Diva
Ini sudah hari kelima aku dan Delvian di Samarinda. Pekerjaan kami setiap hari hanyalah bolak-balik ke lokasi penambangan lalu rapat dengan pejabat setempat untuk mengurus izin. Lalu bertemu dengan para pekerja dan staf lainnya. Sungguh membosankan. Kulitku saja sudah menggelap selama lima hari disini. Cuaca yang sangat panas benar-benar menyiksa.
"Udah siap?"
Aku mengangguk sambil menunjuk k earah tas ransel yang sudah penuh terisi dengan barang-barang perlengkapan kami berdua. Hari ini Delvian bilang akan mengajakku jalan-jalan. Tentu saja aku semangat. Jauh-jauh ke Samarinda, masa aku hanya melihat lokasi tambang saja? Kan nggsk asyik. Jadi begitu Delvian mengajakku jalan-jalan, aku langsung semangat empat lima.
"Ya udah, ayo." Delvian membantuku membawa ransel sedang aku hanya membawa tasku sendiri. Begitu kami masuk, mobil pun melaju kencang di jalanan Samarinda.
"Kita mau kemana sih?" tanyaku penasaran.
"Telaga Permai Batu Besaung," jawab Delvian singkat.
"Jauh?" tanyaku lagi.
"Sekitar 15 km dari sini."
Aku berhenti bertanya. Karena bosan akhirnya aku memutuskan memperhatikan jalanan lewat jendela mobil disampingku. Jalanan yang kami lalui cukup mulus berbeda dengan jalanan saat kami keluar dari bandara. Sepanjang jalan juga disajikan keindahan alam dengan pepohonan yang berjejer rapi. Ada juga beberapa villa yang ditambah dengan satu rumah kapal. Lagi-lagi bangunan itu dikelilingi oleh hijaunya pesona hutan Kalimatan.
Mobil berhenti di lahan parkir yang dekat dengan komplek taman serta gedung utama yang katanya milik pengelola. Aku mengikuti Delvian turun dari mobil. Delvian dan sopir yang membawa kami kesini terlihat berbicara dengan seseorang untuk menitipkan mobil. Setelahnya aku membiarkan Delvian menggandeng tanganku. Lagi pula, aku kan nggak tahu tempat ini.
❤
Delvian
Gadis yang tangannya tengah kugandeng ini tidak henti-hentinya bertanya ke mana aku akan membawanya. Aku sendiri sengaja memilih diam supaya dia semakin penasaran. Aku kemudian berhenti di dekat sebuah telaga. Gadis itu menubrukku hingga aku nyaris kehilangan keseimbangan.
"Diva...." desahku, kesal pada gadis itu.
"Kamu sih berentinya dadakan, kan aku kaget," ucapnya tak mau kalah.
Diva melepaskan tangannya dari genggamanku kemudian berjalan di depanku.
"Wah ada air terjun," ucapnya semringah sambil turun ke telaga yang berada di bawah air terjun itu setelah melepas sepatu yang dipakainya. Aku hanya menggelengkan kepala melihat gadis yang asyik main air sendirian itu. Wajahnya yang biasanya serius saat bekerja, kini berganti dengan wajah ceria seperti anak gadis pada umumnya.
Aku duduk di bawah pohon sambil memperhatikan gadis itu. Entah kenapa mataku tidak mau memandang ke arah lain. Mataku selalu ingin menatap ke arahnya. Memperhatikan senyum yang tak lepas dari bibir merahnya. Bibir yang pernah kukecup untuk menggodanya. Aku ingin mengecup bibir itu lagi.
Gadis itu melambaikan tangan ke arahku, memberi isyarat agar aku bergabung dengannya. Tapi aku hanya menggeleng. Tidak mau menyerah, gadis itu melangkah keluar dari air dan berjalan ke arahku.
"Ayo main air," ucapnya sambil menarik tanganku agar berdiri.
"Kamu saja, aku malas."
"Oh ayolah, kamu sendiri yang ngajak aku ke sini, masa cuma duduk aja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Heart
RomanceBagaimana aku bisa bahagia jika gadis yang kucintai bertahun-tahun akhirnya resmi jadi adik iparku? -Delvian Gaza Anggara- (Prolog & Part 1 diprivate)