ponsel, membuka whatsApp dan mencari kontakmu. Terdapat poto sepasang kekasih romantis yang sangat aku kenal. Ada beberapa pesan yang belum sempat aku hapus sedari dulu. Aku baca satu persatu, kata demi kata. Rangkaianmu sungguh menakjubkan, entah bagaimana perasaanmu dahulu.

Aku seperti jatuh dari awan kebahagiaan yang indah. Ternyata jatuh cinta lebih menyakitkan dibanding jatuh dari tangga. Jika semua tulangku harus di takdirkan patah, setidaknya hatiku masih mampu berfungsi untuk menjaga perasaan orang lain. Lantas jika hati yang patah, siapakah yang bertanggung jawab?

Mengulang WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang