Haloooooo, i'm back. Pada seneng dong???? HARUS!
Maafkan aku ya lama menghilang, aku beneran sibuk. Kabar baiknya aku baru selesai wisuda. Sekarang PENGANGGURAN :'(
Yang punya info lowongan kerja boleh deh kasih tahu aku haha.
Readers tercintaaah, aku gak bisa janji bakal sering apdet, tapi aku usahain deh. Harap maklum karena sekarang ini aku job seeker.
Pasti udah pada bosen kan dengerin sepatah dua patahku yang gak jelas ini? Ya udah deh. Selamat membaca. Jangan lupa tinggalkan komentar dan bintang kalian biar aku tahu bahwa Abang Delvian masih ada yang baca. Cerita ini gak bakal panjang-panjang lagi. Akan segera end supaya aku bisa lanjutin cerita ponakan-ponakan Abang Delvian yang kece badai. Satu lagi jangan masalahkan tentang typo atau part yang kependekan ya.
Salam sayang,
Lovi.
________________________________________________________________________________
Diva
Aku rindu. Sungguh sangat rindu. Delvian sangat jahat. Setelah membuatku perasaaanku melambung tinggi karena akhirnya dia mau membuka hatinya, dia lalu pergi begitu saja. Benar-benar tega. Tapi aku bisa apa? Dia cuma memintaku menunggu. Lagi. Sungguh menyebalkan.
"Ngelamun aja sih dek? Nungguin telpon dari Vian ya?"
Aku hanya mengangguk. Mengiyakan pertanyaan dari Mas Tom.
"Kamu kok mau-maunya ditinggal gitu aja sih dek? Gak takut kalo Vian nanti ketemu cewek lain yang lebih cantik dari kamu?"
Aku melotot ke arah kakak lelakiku itu lalu menggeleng pelan. Sejujurnya aku takut jika Delvian akhirnya bertemu gadis lain setelah pengorbananku menunggunya selama ini. Tetapi aku berusaha percaya bahwa hati Delvian hanya untukku. Aku saja sulit menembus hati Delvian apalagi gadis lain?
"Emang Delvian pergi berapa lama sih dek?" Kakak lelakiku yang satu ini tidak akan puas dengan jawabanku yang hanya mengangguk dan menggelengkan kepala. Tetapi aku sungguh tidak bersemangat mengeluarkan suara, jadi pertanyaan Mas Tom barusan kembali kujawab dengan gelengan kepala.
Delvian, berapa lama lagi aku harus menunggumu?
Tidakkah kamu merasa rindu padaku? Seperti aku yang gila karena luapan rindu ini?
"Dek jawab pertanyaan Mas dong? Kamu sariawan?"
Aku menarik nafas. Lelah. "Kan udah aku jawab, Mas. Aku lagi males ngomong."
"Iya deh, Mas tahu kamu lagi galau," ejek Mas Tom lalu berlalu dari hadapanku.
Aku kembali menatap titik-titik air jatuh dari langit lewat kaca jendela kamarku. Rasa dingin mulai menyeruak, tetapi aku tidak beranjak dari tempat ini. Memandangi hujan membuat hatiku sedikit tenang. Meski aroma tanah yang dibasahi hujan membuatku semakin rindu pada Delvian.
Sayang, sedang apa kamu disana?
Tidakkah kamu merindukan aku?
**
Delvian
Aku lupa sudah berapa lama aku disini. Seminggu? Dua minggu? Atau sudah satu bulan?
Sejak menginjakkan kaki disini, seluruh pikiranku langsung disita oleh banyaknya pekerjaan dan pertemuan yang harus kuselesaikan. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku bisa tidur dengan nyenyak.
Tok. Tok. Tok.
"Masuk!" Seruku dari dalam. Seorang wanita cantik membuka pintu dan berjalan menghampiriku.
"Ada apa?"
"Aku hanya ingin mengingatkan tentang jadwal pertemuan yang besok akan kita hadiri."
"Hmm."
"Mas?"
"Tinggalkan saja di meja. Nanti kubaca."
"Mas merindukan dia?"
Aku mengangguk pelan. Aku sangat merindukannya. Aku tahu ini tidak adil baginya. Aku pergi begitu saja tanpa sempat berpamitan secara langsung. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali mendengar suaranya.
"Kalo kangen ya ditelpon, Mas." Aku mengangguk.
"Pulanglah duluan, Naveea."
"Oke."
Pintu ruanganku ditutup dari luar. Kuambil ponsel dari saku celana. Banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab. Tetapi yang kucari hanya satu nama. Senyumku langsung muncul begitu menemukan nama yang kuharapkan.
From: Divandria M. Adam
Vian, i miss you.
Pesan singkat darinya begitu menohok hatiku. Kulihat kembali kapan pesan itu kudapat. Tiga hari yang lalu. Ya Tuhan. Aku membiarkannya menunggu. Lagi.
Segera ku-dial nomor Diva. Begitu menyebalkan rasanya menunggu panggilan tersambung. Aku sangat tidak sabaran untuk mendengar suara yang kurindukan itu. Tetapi, hingga akhir nada sambung bukan suara Diva yang terdengar. Suara operator yang mengatakan bahwa pemilik ponsel tidak bisa dihubungi.
Dadaku sesak. Menahan rindu ternyata begitu menyakitkan.
Diva, i miss you too.
**
Entah sudah berapa pertemuan yang kuhadiri hari ini. Aku sungguh lelah. Begitu sampai diruanganku, aku langsung menghempaskan tubuh ke sofa yang tersedia di pojok ruangan. Baru saja aku ingin memejamkan mata, suara Naveea mampir ketelingaku.
"Mas, pulanglah! Biar sisa pekerjaan disini aku yang handle."
"Mana mungkin aku pulang begitu saja, apa kata Papa nanti?"
"Biar aku yang urus. Aku sudah bicara sama Om. Mas boleh pulang. Ini tiket buat Mas, penerbangan pertama."
Aku begitu terkejut hingga langsung memeluk gadis dihadapanku ini. "Makasih Veea. Terima kasih."
Veea melepaskan pelukan. "Sama-sama Mas. Titip salam buat gadismu itu ya." Ucapnya lagi lalu tersenyum manis.
**
Setelah menempuh perjalanan selama belasan jam akhirnya aku sampai juga di Jakarta. Aku melirik jam dipergelangan tanganku. Masih jam kantor, jadi aku langsung saja meminta supir taksi mengantarku ke kantor Diva. Aku sudah tidak sabar untuk memeluk gadis itu. Dia pasti terkejut melihatku nanti.
Begitu sampai di kawasan perkantoran Diva, aku langsung masuk ke dalam. Para pegawai disini sudah mengenalku sehingga banyak yang menyapaku saat aku berjalan menuju lift. Aku begitu yakin Diva ada di kantor sampai-sampai tidak bertanya terlebih dahulu pada resepsionis. Lift yang membawaku akhirnya tiba di lantai tempat ruangan Diva berada. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, aku langsung masuk.
Pemandangan yang kulihat begitu tidak mengenakkan. Diva sedang dipeluk oleh lelaki yang tidak kukenal.
Emosiku mendidih seketika.
Ternyata, akulah yang mendapat kejutan disini.
**
TBC
Akhirnya part gaje ini selesai juga. Maaf ya kalo pendek. Ternyata udah dua bulan gak nulis itu susah. Susah cari ide. Aku aja gak tau ini nulis apaan. Semoga kalian terhibur pokoknya. Sampai jumpa lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/19051477-288-k544615.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Heart
RomanceBagaimana aku bisa bahagia jika gadis yang kucintai bertahun-tahun akhirnya resmi jadi adik iparku? -Delvian Gaza Anggara- (Prolog & Part 1 diprivate)