Without Heart 16

25.1K 2K 83
                                    

Aku update lagi yeay!  



Delvian

Rasa-rasanya kewarasanku sudah berkurang banyak sekali sejak mengenal Diva. Banyak hal yang tidak bisa kukontrol seperti biasa. Aku sudah dua kali mencium Diva hari ini. Jangan tanya kenapa aku melakukannya karena aku juga tidak tahu. Aku hanya mengikuti apa yang disuarakan oleh pikiranku. Ada yang tidak beres dengan otakku setiap kali melihat bibir merah muda milik Diva itu. Selalu saja suara 'cium-cium-cium' yang bergema dalam pikiranku. Membuatku tidak tahan dan langsung mengecup bibir itu. Tidak hanya mengecup kurasa-mengingat kelakuanku barusan.

Dulu hal ini hanya terjadi sekali pada Livia. Dan kali ini pada Diva. Apa artinya aku benar-benar sudah jatuh cinta padanya? Mungkin saja. Meskipun masih saja ada bagian hatiku yang masih ragu.

Pesta ulang tahun Livia masih beberapa jam lagi. Sebaiknya aku menjauh dari Diva sebelum aku khilaf dan melakukan hal yang lebih gila lagi. Kurasa aku harus memeriksakan otakku ke dokter setelah ini. Lebih baik aku bersiap-siap saja untuk menghilangkan kegilaan dalam otakku. Aku tidak sabar menunggu malam dan bertemu dengan Diva.



Pesta sudah usai, tapi sepertinya ada yang tidak beres disini. Diva menghindariku sejak semalam. Usai pesta aku tidak menemukan Diva di mana-mana. Padahal masih banyak anggota keluarga yang bercengkrama di halaman belakang. Saat aku ke kamarnya pun, lampu kamarnya sudah mati. Jadi kusimpulkan bahwa Diva sudah tidur.

Keesokan harinya, kami bertemu di meja makan saat sarapan. Tetapi apa yang kudapat, Diva bahkan terlihat enggan menatapku. Ada apa sebenarnya?

Satu kali, aku masih mencoba menahan sabar. Dua kali, aku juga masih bisa sabar. Dan ketiga kali, sekarang ini. Aku sudah tidak bisa menahan diri lagi.

"Aku nggak mau pulang sama kamu!" teriaknya kencang.

"Kenapa?"

"Pokoknya nggak mau!" Gadis di depanku berteriak sekali lagi. "Aku mau pulang sama Mas Tom aja."

"Tapi mobil Mas Tom udah penuh. Lagipula kamu berangkat sama aku. Jadi pulang juga harus sama aku." Kutarik tangan gadis itu dan memaksanya masuk ke mobil. Persetan dengan tatapan ingin tahu anggota keluarga yang sedang menonton aksi konyol kami saat ini.

Usai memasangkan seatbelt, aku menyalakan mesin mobil dan melaju di jalan menuju Jakarta. Aku melirik gadis di sebelahku yang sekarang berubah pendiam setelah tadi berteriak-teriak. Dia hanya menatap ke jendela. Memangnya pemandangan di luar jendela lebih menarik daripada aku?

Aku bukannya tidak peka untuk tahu bahwa Diva sedang marah padaku. Tetapi kenapa? Apa salahku? Kemarin sikapnya masih manis. Membingungkan.

Aku menoleh sekali lagi ke arah gadis di sebelahku, napasnya terdengar teratur. Dia tertidur rupanya. Wajah cantiknya yang polos lebih enak dilihat daripada wajah galaknya yang tidak bersahabat sejak tadi. Aku kembali fokus pada jalanan di depanku yang sekarang sudah agak ramai.

Aku mematikan mesin mobil tepat di depan rumah Diva. Gadis itu masih belum bangun juga. Aku mengguncang bahunya pelan. "Diva, bangun, sudah sampai."

Dia menggeliat lalu membuka mata dan menatapku dengan bingung.

"Sudah sampai di depan rumahmu," ucapku sekali lagi.

Diva menegakkan punggungnya dan melepas seatbelt. "Oh. Makasih udah nganterin aku pulang," balasanya datar.

Aku meraih tangannya saat dia akan membuka pintu mobil. "Kamu kenapa sih? Salahku apa?"

Diva menatapku sekilas lalu mendengus. "Menurut kamu?"

Kenapa gadis-gadis suka sekali bertanya balik? Membuat kepala mau pecah. "Aku tidak tahu makanya aku bertanya, Diva!"

"Nggak tahu ya? Pikir aja sendiri!"

Ya Tuhan, ada apa sebenarnya dengan gadis ini? Apa dia sedang PMS makanya emosinya meledak-ledak? Kugenggam tangan Diva dengan erat lalu kutatap matanya. "Diva, please. Tell me!" bisikku putus asa.

"Delvian, kamu bilang mau mencoba hubungan ini bersamaku, kan?"

Aku mengangguk.

"Aku rasa hubungan ini tidak akan berhasil."

"Maksudmu?"

"Kita akhiri saja pertunangan ini."

"Tidak!"

"Kamu tahu, rasanya sakit sekali melihat kamu bisa tertawa lepas saat bersama Livia. Kamu nggak pernah kayak gitu sama aku. Sekeras apa pun aku mencoba, es di hatimu sulit untuk dicairkan. Aku nggak akan bisa masuk ke hatimu jika masih ada orang lain di sana. Jadi kurasa, sampai di sini saja hubungan kita."

Aku terdiam mendengar ucapan Diva. Rasanya ada yang hilang dari hatiku. Hilang, menyisakan kekosongan lalu rasa sakit. Teramat sakit sampai-sampai aku tidak berusaha mengejar Diva saat dia terburu-buru keluar dari mobilku sambil terisak. Aku mencoba memikirkan ucapannya barusan.

"Kita akhiri saja."

Diva sempat menyebut nama Livia. Aku mengingat-ingat kapan aku tertawa bersama Livia. Ah, tadi malam. Malam tadi saat pesta ulang tahun Livia, aku menghampirinya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Bukankah hal biasa jika aku mengecup pipi adik iparku sendiri? Semalam kami tertawa bersama karena tingkah baby Zhafran yang sangat lucu. Dalam pikiranku bahkan sempat terlintas 'apakah nanti anakku dan Diva akan selucu Zhafran?' Mana kutahu jika Diva semalam melihat kami lalu salah paham.

Demi Tuhan, aku tidak ingin pertunangan kami berakhir. Apalagi aku sudah mulai merasakan cinta pada Diva. Mana mungkin aku melepasnya. Tidak mungkin!



Diva

Aku bangun pagi dengan kepala pusing luar biasa akibat menangis semalaman. Setelah Delvian mengantarku, aku langsung masuk ke kamar dan menghabiskan malamku dengan menumpahkan air mata. Rasanya begitu sakit melihat Delvian diam saja saat aku mengutarakan ingin memutuskan pertunangan kami. Dia bahkan nggak berusaha mengejarku. Sikapnya seakan-akan membenarkan suara-suara yang mampir dalam otakku bahwa Delvian memang tidak mencintaiku.

Jadi semalam, aku sudah memutuskan. Aku akan pergi. Menjauh dari Delvian. Mencoba menghapus rasa cintaku yang bertepuk sebelah tangan.

Aku bergegas mandi dan bersiap-siap. Aku sudah tahu akan ke mana. Tempat di mana Delvian tidak akan menemukanku. Lagipula mana mungkin Delvian akan mencariku? Aku kan nggak berarti apa-apa untuknya.

Setelah memastikan semua barang bawaanku beres, aku langsung keluar rumah. Aku sudah memesan taksi tadi. Sampai di luar rumah, taksi yang kupesan belum datang. Yang ada malah mobil hitam—entah milik siapa yang terparkir di depan rumahku. Karena penasaran, kuhampiri mobil itu. Sebelum aku mengetuk kaca mobil, sang pemilik sudah membuka pintu lebih dulu.

Aku tidak sempat melihat wajahnya karena tiba-tiba ada yang membekap hidungku. Lalu semuanya gelap. 



Sampai ketemu lagi :)

Without HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang