Hai, Azhi! Apa kabar denganmu? Sepertinya kau lebih baik dibanding dulu. Aku tidak tahu kau akan membaca atau tidak perjalanan serta perasaanku dulu hingga sekarang. Tapi setidaknya aku tidak semudah dirimu melupakanku.
Kini, kabarku sangat baik, aku berada dalam kesibukan yang amat membantuku melupakan luka itu, walau belum sepenuhnya aku melupakanmu, tapi aku tengah berhasil mencari kesibukanku demi sebuah cita-cita, seperti yang kamu bilang dulu. Dan kelak ketika aku tengah mencapai semua mimpiku, aku berjanji akan menjadikan semua kisah kita ke dalam sebuah novel. Tujuan aku hanya satu, agar kau tahu betapa besarnya aku menyayangimu.
Kini, di kota penuh dengan rintikan salju, aku tersenyum membayangkan bagaimana bahagianya dirimu dan dia, dan aku pun begitu yakin bahwa kalian tidak merasakan sebuah kehilangan semenjak kepergianku.
Kini aku kembali merapikan koper biru muda masih dengan gantungan berbulu. Aku pulang walau aku tahu tidak ada yang mengharapkan kepulanganku.
Kamu dan dia tidak usah berusaha menghindar, karena aku sekarang cukup tahu diri pulang untuk siapa. Aku merindukan kenangan dan bukan merindukanmu. Bagimana aku akan merindukan kekasih dari sahabatku sendiri.
Malam bertemu malam aku tengah berada di negaraku, jangan tanya aku mau apa disini, aku hanya ingin mengunjungi tempatmu merawatku dulu.
Saat itu, saat rasa sakit berpihak kepadaku, aku dibuat jantungan setiap hari. Kau tahu? Jantungku hampir lepas setiap kau menatapku. Entah lah, terserah kau menilaiku seperti apa, berlebihan atau tidak itulah yang aku rasa.
Ada dua rasa aneh yang aku alami ketika berada bersamamu. Yaitu jantung yang tiba-tiba terasa aneh karena berdetak begitu cepat. Dan dimana jantung ini terasa kau remuk hingga aku merasakan benar-benar hancur.
Azhi, apa kah kau tahu? Setiap malam aku menangisi ruang kosong yang tidak jelas akan aku isi apa. Setiap fajar menjemput aku selalu semangat karena aku bahagia melihatmu lebih bahagia dibanding dulu ketika kita masih bersama. Saat sanja bermain bersama daun-daun yang berguguran, aku kerap bermain dengan egoku, membiarkan rasa itu tumbuh lebih dalam dan lebih dalam lagi.
Ya Tuhan, maafkan aku karena terlalu menyayangi pasangan sahabatku, bukan maksud merebutnya kembali. Aku hanya ingin mencerna rasa yang pernah ada menjadi sebuah kenangan, walau kenyataannya itu selalu gagal dan gagal. Beribu cara aku lakukan tapi aku tetap mencintainya, Azhi.
Hingga tiba dimana aku memutar lagu yang pernah kita kenang, jiwa itu aku biarkan terbang dan jatuh sesukanya, tidak memaksakan diri untuk tetap tidak mencintaimu. Karena kebohongan terbesar yang pernah aku lakukan adalah membohongi bahwa aku tidak menyayangimu. Memasang beribu topeng agar kau tetap menilaiku baik-baik saja.
Azhima, kini aku berada dimana dulu kamulah penanggung jawab atas kesehatanku. Mengapa harus cepat? Mengapa tidak selamanya saja aku bersama denganmu, walau kenyataan berkata aku harus berganti posisi merawatmu dan aku yang kewalahan, aku sanggup, sangat sanggup. Biarkan aku letih dengan segala sayangku, hanya itu yang aku mau.
Di tempat ini, di kota ini, aku merasa sehat ketika sakit melanda tubuhku. Aku berasa hidup lebih cepat saat menghabiskan setiap hembusan nafas bersamamu.
Bodoh!
Harusnya aku tidak melakukan itu semua dan kembali ke tempat ini. Kalaupun aku jatuh sakit dan kembali dirawat belum tentu kamu yang menanganinya.
Aku kembali mengambil sebuah poto taman yang berada tepat di belakang rumah sakit tempat kamu bekerja. Mungkin kau sekarang sedang sibuk menangani pasien atau sekedar menghabiskan waktu bersama sahabatku, apa pun yang sedang kau lakukan, aku titip sebuah rindu lewat taman yang pernah menyembuhkan hatiku.
Aku membalikan badan dan melangkahkan kaki dari tempat ini, selamat tinggal kenangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mengulang Waktu
RomancePernahkah merasakan ketika sebuah kecewa datang, lalu kau menutup pintu hati begitu rapat agar kau bisa menyembuhkan luka itu dengan caramu sendiri? Setelah itu dirinya mengetuk pintu dengan halus, membersihkan sirpihan luka yang berserakan tak tent...