Epilog

23.1K 1K 32
                                    

Cerita ini pertama kali di tulis bulan Juli 2014. Dalam rentang waktu 2014-2016, saya sudah menyelesaikan kuliah dan sekarang bekerja. Setelah bekerja ternyata lupa kalo cerita ini masih menggantung. Makanya saya buat epilog. Penting nggak penting sih. Kalo lupa boleh baca ulang hehe. Terima kasih sudah menemani saya sejak follower masih minim sampe 20K. Semua berkat kalian.

Selamat membaca pokoknya :)

_____________________________

Diva

Waktu dipenuhi dengan kesempatan. Dan seperti waktu, setiap kesempatan hanya datang satu kali. Saat waktu berlalu, kita tak akan menemukannya lagi. Dan aku bersyukur, bisa memanfaatkan kesempatan yang diberikan untukku, dulu. Karena jika tidak, hidupku tidak akan sebahagia sekarang.

"Mama, Vanno gangguin aku lagi."

Aku tersenyum pada jagoan kecilku yang tengah memasang wajah cemberut. Bagiku wajah itu sangat menggemaskan. Wajah yang ketika lahir sempat membuatku merasa kesal karena tidak kebagian apapun. Wajah Akhtar Mahya Anggara, jagoan kecilku merupakan duplikat lelaki yang duduk disebelahku sambil memeluk pinggangku yang tidak seramping dulu.

"Lama-lama kita bisa membuka tempat penitipan anak di rumah kita dan aku akan memasang tarif per-jam. Biar para orang tua itu tidak seenaknya menitipkan anak-anak mereka disini."

Aku tertawa mendengar gerutuannya. Namun aku tahu dia tidak serius dengan ucapannya. Dari teras, aku dan Delvian tengah mengamati tiga anak lelaki dan dua gadis kecil yang sedang berebut untuk bermain ayunan di taman belakang yang sengaja kami buat.

"Jangan panggil aku kayak gitu, Vanno! Namaku bukan Maya!"

Delvian yang kini tertawa melihat ekspresi Akhtar yang melotot marah pada Rivanno, putra kecil Zaroca dan Andien—sahabatnya. Vanno itu suka sekali membuat jagoan kecil kami marah dengan memelesetkan Mahya menjadi Maya. Namun, baik aku maupun Delvian tidak marah, kami mengerti kalau anak-anak itu hanya bercanda.

"Tante, aku haus."

Zhafran, keponakanku—anak Livia dan Lerian—yang bakat playboy-nya sudah terlihat sejak dini, menghampiriku. Segera kutuangkan jus jeruk dingin untuknya. Tak lama kemudian dia sudah kembali bermain bersama Akhtar, Vanno, Namira, dan Epin.

"Kamu nggak mau ngasih adik buat Akhtar?"

Delvian kini menatapku penuh arti. Tetapi, segera saja kucubit pinggangnya sampai dia mengaduh kesakitan. Akhtar sekarang sudah empat tahun, memang sudah saatnya untuk kami menambah anggota keluarga baru.

Aku hanya mengedipkan mata pada suamiku itu. Gelak tawanya kini terdengar karena melihat kelakuanku. "Jadi kamu mau?"

"Nanti sayang," bisikku pelan.

Kami pun kembali memperhatikan bocah-bocah menggemaskan di depan. Zhafran, Namira, dan si kembar memang dititipkan di rumah kami karena keluarga besar Auriga sedang ada acara. Aku juga sebenarnya juga diundang, namun aku dan Delvian lebih memilih mengurus anak-anak lucu itu.

Aku sangat bersyukur hidupku dipenuhi kebahagian seperti sekarang. Kesalahpahaman antara aku dan Delvian beberapa tahun lalu pun sudah kami selesaikan dengan baik. Dia bisa memaklumi kalau aku saat itu hanya mengalami ketakutan yang lazim dirasakan oleh calon pengantin menjelang pernikahan.



Kita terkadang tidak pernah menyadari kalau waktu tiba-tiba berjalan dengan sangat cepat. Lalu begitu banyak hal yang kita tinggalkan di belakang. Ada yang masih kita ingat, namun ada pula yang telah kita lupakan. Seiring berjalannya waktu, waktu mengajarkan kita banyak hal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 03, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Without HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang