Without ❤ 2

48.2K 2.2K 26
                                    


Setelah insiden tidak mengenakan kemarin malam, paginya aku terbangun di ruang kerja yang berantakan. Aku tertidur di kursi dengan posisi duduk setelah puas mengamuk. Kertas-kertas bertebaran bahkan barang pecah belah juga ada di lantai.

Aku melangkah hati-hati keluar dari ruang kerjaku. Jangan heran jika kedua orang tuaku tidak peduli dengan suara-suara barang pecah dari ruang kerjaku semalam, karena itu sudah biasa terjadi. Sejak aku dan Lerian kecil, kami sudah terbiasa ditinggal oleh orang tua kami. Mereka selalu pergi dan sibuk dengan bisnisnya. Yang mengasuh kami tentu saja asisten-asisten yang digaji kedua orang tuaku. Jangan salahkan kami, jika akhirnya aku dan Lerian tumbuh menjadi pribadi yang dingin, nakal, arogan, dan tidak penurut.

Lulus SMA aku mengikuti Zaroca melanjutkan kuliah ke Jerman. Itu satu-satunya cara agar aku bisa melarikan diri sejenak dari keluargaku. Itu pun jika kami bisa dikatakan sebagai keluarga. Aku sedikit terkejut ketika tahu bahwa Livia dan Lerian awalnya dijodohkan. Ternyata adikku mau juga menuruti kemauan gila orang tuaku. Tetapi jika wanitanya adalah Livia, siapa bisa menolak. Kenyataannya kami mencintai wanita yang sama. Sayangnya wanita itu memilih adikku. Membuat hatiku luluh lantak.

Sudah cukup bernostalgia. Aku masih punya pekerjaan yang menungguku. Lebih baik aku mandi. Keluar dari kamar mandi aku berpakaian dengan cepat. Aku ingat jika ada rapat penting di kantor. Aku bisa dicekik Zaroca jika terlambat ke kantor. Bagaimana pun juga di kantor yang aku, Zaroca, dan Andien bangun bersama sejak di Jerman, posisiku adalah bawahan Zaroca. Berbeda jika aku berada di perusahaan milik keluargaku sendiri. Aku bisa memerintah siapa pun yang aku mau.

Pukul delapan lebih sebelas menit aku baru tiba di kantor. Zaroca dan Andien sudah menunggu di depan lobi kantor sambil menyilangkan tangan mereka masing-masing. Aku merasa sedikit terhormat karena disambut mereka berdua. Padahal mereka berdua menatapku dengan tatapan paling bengis. Kurasa sebentar lagi tanduk mereka akan keluar. Aku terkekeh geli melihat tingkah mereka berdua.

"Bagus, udah terlambat bukannya merasa bersalah malah ketawa sendiri. Jam berapa sekarang, Delvian?" Andien berteriak kesal padaku.

"Maafkan aku, tolong buang jauh-jauh wajah jelek kalian itu. Tidak enak dilihat," godaku pada mereka. Hanya pada Andien dan Zaroca-lah aku bisa menunjukkan sikap hangat. Mungkin karena aku nyaman dengan bersahabat dengan mereka.

"Kalian berdua berhenti berbicara. Kita sudah ditunggu staf lain di ruang rapat."

Zaroca melangkah seorang diri menuju lift meninggalkanku dan Andien. Kemudian Andien berlari menyusul dan menggandeng tangan Zaroca. Aku menyusul mereka dari belakang.

Saat masuk ke ruang rapat, staf-staf lain seperti kepala PR, pemasaran, keuangan, dan lain-lain sudah duduk di kursinya masing-masing. Mereka berhenti berbicara ketika kami bertiga masuk. Rapat pun dibuka oleh Zaroca. Masing-masing kepala staf memberikan laporan kepada bos. Tidak sampai satu jam rapat kami sudah selesai.

"Zaroca, aku keluar kantor sebentar. Aku harus menemui Lerian."

"Soal Livia?" tanya Zaroca heran.

"Bukan. Ini soal perusahaan kami."

"Ya sudah, tapi kembalilah sebelum makan siang. Kita ada meeting penting setelah makan siang." Suaranya tegas, like a boss. Tapi memang dia sih bosnya.

Kami bertiga keluar bersamaan dari ruang rapat. Andien dan Zaroca menuju ruangan masing-masing sedangkan aku turun ke lantai dasar.

Aku melajukan mobil menuju kantor Lerian melewati jalanan Jakarta yang sedikit lengang.

Without HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang