Mengingatmu

26 5 1
                                        

Musim gugur telah tiba, daun kering menari indah bersama angin yang membawanya jatuh ke tanah kering, aku mulai terbiasa dengan luka-luka yang selalu menusuk hatiku, sejak saat itu pula aku terbiasa dengan keheningan.

Aku merapikan baju dan beberapa potongan celana untuk bekalku beberapa bulan. Kepergian yang aku tunggu selama ini akhirnya tiba. Meninggalkan penat kota yang selalu dibanjiri oleh polusi udara.

Tujuan utama tetap sama, mencari suasana baru dan melupakan serpihan luka lama. Jika kehadiranku sudah tidak diperlukan lagi untuk apa bertahan? Hubungan indah berpihak kepada si pemilik cantik dan tampan. Harusnya aku tahu itu.

Sebenarnya aku sudah tidak mengharapkan kalian untuk mengunjungiku atau sekedar menghubungiku. Karena itu menyakitkan untukku. Setahun aku menyimpannya rapat,tolong jangan hancurkan lagi.

Sebelum pergi jauh, aku kembali mengingat dimana pertama dan terakhir kita bertemu, tempat favorit, dan beberapa tempat yang mempunyai cerita indah. Sebelum aku benar-benar pergi, aku akan mengingat semua itu untuk yang terakhir kalinya.

Tempat aku bekerja, pusat electronic terbesar di kota ini. Dulu kamu pelanggan yang menyebalkan, penuh dengan gombalan serta modus, hehe

Pekan ke dua, kita bertemu di rumah sakit, aku cukup kewalahan untuk menahan sakit yang terus terasa, dan kamu? Kali ini kamu yang meriksa kondisiku. Tanganku gemetar, kakiku juga. Keringat dingin keluar diiringi jantung yang tak menentu.
Ya Tuhan...  Sakit apa sebenarnya aku ini? Apalagi saat tanganmu terangkat akan periksa. Jantungku langsung mempunyai singal 4G. Cepat sekali detakannya, saking cepatnya aku tak sadarkan diri.

Pekan ketiga aku sedikit pulih, tapi sebenarnya aku masih ingin dirawat olehmu. Tapi tak mengapa, setidaknya aku tak jantungan lagi jika tidak bertemu denganmu, Azhi.

Bulan ke tiga kita bertemu di kantor pajak, mengantri lama, tentu dengan detakan jantung yang cepat seperti sebelumnya. Hari itu hujan lebat, kita berteduh di sebuah cofe tidak jauh dari tempat itu.

Pertemuan itu berlanjut hingga kita menghabiskan waktu bersama di puncak gunung tertinggi di kota ini. Tiga hari aku mendengar kau bernyanyi dengan gitar kesayanganmu. Teh hangat adalah saksi buta betapa bahagianya kita.

Pertemuan selanjutnya aku mengenalkan dirimu kepada sahabatku. Kita habiskan waktu bersama, bertiga.

Setiap malam kita selalu video call untuk melepas rindu, namun ketika aku meninggalkan percakapan itu, kalian melakukannya berdua.

Saat ingin pergi, kau selalu menjemputnya lebih awal dan mengantarnya terakhir. Bukankah itu posisiku dulu?

Tahun pertama kau habiskan waktu bersamanya tanpa mengingatku. Kalain bercanda ria, menghabiskan waktu bersama, bahkan kalian kunjungi tempat-tempat kita dulu.

Sekejap aku kembali menangis, air mata kembali jatuh untukmu setelah sekian lama menahannya. Aku sengaja tidak mengusap pipi yang basah, biarkan air mata ini, air mata terakhir aku menangisimu. Setelah ini, aku berhenti menangis, membuka dunia luar. Aku janji.

Aku meraih koper dorong berwarna biru terang dengan gantungan berbulu. Melangkah meninggalkan luka yang tak kunjung reda dalam hati.

"Sebelum ke Bandara, tolong ikuti arahku dulu ya, Pak!" ucapku.

Pak Imam mengangguk.

"kita ke tempat aku bekerja dulu!"

Tanpa jawaban, mobil hitam melaju mulus memutarkan rodanya. Sekitar sepuluh menit aku tiba di depan gudung bertingkat lima. Aku turun dan memasuki gedung tersebut. Memasuki lift menuju lantai empat lalu berjalan mengitari ujung gedung. Tepat di depan mata aku bertemu denganmu untuk yang pertama kalinya.

Aku mengambil poto tempat itu, mataku mulai berkaca, namun tak mungkin aku menangis di tempat ini. Tergambar jelas senyum itu. Bahkan gaya bahasanya aku masih mengingatnya.

"Kalo hatinya masih kosong nggak?"

Aku tersenyum mengingat hari itu. Dimana aku masih dengan hati yang patah, namun kau coba sembuhkan itu, aku kira begitu.

Aku cepat-cepat berbalik badan meninggalkan tempat itu, langkahku kali ini benar-benar untuk pergi, maka ijinkan aku meneteskan air mata untuk yang terakhir kalinya, Azhi.

Aku langsung menaiki mobil dengan isakan yang cukup mendalam, beberapa kali Pak Imam memastikan bahwa aku baik-baik saja. Sebenarnya tak ada yang harus dikhawatirkan, sebab aku benar baik-baik saja, ya ... Hanya hatiku saja yang hancur.

Dalam tangisku, akupun harus mengucapkan terima kasih karena kamu memberi warna baru, suasana baru, dan cerita baru.

Mobil hitam kembali melaju cepat dan langsung meninggalkan kota indah ini. Selamat tinggal.

Mengulang WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang