"H-hei Claire," sapa seseorang di depan pintu kamarnya.
Claire membelalakkan matanya tidak mengerti. Pagi-pagi buta begini, mau apa Harvey ke tempatnya? "Damn you. Masuklah, aku akan ke kamar mandi sebentar." Claire mengambil handuk dan peralatan mandinya di dalam lemari. Lalu hengkang begitu saja.
Setelah kembali ke kamarnya, Claire mengganti pakaian tidur dengan pakaian sehari-hari ketika akan keluar asrama.
"Wait! Wait! Wait!" Pekik Harvey, saat Claire sudah akan membuka pakaian tidur yang ia kenakan tanpa ingin mempedulikan kehadiran pria itu di sana.
"What?" Gadis itu mendelik.
"A-aku akan t-tunggu di luar," ucapnya gagap.
Gadis itu memutar kedua bola matanya jengah dan kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda, membuka pakaian tanpa menunggu protes dari Harvey. "Apa kau tidak pernah melihat tubuh seorang wanita?" Tanya Claire enteng.
Tanpa berniat menjawab, Harvey langsung menolehkan kepalanya ke arah yang berlawanan. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Sungguh, perempuan ini benar-benar!
Claire terkekeh pelan, dia tidak percaya jika masih ada model pria macam Harvey di dunia ini. "Kau takut pada wanita?" Tebaknya.
"Apa maksudmu?" Balas Harvey tanpa menoleh.
"Oh.. berarti kau menyukai sesama jenis?"
"Claire, aku tidak ingin membahas hal itu padamu."
Kini Claire telah selesai memakai semua pakaiannya. Kaos polos putih berlengan pendek yang dibalut dengan jaket crop hitam berbahan kulit. Lalu dipadukan dengan legging hitam dengan rok pendek, serta sepatu bot hitam semata kaki.
"Jadi, apa yang membawamu datang kemari?" Tanya Claire duduk di kursi belajarnya sambil menyilangkan kaki dan tangannya di depan dada.
"A-" jeda beberapa detik "t-tidak," dia mengurungkan niat untuk memberitahukan apa yang dia lihat semalam. Harvey tidak ingin perempuan itu dapat masalah karena dirinya. Tapi sungguh, bagaimana cara agar dia bisa menyimpan rahasia itu sendiri? Mampukah dia baik-baik saja setelah mengetahui aksi berdarah tadi malam? Dia tidak yakin.
Claire mengernyit saat tak juga mendengar jawaban, "jadi... Kau kesini untuk bersenang-senang bersamaku?" Goda gadis itu.
Lalu berjalan perlahan ke arah Harvey yang duduk di tempat tidur. "Kau bisa membayarku sesuai yang kau mau," Bisik Claire tepat di samping telinga Harvey.
"Claire," lagi-lagi jantung lelaki itu tidak dapat tenang jika bersama gadis di depannya ini.
"Ayolah, semua orang juga tahu kau belum pernah melakukan itu. Jika kau mau aku bisa mengajarimu." Tuturnya pelan sambil meniup telinga Harvey lembut.
"Aku tidak punya uang,"
"Tidak masalah, kau bisa membayarku kapan saja." Jari lentik Claire sudah meraih kancing kemeja Harvey, berniat membukanya.
"Tidak, aku tidak ingin melakukannya denganmu." Tolak Harvey menahan tangan Claire dari bajunya.
Claire mematung sesaat. Kemudian tergelak. "Tentu saja, kau tahu, aku mempunyai selera humor yang buruk." Claire mundur dan kembali ke kursinya.
"Claire, aku tidak bermaksud-"
"Ya, ya, ya, aku tahu kau tidak akan menyukai gadis penuh masalah sepertiku. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan? Jika tidak ada urusan lagi kau bisa keluar sekarang."
"Claire,"
"Pergi Harvey." Usir wanita itu.
"Apa kau tahu mengapa aku tidak ingin melakukan hal sia-sia itu denganmu? Karena aku tidak ingin menjadikan kau pembunuh atau penelantar bayi Claire." Harvey menelisik wajah perempuan itu yang terlihat acuh.
"Aku bisa berbicara seperti itu, karena aku hasil salah satu dari mereka yang di buang dan dititipkan di panti asuhan. Walau aku tidak bisa menghapus hal itu, setidaknya aku ingin menguranginya."
DHEG Claire menatap mata pria itu. Tatapan teduh yang selalu membuatnya kadang hilang di telan bayang semu aurora.
Keduanya terdiam cukup lama, hingga Harvey berjalan menghampiri perempuan yang duduk di kursi belajar lalu berlutut menggenggam tangan wanita itu lembut. "Aku tidak tahu apa yang membuatku menyukaimu. Cara bicara, sifatmu, bahkan penampilanmu sama sekali bukanlah tipeku. Tapi aku tidak tahu, aku merasa bodoh. Namun, aku menyukainya."
Claire mengedipkan matanya dua kali berturut-turut. "A-aku tidak mengerti."
"Akupun tidak mengerti bagaimana cara membuatmu mengerti," Pria itu menarik tangan Claire untuk menuntunnya ke luar kamar. "Kita akan bolos hari ini!"
Lagi-lagi Claire dibuat tercengang, Harvey! Anak paling jenius dan terajin di kelas mengajaknya bolos?! "Kau yakin?" Claire menautkan kedua alis.
Namun hanya di balas dengan senyuman menawan dari pemuda yang menggengam tangannya. Menuntun Claire agar terus mengikuti langkahnya dari belakang.
Sampai di Central Park yang berada di tengah pusat kota New York, mereka duduk di bangku panjang dekat air mancur. "Bagaimana perasaanmu?" Tanya Claire mengangkat kedua alisnya. Dia yakin pasti Harvey ada merasakan hal yang berbeda.
"Sedikit aneh mungkin," jawabnya mengangkat kedua bahu. Ini pertama kali ia melenceng dari jadwal harian yang ia buat sedemikian rupa sempurna. Jadwal yang mengedepan sesuatu yang sifatnya menjurus ke masa depan. "Sebentar," Harvey bangkit dan menghadap kawah air mancur yang berbentuk bulat besar di depannya seraya mengeluarkan uang koin.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Claire melihat lelaki itu.
"Tidak ada,"
"Berharap pada air mancur." Tebak Claire enteng melihat ke arah orang tua yang memberikan uang koin ke anak gadis mereka, yang kemudian anak itu lemparkan ke dalam kawah lalu memejamkan mata, seraya memanjatkan harapan.
Claire bukan termasuk orang yang akan melakukan hal percuma semacam itu. Selama ini dia berasumsi bahwa dia sendirilah yang menentukan jalan hidupnya bukan orang lain, bahkan bukan pada uang koin yang dilemparkan ke dalam kolam air mancur. Sungguh menggelikan.
"Ini hanya menyangkut keyakinan," Harvey melempar uang koin tadi ke kawah paling atas. Lalu melakukan gerakan yang sama seperti anak gadis tadi lakukan.
Jika sudah mendapat jawaban seperti itu, Claire bisa apa? Lantas ia pun hanya menutup rapat mulutnya enggan menanggapi. Hingga Harvey benar-benar kembali duduk di sampingnya.
"Apa yang kau minta?" Tanyanya tidak benar-benar tertarik mengetahui. Terlihat sekali, ketika ia enggan menatap mata orang yang dia tanyai.
"Kau," hal sebaliknya yang pria itu lakukan, dia menatap wajah cuek wanita itu intens.
Claire mengernyit tidak mengerti, seraya langsung menoleh "Maksudmu?"
"Seharian ini, aku ingin agar bisa menghabiskan waktu bersamamu lebih lama."
"Ternyata selain pintar dalam pelajaran, kau juga pintar dalam merayu seorang perempuan." Ledek Claire. "Tapi itu tidak terpengaruh padaku."
"Apa kau yakin?" Tangan Harvey terulur ke pipi gadis itu lembut. Sedang Claire meneguk salivanya susah payah.
"Hentikan Harvey, jangan membuatku berharap."
Harvey menarik kembali tangannya, lalu terdiam. Ini bukanlah bagian dari dirinya. Mengapa saat bersama gadis itu, seolah dia tidak menjadi dirinya sendiri? Ia merasa gila dan tak terkendali.
"Apakah tawaran tadi pagi masih berlaku?"
Lagi-lagi Claire dibuat mengernyit. "Tawaran apa?"
"Kau akan melakukan apa yang aku inginkan, jika aku membayarmu-"
"Tentu saja, apa sekarang kau menginginkanku?" Claire mengangkat satu alisnya angkuh lagi percaya diri.
"I-iya,"
Sebuah senyuman terbit dari bibirnya. "Tapi aku ingatkan satu hal, aku tidak ingin memiliki ikatan apapun dengan orang yang membayarku."
Harvey terdiam beberapa saat, lalu mengangguk kaku.
"Fine," tutur Claire.
To be Continued
Ulqquiora 🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
You're (Not) Alone END√
Mystery / ThrillerWARNING 17+ New York, Amerika. Claire McGraw, 16 tahun, seorang siswi yang bersekolah di sekolah swasta Malville. Diusianya yang masih terbilang sangat muda, gadis itu telah kehilangan jati diri karena banyaknya masalah yang dia lalui. Pertengkaran...