Without - 14

25.5K 1.8K 55
                                    

Diva

Aku memperhatikan mobil Delvian yang sudah menghilang dari pandangan mata kemudian beralih pada Martin. Aku tidak habis pikir sebenarnya, apa yang lelaki ini inginkan dariku. Jelas-jelas perjodohan kami sudah batal karena aku sudah bertunangan. Atau jangan-jangan lelaki satu ini tidak terima? Ah, bisa jadi sih.

"Diva."

"Ya? Ada perlu apa mencariku?" Aku rasa aku tidak perlu basa-basi pada Martin.

"Jadi kamu dan Delvian benar-benar bertunangan?"

Ya iya dong. Masa pura-pura? "Aku rasa kamu masih cukup muda sehingga nggak mengalami kepikunan yang biasa terjadi pada orang tua soal kabar pertunanganku," cibirku pada Martin.

"Mulutmu masih saja pedas," kekehnya tidak jelas.

"Sudahlah, hentikan basa-basinya, katakan apa maumu? Aku sibuk!" Males gila kan meladeni orang yang nggak jelas kayak Martin.

"Aku cuma mau bilang, aku tidak akan terpengaruh dengan pertunanganmu dan Delvian karena aku akan terus mengejarmu dan memastikan bahwa kamu akan jadi milikku!"

Alih-alih kaget, aku malah melongo habis mendengar ucapan dengan nada mengancam yang dilontarkan Martin. Aku bahkan sampai tidak sadar bahwa Martin sudah pergi dari hadapanku. Hari gini masih main ancam? Dasar lelaki gila! Buru-buru aku masuk ke dalam kantor.

Fiuhh. Tadi saat aku baru saja masuk ke ruangan, Bos sudah memintaku menyelesaikan laporan-laporan yang sudah menumpuk sampai atas. Jadilah sekarang ini aku berkutat dengan dokumen-dokumen penting di mejaku.

Drtt...drrtt..

Ah, ponselku bergetar. Tanpa melihat caller-id, aku langsung mengangkat panggilan masuk dan menekan tombol loudspeaker . Dengan begitu aku bisa tetap fokus pada dokumen.

"Diva..."

Suara itu? Buru-buru aku melihat caller-id untuk memastikan bahwa pendengaranku tidak salah. Dan ternyata memang benar dia.

"Ya Delvian?"

"Sudah makan siang?"

"Makan siang? Memang sudah jam berapa sekarang?" tanyaku polos. Secara kan aku memang nggak lihat jam daritadi.

"Jam dua belas."

"Benarkah?" Dengan cepat aku melirik jam di pergelangan tanganku, tepat jam dua belas. Pantas perutku kayak ada perih-perihnya.

"Apa kamu sibuk?"

Aku melirik dokumen yang menumpuk di mejaku. Aku sibuk sekali. "Tidak juga." Maafkan aku sudah berbohong, Ya Tuhan.

"Mau makan siang denganku? Aku ada di lobi kantormu."

"Lobi kantorku? Kamu bercanda?" teriakku tidak percaya. Ah, lelaki satu ini kadang-kadang memang susah ditebak.

"Datanglah ke sini."

"Oke. Tunggu aku sebentar."

Begitu panggilan terputus, aku langsung melesat ke ruangan bosku untuk meminta izin lalu turun ke lobi. Sampai di lobi, aku melihat Delvian dengan posisi berdiri di dekat meja resepsionis. Bisa kupastikan para wanita di kantor ini sedang curi-curi pandang ke arahnya. Membuatku sedikit kesal. Dia kan milikku. Jadi hanya aku yang boleh melihatnya seperti itu.

Delvian menghampiriku begitu melihatku juga berjalan ke arahnya. Senyum manis tersungging dibibirnya. Ingin rasanya kukecup bibir itu jika saja aku tidak ingat bahwa banyak mata yang menatap kami sekarang ini. Duh, kenapa aku jadi genit begini sih? Gara-gara Delvian nih.

Delvian meraih tanganku lalu kami bersama-sama menuju mobilnya. Aku sengaja tidak bertanya ke mana kami akan makan siang karena aku percaya pada pilihannya. Nggak penting mau makan di mana sih sebenarnya. Hal terpenting adalah, tanganku digandeng.

"Jadi, apa yang tadi Martin katakan tadi?"

Kami sudah duduk di dalam restoran sekarang, menunggu makanan yang kami pesan datang.

"Nggak ada yang penting, ngancem doang dia tadi."

"Ancaman apa?" Delvian menatap mataku dengan intens. Aku sangat yakin pandangan mata itu bisa menusuk siapa pun saking tajamnya. Tahu gitu nggak usah jujur banget ya.

"Umm, dia hanya bilang bahwa dia nggak akan melepaskanku," ucapku takut-takut.

Aku melirik Delvian untuk melihat tanggapannya atas ucapanku barusan. Rahangnya jadi mengeras. Aku bahkan bisa mendengar giginya gemelutuk. Apakah dia sedang menahan emosi? Tetapi kenapa? Apakah karena Martin bilang tidak akan melepasku? Terus Delvian cemburu gitu? Bisakah aku mengatakan seperti itu? Tapi, bukannya Delvian nggak mencintaiku ya?

Pikiran-pikiran absurdku segera buyar saat makanan kami datang. Aku dan Delvian tidak saling berbicara dan memilih menyantap makanan kami masing-masing.



Delvian

Aku masih tidak habis pikir dengan diriku sendiri. Saat di restoran tadi rasanya ada yang meremas dadaku hingga terasa sakit, padahal aku hanya mendengarkan cerita Diva mengenai lelaki yang hampir dijodohkan dengannya-entah siapa nama lelaki itu. Baiklah, aku harus mengakui jika aku tidak suka mendengar ancaman lelaki itu tentang tidak akan melepaskan Diva. Hey bung! Kau salah memilih lawan. Diva itu milikku. She's mine! Aku tidak pernah mau membagi milikku dengan orang lain.

"Delvian?"

"Hmm."

"Kantorku bukan lewat arah ini. Kamu salah jalan."

Aku menoleh sekilas pada pemilik suara lembut yang mampir di telingaku barusan. Shit! Ternyata aku salah jalan. Aku benar-benar bodoh membiarkan diriku melamun tidak jelas sambil mengemudi dan membiarkan diriku lupa bahwa aku tidak sendirian di dalam mobil ini.

"Sorry."

"Nggak apa-apa."

Aku memutar arah agar bisa kembali ke kantor Diva, setelahnya aku kembali fokus pada jalanan di depanku. Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam. Tidak ada topik menarik untuk diperbincangkan. Otakku sendiri penuh dengan Diva. Hei, benarkah barusan aku menyebut nama Diva? Apakah aku diam-diam sudah jatuh hati padanya?

Entahlah! Mungkin setelah ini aku harus menelaah hatiku kembali.

Setelah mengantar Diva, aku kembali ke kantor. Sesampainya di kantor, aku hanya melamun. Tidak ada pekerjaan yang kulakukan. Sedari tadi kerjaanku hanyalah menatap layar berisi angka-angka yang tidak menarik.

Seandainya ada Diva disini, pasti lebih menarik. Astaga! Diva? Lagi? Astaga, ada apa dengan otakku ini? Sepertinya Diva memang benar-benar sudah mempengaruhi otakku sampai-sampai yang ada dalam pikiranku hanya dia.

Tok. Tok. Tok.

Aku berseru dari dalam. "Masuk."

Sosok yang mirip denganku berjalan mendekati meja kerjaku lalu duduk di salah satu kursi disana. "Mas lagi sibuk?"

"Nggak, ada apa? Tumben ke sini?" Tanyaku tanpa basa-basi.

"Oh, cuma mau ngasih tahu kalo besok Livia ulang tahun. Dateng ya?"

"Oke."

"Aku cuma mau bilang itu aja. Aku ke ruangan Papa dulu ya, Mas."

Aku hanya menganggukkan kepalaku lalu melirik kalender yang tergantung di dinding. Besok tanggal 24 Oktober. Biasanya aku selalu mengingat tanggal itu, tetapi tidak untuk kali ini. Ini kali pertama aku melupakan tanggal itu. Livia, maaf. Di hatiku sepertinya sudah ada yang menggantikan tempatmu. Selamat ulang tahun. Bahagialah selalu.

❤❤❤

Without HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang