Quinn merasakan Eleanor bergerak dalam tidurnya. Ia menutup buku yang sedang dibacanya dan meletakkannya di atas meja di sisi tempat tidur.
Sepasang mata biru jernih Eleanor menatap Quinn dengan bingung dan heran.
“Kau sudah bangun?” Quinn tersenyum lembut sambil merapikan rambut di kening Eleanor.
“Mengapa kau di sini?” tanya Eleanor. Matanya menjelajahi sekelilingnya dengan bingung, “Di mana aku?”
“Kita sudah berada di Istana dan sekarang kau tidur di atas tempat tidur kita.”
“Tempat tidur kita?” ulang Eleanor heran.
Quinn tersenyum lembut. “Aku tidak bisa membiarkanmu terbangun di malam hari dan tidak seorang pun berada di sisimu.” Quinn membaringkan diri di sisi Eleanor. “Aku ingin menjadi orang pertama yang kau lihat di saat kau membuka matamu yang indah itu.”
Eleanor teringat luka tusuk di punggung Quinn. “Lukamu?”
“Sudah tidak apa-apa,” katanya, “Lawrence telah mengobatinya. Untung pedang itu tidak melukai daerah vital. Dalam beberapa hari ia akan sembuh.” Dan Quinn tersenyum penuh kemenangan, “Lukaku masih lebih baik dari lukamu.”
Mata Eleanor menjadi sendu. Ini semua karena tindakannya yang gegabah.
“Aku tidak apa-apa,” Quinn menarik Eleanor ke dalam pelukannya.
Sepasang tangan Eleanor menyentuh dada Quinn. “Kau tidak boleh berada di dekatku,” katanya sambil menjauhkan diri, “Aku tidak mau membuatmu sakit.”
“Tidak apa,” Quinn memeluk Eleanor erat-erat, “Aku tidak mudah sakit sepertimu,” senyum nakal tersungging di wajah tampannya, “Aku bahkan ingin menyerap penyakitmu itu. Melihatmu terbaring tidak berdaya di tempat tidur sungguh membuat hatiku sakit daripada melihat tingkah liarmu.”
“Aku dengan senang hati akan menularkannya padamu,” Eleanor mencari tempat yang nyaman di dalam pelukan Quinn.
“Lawrence memintaku menyuruhmu minum obat begitu kau sadar.”
Senyum bahagia di wajah Eleanor langsung hilang.
“Aku tahu kau tidak menyukainya. Sejujurnya, sayangku,” Quinn merangkum wajah Eleanor, “Aku ingin sekali menggantikanmu tetapi tidak untuk saat ini. Kau lebih membutuhkannya daripada aku.”
Eleanor memasang muka masamnya.
“Jangan membuat hatiku sakit dengan melihatmu terbaring tanpa daya di tempat tidur, sayangku,” bujuk Quinn, “Jadilah gadis manis yang penurut hingga kau pulih.”
Eleanor melingkarkan tangan di leher Quinn – menahannya beranjak dari tempat tidur. “Aku tidak mau kau tinggalkan,” rengek Eleanor manja.
“Jangan menggodaku, Eleanor,” Quinn memperingatkan, “Kau tahu bagaimana ampuhnya godaanmu padaku hingga aku harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak berubah menjadi seorang monster.”
“Jangan pergi,” mata biru Eleanor menatap Quinn dengan sendu.
Quinn mengeluh panjang. “Tuhan akan menghukumku karena ini,” keluhnya. Ia membaringkan Eleanor di tempat tidur, menindihnya dan membuainya dengan cara-cara manis yang ia ketahui.
Eleanor pasrah. Ia menyerahkan diri sepenuhnya pada Quinn. Ia membiarkan Quinn menuntunnya ke dunia yang belum pernah ia masuki.
-----0-----
Sinar mentari yang menyusup melalui tirai jendela menyilaukan mata Eleanor. Eleanor membuka matanya.
Quinn bersandar di atas tumpukan bantal-bantal, sedang menatap Eleanor lekat-lekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Pilihan (Tamat)
FantasyStory From Sherls Astrella Nov 2007 - Des 2007 ♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧ Ketika sepupunya menikahi seorang pelacur dengan catatan kriminal panjang, Quinn tahu ia harus melakukan sesuatu untuk kehormatan kerajaannya. Rakyat sudah berspekulasi Rajanya akan...