part 4

22 4 0
                                    

Senja ini kembali air suci turun kebumi. Padahal dalam perhitungan, ini masih musim kemarau. Dalam satu minggu ini sudah dua kali hujan turun. Seolah memberi kesegaran dan keringanan bagi orang-orang yang tengah berpuasa. Ramadhan tahun ini memang yang paling nyaman. Tidak ada panas yang menyengat. Panas hanya sekadarnya saja datang. Sisanya mendung dan berawan memayungi seantero kota Palembang. Yah, tampaknya ini sudah dipenghujung musim kemarau. Semua mata membinar membelas iba agar hari raya nanti belum masuk musim hujan. Takutnya menjadi penunda untuk silaturahmi dan halal bi halal. Dari balik jendela sebuah rumah tua, terlihat mata bening mengamati setetes demi setetes hujan yang jatuh membasahi bumi. Genangan-genangan air itu ia saksikan dengan seksama. Mudah sekali pikirnya tuhan menjatuhkan jutaan liter air dari atas langit. Padahal tak satupun orang yang bisa melihat proses naiknya air laut kelangit dengan mata telanjang.
Puas Niko mengamati rinai yang tuhan izinkan menjadi penyegar dahaga bagi bumi, ia memalingkan hadapannya kearah TV 21 inch mode lama untuk mencari acara yang ia senangi. Masih jam 14:00 WIB pikirnya. Mungkin ada film animasi yang ia sukai tampil dilayar kaca. Mulai dari nomor satu sampai nomor tiga dua ia telusuri. Ternyata tak ada kartun atau sekedar film komedi. Ia menjatuhkan pilihan pada tausiyah agama yang dalam hal itu disampaikan ustadz Yusuf Mansur. -Mungkin karena nuansa Ramadhan sehingga acara TV banyak menayangkan acara religi dan tausyiah agama- Terkagum-kagum dia menyaksikan pelopor sedekah itu memberi pencerahan. Semudah itu ia melepaskan motor sport yang baru dibelinya beberapa minggu untuk pengobatan seorang bocah yang bahkan ia tidak kenal namanya. Timbul rasa ingin meniru beliau, namun apalah daya, Niko bukan orang kaya dan terpandang. Mulai berpikir, kira-kira apa yang bisa dia sedekahkan untuk sesama? Uang jajan saja masih ribuan rupiah. Itu pun kalau ada.
Makin asyik ia menyaksikan tayangan di televisi tersebut. Memacunya untuk menjadi milyader agar bisa sedekah seperti ustadz Yusuf Mansur. Namun berjalan beberapa menit dari segment terakhir, matanya terkunci. Televisi tetap menyala, remote masih digenggam. Namun rasa kantuknya mengalahkan semangatnya untuk menyaksikan acara tersebut. Berjalan beberapa menit dari jembatan alam bawah sadarnya. Ia mendapat buah tidur yang begitu indah. Buah tidur yang mungkin tak terbayangkan oleh dirinya sebelumnya. Ia tersentuh dan terenyuh. Didalam sana ia bermimpi ada seseorang melantunkan ayat suci Al-Quran. Namun ia tak mengetahui ayat tersebut. Ia menikmatinya. Sangat menikmatinya. Tanpa sadar air matanya tumpah ruah. Padahal ia tidak tahu sama sekali arti ayat yang dibacakan tersebut.
Ia terbangun dari tidurnya dengan sentakan kaget. Ia menyaksikan televisinya. Ternyata Ustadz Yusuf Mansyur melantunkan ayat tersebut. Ia menyaksikan dengan seksama. Indah sekali. Tapi ia tidak tahu sama sekali ayat apa yang dibacakan ustadz tersebut. Hingga dipenghujung lantunan ayat suci, ia membaca dibagian bawah sebelah kanan layar kaca, tertulis Q.S Ar-Rahman 55: ayat 1-78. Indah sekali. Sejak pertama mengenal aksara, ia memang menyukai syair-syair indah. Ia juga pernah menjuarai beberapa lomba puisi dan sebagainya. Segera ia mendekati lemari tempat ibunya biasa menyimpan Al-Quran. Dicarinya tiap-tiap ayat dengan sangat teliti. Aha, dapat! Kaget bukan main ketika ia membaca satu persatu arti ayatnya. Sebuah ayat yang menekankan bahwa nikmat tuhan sangat banyak padanya adalah “fabi’aiyi aalaa ‘irabbikumaa tu kadzdzibaani” maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Ia membaca satu persatu dengan teliti. Mulai dari nikmat Tuhan yang memberikan kita kepandaian berbicara, nikmat didunia, hingga janji Allah untuk menyiapkannya dua surga yang didalamnya ada bidadari dan berbagai kenikmatan lainnya.
Jatuhlah air matanya. Tak pernah ia membayangkan semua itu. Mungkin terlalu keruh hatinya sehingga jauh dari Al-Quran yang sebenarnya adalah obat penawar dari semua masalahnya selama ini. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Benar-benar kita tidak bersyukur akan kasih dan sayang Tuhan yang maha pemurah. Ia bersyahadat dengan berlinang air mata. Seolah ia baru menjadi seorang muslim. Yah, seperti firman Allah berikut.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki untuk Allah berikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS Al-An’aam: 125).
Begitulah, mungkin sekarang Niko baru mendapat hidayah dari Allah untuk menerima petunjuk yang benar. Untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman. Bukankah seorang yang ganas seperti  sahabat Umar Ibn Khattab juga mendapat hidayah sebelum ia menjadi pejuang Agama yang luar biasa? Mungkin inilah yang Niko rasakan saat  ini. Janji-janji Allah dalam tiap firman-Nya memang nyata dan bukan tipu daya. Niko memasuki gerbang sesungguhnya. Gerbang yang memisahkan antara yang haq dan yang bathil. Ia sudah melangkah memasuki halaman ketauhidan. Kesempatan emasnya untuk mendapat tempat terbaik disisi Allah.

Titik Balik PerubahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang