Without 19

36.6K 1.8K 71
                                    

Haiiii, ada yang kangen? Nungguin cerita ini? Semoga masih. Sebelumnya aku mau minta maaf yang sebesar-besarnya karena lama menghilang. Selain karena gak ada ide, aku juga sibuk kerja. Maklum sekarang jadi guru. Lumayan melelahkan. Pulang kerja langsung berkutat sama materi buat besoknya lagi. Tolong dimaklumi ya.

Selamat membaca. Jangan protes kalo ini pendek karena aku nulisnya di sela-sela istirahat ngajar dan masih di sekolah.

-------------

Delvian

Sungguh, rasanya aku tidak ingin mempercayai penglihatanku sendiri. Wanita yang kucintai sedang berada dalam pelukan pria lain. Rasanya ingin sekali aku memisahkan mereka dan memberi pelajaran pada lelaki yang berani-beraninya memeluk wanitaku. Tetapi, aku tidak boleh bersikap kekanakan seperti itu. Aku adalah lelaki terhormat yang sudah belajar etika sejak kecil. Jadi aku harus bersikap elegan supaya lelaki itu tahu siapa yang sedang dihadapinya.

Setelah berusaha menetralkan emosiku yang mendidih dengan menarik napas beberapa kali, aku mengetuk pintu ruangan kantor Diva. Berpura-pura baru datang dan tidak tahu apa-apa.

Tok. Tok. Tok

Aku bisa melihat, Diva mengurai pelukannya pada lelaki itu dan menatap kearahku.

Dia sepertinya terkejut. Amat sangat terkejut dengan kehadiranku yang tanpa pemberitahuan ini. Aku tidak terlalu memperhatikan Diva, aku masih fokus pada lelaki yang tadi berpelukan dengan Diva. Lelaki itu terlihat biasa saja setelah memeluk Diva, padahal aku sudah tidak sabar ingin memberinya pelajaran.

"Delvian. Kamu...."

Aku memberikan senyum terbaikku pada wanita yang mengucapkan namaku barusan. Aku berjalan mendekat kearahnya. Menariknya kepelukanku tanpa peduli sebelumnya dia baru saja memeluk lelaki lain didepanku. Rasa rinduku padanya terlalu besar sampai-sampai aku mengesampingkan amarahku.

"Hai sayang," bisikku ditelinganya.

"Kamu kapan tiba di Jakarta?" tanyanya setelah aku melepas pelukan kami.

"Beberapa jam yang lalu," jawabku pelan.

"Dan langsung kesini?"

Aku mengangguk.

EHM! 

Aku dan Diva sepertinya melupakan bahwa ada orang lain diruangan ini dan dia menyaksikan kelakuan kami beberapa saat lalu.

"Ya ampun, aku lupa Mas Evan ada disini." Seru Diva pada lelaki yang baru saja kuketahui bernama Evan itu.

Lelaki itu hanya tersenyum kepada kami berdua. "Tidak apa-apa. Aku maklum."

"Evan Wijaya," ucapnya sambil mengansurkan tangannya.

"Delvian Gaza Anggara," balasku lalu menjabat tangannya.

"Aku tahu, Diva sering menyebut namamu setiap kesempatan," ucapnya lagi sambil tertawa kecil.

"Mas Evaannn. Jangan buka kartu!" Seru Diva lalu mencubit pinggang Evan sampai lelaki itu mengaduh kesakitan.

"Delvian, Mas Evan ini sahabatnya Mas Tom. Dia kesini nganterin undangan pernikahannya." Diva memperlihatkan undangan berwarna soft pink yang dipegangnya.

Aku menarik napas lega. Rasanya seluruh beban yang tadi menghimpitku hilang seketika. Berarti lelaki ini tidak akan menjadi rivalku dalam memiliki hati Diva. Lagipula, Diva kan memang milikku.

**

Kami sekarang berada di apartemenku. Setelah Evan pamit, aku langsung menculik Diva. Tentunya setelah meminta izin pada bosnya yang juga merupakan ayah mertua adikku, Lerian. Disinilah kami sekarang berada. Diva sedang memasak untukku. Entah apa yang dimasaknya. Dia melarangku mendekati area dapur. Jadi yang kulakukan saat ini hanyalah memandangi sosoknya yang membelakangiku, sibuk dengan kegiatannya memasak.

Melihatnya yang sedang memasakkan makanan untukku entah mengapa membuat merasa amat bahagia. Rasanya seperti sudah memiliki istri. Aku ingin Diva setiap hari memasak untukku. Melihatnya setiap waktu. Aku rasa, aku sudah tidak bisa berada jauh darinya. Aku bisa gila jika tidak melihatnya sehari saja.

Apa mungkin ini sudah waktunya aku untuk mengikat Diva?

**

Diva

Aku masih tidak percaya jika sekarang ini aku berada di apartemen Delvian. Bahkan sedang memasakkan makanan untuknya. Kedatangannya yang tiba-tiba diruanganku tadi amat sangat membuatku terkejut. Antara bahagia bisa melihatnya lagi setelah ditinggal lumayan lama. Tetapi, aku tidak bisa memungkiri bahwa ada bagian hatiku yang kecewa.

Kecewa karena dia tidak menjelaskan apapun saat bertemu denganku.

Aku tidak bisa memaksa ataupun menuntut penjelasan. Aku hanya terlalu bahagia bisa melihat wajahnya lagi.  

Aku memutuskan membuat makanan yang mudah dimasak dan cepat. Semoga saja Delvian tidak keberatan dengan makanan sederhana yang kubuat ini.

Delvian makan dengan cepat. Seperti belum makan berhari-hari. Syukurlah dia mau menghabiskan nasi goreng yang buat. Setelah ini aku akan meminta menjelaskan alasannya tidak menghubungiku selama berada di luar negeri. Jika alasannya hanya sibuk dengan pekerjaan, maka alasan itu tidak akan kuterima. Memangnya dia bekerja selama 24 jam sampai sampai tidak bisa menghubungiku.

"Delvian..."

"Hmm.." Dia bahkan tidak mendongak saat aku memanggil namanya.

"Delvian..." Ucapku sekali lagi. "Ada yang ingin kutanyakan."

"Apa?" Tanyanya tanpa menatapku.

"Aku...." Drrrttt....Drttt...Drrttt. Ponsel Delvian yang bergetar di atas meja membuatku mengurungkan niatku untuk melanjutkan pertanyaanku.

Delvian meraih ponselnya lalu sibuk berbicara melalui ponselnya, entah dengan siapa dia berbicara. Setelah menerima telpon, Delvian terlihat tergesa-gesa. Bahkan saat kami baru bertemu, Delvian masih saja sangat sibuk.

Ah... Sudahlah.

"Diva, aku pergi sebentar. Kamu disini saja ya." Delvian mengecup keningku lalu berlalu dari hadapanku. Aku saja belum sempat bertanya dia akan pergi kemana.

Aku begitu lelah memikirkan semuanya sampai-sampai mataku sangat berat dan ingin menutup saja.

**

"Diva. Sayang. Bangun. Kenapa tidur disini?" Samar-samar aku bisa menangkap suara Delvian. Aku berusaha membuka mata meskipun enggan. Tetapi akhirnya kupaksakan untuk membuka mata. Rupanya tadi aku tertidur di sofa. 

"Kamu abis darimana?" Tanyaku dengan suara serupa bisikan. Jujur saja aku masih mengantuk.

"Mengambil sesuatu." Jawabnya misterius. Entah barang apa yang diambilnya.

Rasa penasaran tidak mampu kubendung sampai-sampai aku bertanya lagi. "Apa?"

Delvian terlihat mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak. Delvian membuka kotak itu, seketika itu juga hatiku berdegup kencang.

"Divandria Mangesthi Adam, marry me?"

***

TBC

Please abaikan kalo part ini garing, gak dapet feelnya ataupun pendek. Jangan tanya juga kapan bakal dilanjutin karena aku nulis tergantung mood. Yang pasti cerita ini bakal segera tamat. Satu part lagi tamat kok terus epilog.

Buat yang nanya cerita-ceritaku lainnya, tenang aja bakal dilanjutin kok. Cuma ya harus sabar menunggu ya. 

Baiklah, sampai jumpa :)


Without HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang