Lama banget ya repost doang hihi. Enjoy reading :)
---
Delvian
Hanya orang gila saja yang menekan bel apartemenku saat jarum jam masih setia berdiam di angka tujuh. Benar, sekarang masih jam tujuh pagi. Meskipun ini hari kerja, tetapi aku enggan pergi ke kantor. Bukan karena malas tentu saja, ini karena kondisi fisikku yang sepertinya agak menurun akibat terlalu lelah bekerja minggu kemarin. Tidak hanya kondisi fisikku yang lelah, tetapi hatiku juga ikut lelah akibat ulah Diva.
Sebenarnya, aku sendiri masih bingung dengan apa yang diinginkan oleh hatiku. Oleh karena itu aku 'menggantungkan' perasaan Diva. Katakanlah aku berengsek, tetapi aku hanya tidak ingin jika nantinya aku akan semakin menyakiti Diva jika suatu hari nanti hatiku belum bisa sepenuhnya mencintainya.
Jadi, biarkan aku dan hatiku berdialog sedikit lebih lama lagi.
Lagi-lagi bel apartemenku berbunyi. Bahkan sang tamu sepertinya sudah tidak sabaran dengan menekan bel terus-menerus tanpa jeda. Terpaksa kusibakkan selimut yang menutupi tubuhku dan menyeret diriku agar bisa sampai di depan pintu dan menemui sang tamu yang tidak tahu diri itu.
Pintu telah terbuka. Sayangnya bukan salam yang kudapat dari sang tamu tetapi bogem mentah yang membuat sudut bibirku robek, sepertinya. Perih.
Aku mendongak untuk melihat wajah tamu yang sudah melukai wajahku. Aku menahan diri untuk tidak memberikan balasan kepada penyerangku setelah tahu siapa yang membuat sudut bibirku ini sedikit berdarah.
Mas Tom, kakak lelaki Diva menatapku dengan garang. Belum sempat aku mengatakan 'hai', dia sudah lebih dulu mengeluarkan suara. "Di mana adikku?"
Kutatap Mas Tom dengan bingung. Aku yakin dahiku sekarang berkerut-kerut seperti kakek tua. "Aku tidak tahu, Mas. Memangnya Diva ke mana?"
Mas Tom mendengus. "Diva menghilang dari rumah. Ku pikir kamu yang membawanya pergi tanpa izin. Mengingat semalaman Diva menangis karenamu."
Diva menangis? Lalu apa? Menghilang?
"Menghilang? Maksud Mas, Diva kabur?"
"Ya, kurasa..." Mas Tom menggantung ucapannya, kemudian melanjutkan lagi. "Baju-baju di lemarinya juga tidak ada."
"Tapi Diva tidak ke sini, Mas."
Mas Tom hanya mengangguk. "Aku pamit dulu kalau begitu, maaf atas perlakuan tidak menyenangkanku. Anggap saja itu hukuman karena sudah membuat adikku menangis. Kabari aku jika sudah bertemu Diva."
"Ya tentu." Aku mengantar Mas Tom sampai ke pintu. Setelahnya, aku mulai menekan sederet nomor di ponselku. Aku tahu orang ini bisa kuandalkan untuk menemukan Diva.
Oh, God! Ke mana Diva?
Begitu panggilan tersambung, aku sendiri yang mendapat kabar mengejutkan.
"Tunanganmu ada bersamaku."
❤
Diva
Ugh. Kepalaku rasanya teramat sakit. Begitu aku membuka mata, dentaman-dentaman di kepalaku semakin bertambah. Kuperhatikan tempatku berada saat ini sembari mengingat apa sebenarnya terjadi padaku.
"Kamu sudah sadar?" Refleks, aku menoleh ke arah suara. Sesosok lelaki yang tidak kukenal bersandar di dekat pintu.
Aku menengakkan punggung dan bersandar di ranjang. "Siapa kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Heart
RomanceBagaimana aku bisa bahagia jika gadis yang kucintai bertahun-tahun akhirnya resmi jadi adik iparku? -Delvian Gaza Anggara- (Prolog & Part 1 diprivate)