Troublemaker

1.8K 63 0
                                    

Di sudut paling belakang ruang kelas, nampak seorang gadis berpenampilan layaknya seorang rocker, sedang uring-uringan bosan di bangku kebanggaannya. Choker di leher putihnya, make up yang tidak begitu tebal namun gadis itu tetap terlihat cantik dengan gaya khasnya seperti anak berandalan. Gadis itu memasang tindik di sisi kiri bibir dan juga di bagian kiri hidungnya. Eyeshadow hitam yang dia kenakan, mempertegas warna iris biru laut miliknya. Lekukan tajam matanya, seakan selalu mengintimidasi lawan bicaranya.

Gadis itu meluruskan tangan di atas meja sebagai alas dagunya sambil menatap sekitar bosan. Banyak anak-anak yang berkelompok, dari anak-anak nerdy, gadis-gadis hitz cheerleader, dan pria-pria yang tidak dia tahu komplotan apa itu? Tetapi itu lebih baik dari pada dirinya, yang selalu sendiri karena tidak ada yang ingin berteman dengannya. Yah.. sebab sudah dicap sebagai siswi bermasalah dan pembuat onar oleh setiap guru. Tidak jarang pula dirinya kena skorsing lantaran ketahuan merokok di lingkungan sekolah dan asrama.

Ujung rambut merah miliknya menjuntai di atas meja, lantaran panjang rambutnya hanya sebatas bahu yang kadang dia biarkan sedikit berantakan karena malas menyisirnya.

Tak sengaja matanya menangkap sosok pria bermata biru seperti iris miliknya masuk ke ruang kelas, ahh.. menatap iris teduh itu membuatnya ikut merasakan ketenangan dan kenyamanan hidup yang sama. Walau hanya di dalam imajinasi gadis rock and roll itu saja. Dalam diam dia menertawakan dirinya sendiri. Kenyataannya, kehidupan yang ia alami berbanding terbalik dari itu semua. Keluarganya hancur, orang tuanya bercerai, masa depan? Dia tidak yakin.

Bahkan gadis itu pernah di perkosa saat berusia 14 tahun, karena ingin menyelamatkan sahabatnya yang dijual oleh ibunya sendiri. Tapi, yah.. dia terlambat, sahabatnya itu sudah menghilang seperti di telan bumi saat dia menyadari dirinya sudah tidak berbusana di pinggiran sungai rainvil ketika malam musim dingin.

"Ini bayaran semalam, thanks." Ucap pria yang menaruh 20 dolar di atas meja Claire, sambil mengedipkan satu mata menggoda.

Claire McGraw, gadis berkebangsaan Amerika yang melakukan apa saja yang dia inginkan tanpa ada orang yang dapat mengekang hidupnya, demi kebebasan. Anak perempuan yang jarang atau bahkan tidak pernah mendapat perhatian dari orang tua semenjak kata perceraian menghasi bingkai hidupnya sekitar 2 tahun yang lalu. Kini gadis itu berusia 16 tahun. Umur ke 14 kemarin adalah masa-masa sulit untuknya, orang tua bercerai, sahabat yang sering dia berbagi cerita mengenai pertengkaran yang selalu mengisi malam kelamnya pun telah pergi meninggalkannya bersamaan dengan buih-buih jati diri yang mulai terbentuk tak karuan.

Claire menegakkan badan, "Luke!" Panggilnya menggerakkan telunjuk mengisyaratkan agar pria bernama Luke itu lebih mendekat. "Nanti malam, temui aku di depan pintu kamar asramaku."

Pria itu tersenyum senang "Kau ingin keluar malam lagi?"

"Tidak, tapi lihat saja nanti,"

"Baiklah, sampai jumpa cantik." Tutur Luke keluar dari kelas, lantaran itu memang bukanlah kelasnya.

Matanya kemudian beralih ke teman-temannya yang masih asik dengan gosip-gosip dan kegiatan mereka. Serta, ada juga cewek-cewek yang menatapnya dengan pandangan tidak suka. Claire mengacuhkan itu. Dia mengeluarkan ponsel dan memainkannya. Dia membuka portal Instagram di sekolahnya, mencari-cari info tentang dirinya. Setiap hari pasti ada saja berita tidak mengenakan atau gosip miring tentangnya. Seperti foto yang dia lihat sekarang, foto yang menampakkan angel saat dirinya ketahuan berciuman dengan seorang siswa dari kelas lain di lorong menuju aula basket. Claire memutar kedua bola matanya, Mengapa orang-orang senang mengurusi hidup orang lain? Menyebalkan.

"Hei Claire," sapa anak cowok beriris biru. Tatapan mata itu selalu memancarkan kehangatan saat berbicara dengan lawan bicaranya.

Claire mendongak, ia merasa aura di sekitar cowok itu mengalirkan energi positif. Membuat rasa dongkol tadi berganti dengan ketenangan.

Perempuan itu tidak membalas, dia segan. "Tugas kelompok kemarin, aku dengar kau belum mempunyai partner. Apa kau mau sekelompok denganku?"

Tidak ada penolakan atau persetujuan, dia mengernyit. Tumben pria terpintar di kelas ini tidak mempunyai teman untuk mengerjakan tugas kelompok. Dia mem-flashback hari kemarin. Ah.. kemarin cowok itu tidak masuk kelas. Dan apa penyebabnya dia tidak tahu. "Terserah," sebenarnya Claire tidak ingin mengerjakan tugas dari guru killer itu jika saja pria ini tidak mengajaknya.

"Baiklah, terima kasih Claire. Setelah pulangan ini aku akan ke asramamu membawa peralatan-peralatan yang di butuhkan untuk membuat proyek ilmiah kita."

*

Claire mengembuskan napas berat, dilihatnya kamarnya yang berantakan. Kaset-kaset musik, pakaian kotor, laptop tergeletak di atas tempat tidur, seprainya pun sudah terlepas tidak karuan. Dua gelas kopi bekas semalam masih ada di atas nakas dekat speaker miliknya. "Ah.. sial!" Claire mengangkat celana dalam pria yang semalam ada di kamarnya dengan dua jari, telunjuk dan jempolnya dengan jijik.

Dimasukkannya barang-barang milik pria itu dalam kantong plastik dan menyisihkan berbeda dengan barang-barang miliknya.

Setelah dirasa cukup bersih dan lenggang dia merebahkan tubuh di atas tempat tidur lelah. Matanya menatap foto-foto di dinding yang berhiaskan lampu tumblr putih menjuntai dari satu foto ke foto lain. Ternyata aku pernah memlewati masa-masa bahagia. Senyum gadis itu getir. Diperhatikannya foto dirinya bersama sahabat lamanya Stella. Di foto itu tampak rambut pirang alaminya, dengan senyum tulus sambil merangkul gadis di sampingnya.

TOK TOK terdengar suara ketukan pintu dari luar. Claire bergegas membukanya. "Hei Claire," sapa pria itu ramah melihat sang pemilik kamar.

"Masuklah.." Claire membuka celah pintunya lebar-lebar lalu menutupnya lagi setelah pria itu masuk.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" Tanya Claire saat cowok itu meletakkan tas ranselnya di samping tempat tidur.

"Bagaimana jika kita bagi tugas? Kau yang mencatat hasil laporannya dan aku yang melakukan percobaan pada cairan-cairan ini."

"Tidak masalah," Claire mengamati pria itu mengeluarkan tabung-tabung plastik dan beberapa cairan berwarna merah, hijau dan satu tabung panjang berisi dry ice dari dalam tasnya.

Cowok itu memerhatikan cairan hijau yang ada di dalam tabung, lalu sedikit demi sedikit dia masukan benda padat berwarna putih itu. Saat Vanadium III bercampur dengan dry ice sedikit banyak cairan itu bereaksi, busa-busa mulai menyeruak ke atas, hingga keluar mengenai tangannya dan tumpah ke ambal kecil di lantai kamar Claire. Keduanya panik, terutama Claire. "Harvey! Tanganmu! Tanganmu! Cepat turunkan benda itu!" Claire mengambil kain yang ada di dekatnya. Dengan kekalutan yang hebat perempuan itu langsung membungkus tangan lelaki bernama Harvey itu dengan kain di tangannya.

Pria itu hampir tergelak melihat reaksi Claire, baru sekali dia melihat gadis itu panik. "Itu cairan tidak berbahaya, kini yang lebih aku khawatirkan adalah ambalmu yang kotor." Tuturnya membuka kain dari tangannya.

"Apa maksudmu?"

"Kau lihat?" Harvey menunjukan tangannya yang baik-baik saja. "Aku turut menyesal, seharusnya kita melakukannya di laboratorium bukan di kamarmu."

"Bukan masalah, aku bisa membersihkannya nanti."

"Setelah kita menyelesaikan ini, aku akan membantumu membersihkannya."

*

#To Be Continued
Ulqquiora 🌹

You're (Not) Alone END√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang