Diva
Aku sudah siap sejak jam enam pagi. Ini hari minggu dan biasanya aku akan menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan. Tetapi nggak bisa untuk kali ini karena semalam Delvian menghubungiku dan mengajakku untuk pergi bersama ke Puncak-merayakan ulang tahun Livia—sepupuku. Aku sendiri nggak mungkin menolak karena selain Livia adalah sepupuku, momen ini sekaligus acara kumpul keluarga yang jarang terjadi karena kesibukan masng-masing. Nggak mungkin aku melewatkan hal penting seperti ini.
Aku segera membuka pintu saat mendengar suara mobil masuk ke halaman rumahku. Bersamaan dengan itu, Delvian keluar dari mobil. Mengenakan polo shirt merah dan celana jeans pensil berwarna hitam ditambah dengan converse berwarna senada dengan celananya. Satu kata untuk Delvian. Ganteng. Kalau dua kata, jadinya ganteng banget.
Ini benar-benar pemandangan langka yang seharusnya diabadikan. Kapan lagi bisa melihat Delvian dengan setelan tidak resmi kayak ini? Biasanya kan tubuh tegap Delvian selalu dibalut dengan setelah Armani. Ganteng juga sih, tapi agak kaku.
"Menikmati pemandangan, hmm?"
Ih, kelakuan bodohku tertangkap basah. Senyum manis tercetak di bibir sexy itu, membuatku semakin ingin.... Argh. Sudahlah. Berhenti mengkhayalkan hal bodoh, Diva!
"Sudah siap?"
Aku mengangguk sambil menunjukkan tas yang kubawa. Aku mengunci pintu rumah dengan cepat lalu berjalan menuju mobil Delvian.
Delvian dengan sigap membukakan pintu mobil untukku. Saat aku akan masuk ke mobil, Delvian menahan lenganku. Aku menoleh dan sesuatu yang kenyal dengan cepat menyentuh bibirku. Ya Tuhan!
"Masuklah."
Nggak ada acara bengong akibat ciuman kilat itu meski aku pengin. Situasi nggak memungkinkan. Buru-buru aku masuk ke mobil. Aku yakin pipiku pasti merah banget. Tapi, seriusan itu tadi Delvian menciumku? Oh em ji. Sepertinya jantungku akan meledak sebentar lagi.
Tak lama kemudian terdengar suara pintu mobil tertutup di sisi pengemudi. Sekilas kuperhatikan wajah santai Delvian yang sedang mengemudikan mobil keluar dari halaman rumahku. Bisa-bisanya dia tetap stay cool setelah menciumku barusan, sementara aku gugup setengah mati.
Nggak mau kelihatan salah tingkah, aku membuang pandangan ke luar mobil yang sebenarnya nggak menarik. Lebih menari Delvian soalnya. Jalanan padat merayap dipenuhi kendaraan pribadi yang juga ingin pergi berlibur. Maklum saja, ini Jakarta. Hanya weekend-lah waktu untuk refreshing dan menyembuhkan otak yang sakit setelah bekerja keras. Jika boleh jujur, aku bosan tinggal di Jakarta. Keinginanku, suatu hari bisa tinggal di sebuah tempat yang tenang, jauh dari hiruk pikuk Jakarta bersama orang yang kucintai. Pria di sebelahku? Mungkinkah?
"Diva? Wake up!"
Aku menyipitkan mata yang sebelumnya tertutup begitu menyadari ada gerakan yang menyentuh bahuku pelan. Aku tertidur rupanya. Aku langsung tersadar bahwa mesin mobil juga sudah mati. Sudah sampaikah kami? Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya satu hal yang terpikirkan dalam otakku begitu melihat pemandangan yan tersaji di depan mataku: kami sudah sampai di Puncak.
"Ayo turun."
Aku menoleh. Suara Delvian membuyarkan pikiranku. Tanpa sadar aku mengangguk. Dia sudah melepas sabuk pengaman dan bersiap turun. Aku mengikuti pergerakannya dan turun dari mobil.
Sepertinya aku dan Delvian agak terlambat datang melihat lima buah mobil berjejer rapi di halaman villa keluarga ini. Aku melirik sekilas mobil-mobil itu untuk mengenali pemiliknya. Livia, Zaroca, Arya, Mas Tom, dan Papaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Heart
RomanceBagaimana aku bisa bahagia jika gadis yang kucintai bertahun-tahun akhirnya resmi jadi adik iparku? -Delvian Gaza Anggara- (Prolog & Part 1 diprivate)