part 19

2 0 0
                                    

Sebuah ranting pohon yang ditumbuhi daun yang jarang-jarang mengetuk pelan jendela kamarku. Seolah ingin membangunkan aku difajar yang hikmat. Kubuka jendala kamarku dan mengamati langit hitam diperciki sedikit warna jingga. Tampaknya mentari akan duduk disinggahsananya sebentar lagi. Memberi cahaya bagi bumi dan seisinya atas izin Allah yang maha Esa.
Pundakku agak pegal pagi ini, mungkin karena semalam terlalu asyik ngeBand dengan teman-teman di studio dekat rumahku. Aku dan teman-teman memang kerap berkumpul dihari libur. Hanya sekedar ngobrol, main gitar, atau main PS. Dari seringnya kami kumpul-kumpul, tergagaslah ideku untuk membuat sebuah band. Awalnya teman-temanku ragu, namun aku yakinkan bahwa kalau kita serius, maka band ini pasti meledak dipasaran. Akhirnya teman-temanku mulai menyetujuinya. Band ini kami beri nama Dadakan Band. Terdengar konyol, namun band ini memang tercipta mendadak dan spontan saja. Aku mengusul nama itu. Unik dan langkah. Genrenya Heavy Metal. Sengaja kami ambil genre itu, karena kami memang menyukai musik-musik keras. Aku ditunjuk mereka sebagai vokalis, Aldo pada Gitar, Zio pada Drum, dan Vio pada Bass. Band ini lambat laun mulai dikenal. Walaupun saat itu Cuma dalam ranah daerah ilir timur. Kota Palembang memang bukan produsen terbaik band beraliran keras. Namun harapan kami, kami lah penggebrak pertama kemajuan band aliran keras dikota pempek ini.
Akhirnya aku bangun. Segera kutunaikan kewajibanku sebagai hamba Allah. Subuhku pagi ini terasa sangat berat. Pegalku ini benar-benar menyiksa. Seusai shalat, langsung kubuka lembar demi lembar firman Allah dan kubaca secara tartil. Tujuanku menghafal Al-Quran aku laksanakan hari itu juga. Sudah sekitar dua bulan aku menghafal Al-Qur'an, namun belum satu juz pun aku hafal. Kutaksir baru setengah dari juz 30 yang saat ini aku kuasai. Aku takut kalau nanti saat aku tutup usia, cita-citaku ini belum tercapai. Makin menggebu semangatku. Tanpa sadar ternyata pagi mulai menyapa. Aroma pisang goreng mulai tercium. Ibuku adalah koki yang luar biasa. Apapun bisa ia masak dengan lezat. Makanan dari sabang sampai marauke sudah pernah ia coba sajikan pada kami. Dua saudarikupun mengakui hal itu. Tanpa fikir panjang kutuntaskan ayat terakhir dan langsung mendekat kearah dapur.
"Wah pisang gorengnya menggiurkan, bu. Pokoknya aku tunggu sampai masak diruang tamu, ya." Ujarku manja pada wanita paruh baya yang tengah mengaduk pisang dipenggorengan dengan spatulanya.
"Udah ya tilawahnya?"
"Udah, bu. Cepat ya. Aku kayaknya ngidam. Hehehe." Aku menjawab pertanyaan singkat ibuku.
Aku berjalan menuju ruang tamu. Rumah Kami tidak mempunyai ruang makan. Yang ada hanya ruang tamu, dua kamar tidur dengan satu petak ruang yang kusulap menjadi kamarku, wc, dan dapur seadanya. Kami selalu membayangkan nanti bisa merenovasi rumah ini menjadi istana. Itu adalah cita-citaku dan kedua saudara perempuanku. Aku memiliki dua saudara yang tak jauh jarak usianya. Kakakku Lala lebih tua tiga tahun dari diriku, sedangkan yang bernama Ani hanya selisih satu tahun saja. Ayahku sudah sakit-sakitan sehingga ia diistirahatkan dari tempat kerjanya sejak dua tahun lalu. Sedangkan ibu hanya seorang buruh cuci dari rumah kerumah. Beruntung sekarang beban hidup kami diberi kemudahan oleh Allah. Kakak perempuanku yang bernama Lala sudah bekerja disebuah rumah sakit umum di kota ini. Ia masih menjadi dokter umum disana. Belum cukup dana untuk mengambil spesialis ataupun membuka praktik sendiri. Saat ini saja kami masih dalam bayang-bayang kekurangan. Ia seorang diri menjadi tulang punggung keluarga menyekolahkan aku dan mengkursuskan kakak perempuanku yang bernama Ani di sebuah kelas designer yang cukup ternama. Aku selalu sedih melihat wajahnya yang penuh dengan guratan lelah. Namun itulah yang menjadi cambukku saat ini. Aku yakin bisa membalas semua jasanya nanti. Dan saat itu tiba, aku akan mengangkat drajat keluargaku dan meneriakkan pada dunia bahwa aku mencintai mereka semua.
"Wah masih anget." Ucapku spontan melihat ibu datang membawa sepiring pisang goreng yang dibuat menggunung.
"Kenyang-kenyang yo, nak" jawabnya penuh dengan kelembutan
"Hehehe siap bu." Timpalku Sambil menyomot pisang goreng dipiring. "Bu, niko mau bilang sesuatu." Aku menambahi.
"Bilang apa? Tumben serius sekali anak ibu."
"Ibu nikah sama ayah kenalan berapa lama?"
"Berapa ya? Satu minggu mungkin."
Mendengar pernyataan ibu, aku nyaris tersedak. Singkat sekali fikirku. Apa tidak mau mengenal lebih jauh lagi kepribadian seseorang. Karena menikah adalah hal yang sakral dan perlu difikirkan matang-matang. Melihat aku terbatuk-batuk, ibu langsung menuangkan air didalam teko kedalam gelas.
"Pelan-pelan, nak." Ujar ibu sambil menyodorkan air minum didepanku. Aku meminumnya.
"Kenapa ibu tidak kenal lebih jauh dulu? Ibu bahagia?" tanyaku mengintrogasi.
"Zaman dulu mana ada yang namanya pacaran. Semua atas persetujuan orang tua. Jika kau Tanya apa ibu bahagia, lihatlah kehidupan kita sekarang. Biarpun terkendala keuangan, namun sangat bahagia ketika kumpul bersama." Jelas ibuku panjang lebar.
Aku hanya mengangguk dengan senyuman. Lalu ku patahkan pisang itu menjadi dua dan melahapnya hingga habis. Ibu kembali kedapur. Setelah beberapa lama ia datang kembali membawa piring kecil yang lain. Ia meletakkan beberapa pisang goreng dipiring itu dengan tersenyum.
"Ini salah satu bukti kebahagiaannya, ibu masih bisa mencintai ayahmu walau dia sekarang hanya terbaring dipembaringan. Sana, beri pisang ini pada ayahmu." Kembali ibuku tersenyum sambil menyodorkan piring yang berisi pisang didalamnya. Segera kusanggupi perintah ibu dan bergegas menuju kamar tempat ayah terbaring. Aku berjalan menuju kamarnya yang hanya berjarak lima meter dari tempat dudukku tadi. Kubuka perlahan pintu itu. Tampaklah sosok pria rentah yang menatapku sayup. aku mendekatinya dengan tersenyum. Terlihat wajahnya yang sedikit miring kekiri melengkungkan senyuman.
"Pagi, ayah. Ibu masak pisang goreng hari ini. Dan yang aku bawa ini spesial untuk ayah. Ibu selalu menjadikan ayah orang nomor satu. hehehe" Aku meletekkan piring itu dimeja kecil disamping ranjang tempat ia terbaring. Sudah satu tahun ini ia terkena stroke. Penyakit yang sangat menyakitkan bagiku. -dengan penyakit ini kau seolah mati namun kau masih hidup. Kau hanya bisa terbaring memainkan ekspresi wajah tanpa bisa berkata satu patahpun.- dan itu yang ayah rasakan sepanjang hari. Sedih bagiku karena sering mengecewakan dia. Bahkan ketika pengambilan rapotku, ia tidak pernah mau mengambilkannya. Aku anak yang sangat buruk dimatanya. Namun kini semua berubah. Aku bisa membuatnya bahagia. Usianya yang sudah senja mengajariku arti berartinya tiap detik dalam hidupku. Mataku berlinang kala menyuapkan pisang yang aku potong-potong tadi kedalam mulutnya. Aku rasa ia juga merasakan hal itu. Matanya memerah dan suaranya seperti orang yang tengah menangis terseduh-seduh. Tak lama dari itu air matanya tumpah. Aku tak kuat menahan laju airmataku ini. Banyak sekali waktu yang aku lewatkan secara sia-sia dengan beliau. Seandainya dari dulu aku mendapat hidayah, maka suasana seperti ini pasti aku nikmati setiap waktu.
"Ayah jangan nangis, niko sudah berubah, yah. Sudah tidak merokok lagi, tidak berantem lagi, malah sekarang niko tengah menghafal Al-Qur'an. Ayah nanti pasti bangga mempunyai anak seperti niko." Kucoba menghibur diriku dengan airmata yang masih berlinang.
"Ayahmu tuh sayang sama kamu, tapi cara penyampaiannya saja yang sering salah."Suara itu mendekatiku dan akhirnya kuketahui bahwa itu adalah ibu.
Ia memelukku. Aku benar-benar menangis terisak-isak. Diluar sana banyak yang tidak memiliki orangtua, namun aku yang masih mempunyainya selalu mengecewakan mereka. Ayah juga menangis. Aku memeluknya sangat erat. Mengusap air matanya dan kembali memeluknya.
"Wah acara apa, nih. Kok pada nangis?" celetuk Kak Lala yang tiba-tiba masuk bersama kak Ani.
Kami hanya tertawa sambil mengusap airmata kami. Sontak hal itu membuat mereka berdua bingung.

Titik Balik PerubahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang