8. Undangan

75 14 0
                                    

"Seandainya mantan kekasihmu yang paling kau sayangi tiba-tiba memberi undangan pernikahannya padamu, akankah kamu datang?"

"Tentu."

"Kenapa? Bukannya itu akan menyakitimu?"

"Memang. Karna itulah aku akan datang. Ini akan menjadi bukti untuk hatiku, bahwa yang kusayangi itu bukan lagi miliknya."

-Nona Novel-

"Nona pulang!!" teriakku saat memasuki rumah sembari melepas sepatu dengan asal-asalan kentara sekali sedang lapar, lunglai, lelah, letih dan lesu. Cocok sekali jadi bintang iklan produk apa itu namanya?

Sangat wajar sebenarnya karna tenaga sudah terkuras sangat banyak ketika di sekolah tadi dan ditambah lagi adegan mengingat sebuah cerita usang yang masih sangat segar di ingatan.
Sebuah kisah lama dari sepasang kekasih yang berkomitmen untuk tidak saling menyakiti.
Dulunya.

Sudah, aku lelah.
Stop mello-mello an macam anak esempe baru putus cinta.

Aku menarik napas panjang kemudian mulai berjalan dengan gontai menuju kamarku yang berada di lantai dua. Baru dua anak tangga yang kutapaki, ibu menghampiriku.

"Kalau sudah ganti baju, turun dulu. Makan siang. Mama sudah masak."

Aku turun dan berbalik menghadap ibu.

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, kebiasaan yang kulakukan jika sedang bingung.

"Hngg—boleh ga... Nona gausah makan aja. Nona capek mau tidur aja. Nanti kalo bangun baru Nona makan, ya Ma?"

Ini bukan alasan di buat-buat. Ini memang benar adanya. Ibarat handphone yang punya kapasitas baterai, aku itu sudah memasuki persentase -1% perlu di charge sebentar setidaknya menjadi 0% agar sedikit punya kehidupan, karna mengunyah juga perlu tenaga ma men.

Ibu sepertinya sudah mengira jawabanku, terlihat menarik napas panjang dan tersenyum teduh. "Selagi makanannya hangat."

"Nanti bisa Nona hangatin lagi kok, Ma."

"Tapi... Mama belum makan."

Oke. Ini gabisa dibantah dan ini kode.
Ibu adalah tipe wanita yang gabisa makan sendirian.
Berbeda denganku yang bisa makan sendirian, jalan sendirian, nonton sendirian dan berbagai aktivitas yang tidak wajib dilakukan lebih dari satu orang. Akan kulakukan sendirian.
Oke. Mungkin ini cocok sekali dengan sebutan forever alone atau bisa juga disebut jomblo ngenes.
Tapi, monmaap sebelumnya.
Aku melakukannya bukan karna keadaan tapi karna aku nyaman dengan kesendirian.
Aku memilih itu.
Dengan sukarela. Dengan sukacita.

Oke. Ini terdengar seperti pembelaan diri. Tapi begitulah adanya. Tidak percaya? Terserah.
Aku tidak mengharuskan kamu percaya padaku dan lagi pula aku tidak memerlukan sebuah kata percaya dari kamu. Kamu? GAPENTING!

Karna semua orang berbeda. Aku tidak bisa memaksakan seseorang menjadi sepertiku tak terkecuali dengan ibuku.
Aku tidak bisa memaksakan beliau untuk makan sendiri saja sepertiku atau menyuruhnya untuk menunggu ayah saja.

Aku memang bukan manusia yang baik tapi aku masih tau bagaimana bersikap sebagai anak yang baik.

Jadilah, aku memutuskan untuk ikut makan siang bersama ibu. Lebih tepatnya menemani ibu makan siang setelah mengganti seragamku tentunya.

Ya walau masih dengan langkai gontai, sangat lembek yang tidak mencerminkan sebagai makhluk bertulang belakang.

Ibu sudah menungguku di meja makan. Sudah siap makan. Karna ya... semuanya memang sudah siap.
lauk-pauk, sayuran, air bahkan nasi sudah tertata rapi di atas piring, tugasku hanya duduk, mengambil sendok, menyuapnya dan mulai makan.
Sesiap itu. Bukan. Aku tidak manja.
Ibu memang sering melakukan ini, walau tidak setiap hari. Sebenarnya sudah kuprotesi sejak dulu, namun ibu hanya menjawab santai... ya gapapa, kalau mama yang nyiapin gini, semuanya jadi 4 sehat walau tidak sempurna. Kalau kamu nyendok sendiri, sudah dipastikan sayuran pasti akan di lewati gitu aja. Mama tau ya maksud terselubungmu.

Nona NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang